Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA pemerintah menutup izin baru untuk penanaman modal di
bidang peternakan ayam. Ini diumumkan Ketua BKPM Ir. Suhartoyo
kepada pers 12 Maret yang lalu. Keputusan itu nampaknya diambil
sebagai reaksi terhadap keluhan para peternak kecil yang sempat
mengirimkan delegasi ke DPR-RI akhir Februari.
Para peternak kecil tersebut ketika itu mengeluh pada tim
peternakan F-KP karena harga ayam ternak mereka jatuh. Mereka
menuduh perusahaan modal besar dengan sengaja memukul mereka.
"Kalau hal ini dibiarkan usaha kami peternak kecil akan gulung
tikar. Selanjutnya perusahaan peternakan besarlah yang akan
hidup dan bebas menentukan harga yang tinggi untuk konsumen,"
kata jurubicara delegasi 14 peternak kecil, Untung Salamun.
Para peternak modal kecil kelihatannya belum puas dengan
keputusan IPM itu. Mereka mengharapkan keputusan yang lebih
tegas sesuai dengan instruksi Presiden Soeharto kepada Gubernur
DKI Tjokropranolo 5 Maret yang lalu agar peternakan ayam "harus
berada di tangan rakyat dan tidak boleh di tangan
perusahaan-perusahaan besar."
Para peternak bermodal kecil, terutama di daerah Jakarta,
belakangan ini menjadi heran mengapa harga jual ayam potong
turun sampai 20%. Padahal harga ayam siap masak di pasar masih
tetap Rp 1.300/kg. Akhirnya mereka ketahui harga itu jatuh
karena perusahaan peternakan bermodal besar berani melepas Rp
750/kg.
Akibatnya banyak peternak kecil yang kapasitas produksinya per
minggu 100-300 ekor terancam gulung tikar. Nyonya Kuswiyati, 35
tahun, dari Menteng Pulo, Jakarta yang baru sebulan belajar
beternak kontan menghentikan usahanya. Selain menanggung rugi
karena merosotnya harga, mereka masih harus membayar kredit
Bimas peternakan.
Cipendawa
Tetapi siapakah perusahaan besar yang nempermainkan harga itu?
Cipendawa yang dikenal orang sebagai milik tokoh usahawan
Probosutedjo? "Cipendawa cuma perusahaan yang membuat bibit dan
menjual anak ayam. Di antara yang rugi karena harga turun
sekarang ini juga termasuk peternak langganan kami," kata M.
Fardan Noor, salah seorang staf situ.
Sebuah sumber menuding ke alamat PT CISF yang berpangkalan di
Cibadak Ja-Bar. Menurut harian Kompas perusahaan dengan luas
kandang 16.000 mÿFD dan produksi 2.500 ekor/hari "tertangkap
basah" menjual dengan harga Rp 775, sementara harga terendah
masih Rp 1000 per kg.
Pimpinan perusahaan tersebut tidak menampik banting harga yang
dia lakukan. Karena katanya harga di pasaran cenderung turun
terus sejak awal Februari. "Ayam negeri kalau tak terjual,
setiap hari menambah ongkos produksi. Sebaliknya kalau bobot
tubuh ayam itu menjadi berat dan usianya jadi tua, harganya
menjadi merosot," urai seorang staf CISF.
CISF nampaknya tidak merugi karena ongkos produksinya jauh
lebih murah dibandingkan dengan peternak kecil. "Harga yang
begini rendah hanya bisa dilawan dengan peningkatan jumlah
ternak," kata peternak kecil Marzuki di Condet, Jakarta.
Mereka yang hanya memiliki maksimum 300 ayam akan menderita
rugi. Jumlah peternak semacam ini cukup besar. Di samping
terpukul karena jatuhnya harga, mereka juga harus mencicil
kredit Bimas bibit ayam.
Sebuah sumber di kalangan peternak ayam potong menyebutkan
merosotnya harga sekarang ini disebabkan oleh gairah yang
terlalu besar untuk menyambut seruan pemerintah untuk
menggalakkan ternak ayam potong. Bibit yang diimpor dari
Muangthai dan Singapura itu tiga bulan terakhir ini
mengakibatkan kelebihan produksi lima juta ekor ayam. "Karena
sifat produksi peternakan ini 'mudah rusak', bila terjadi
surplus produksi, maka peternak akan banting harga," katanya.
Menyelamatkan peternak kecil dan menyehatkan harga nampaknya
bisa ditempuh dengan menyetop keran impor bibit ayam tadi.
Mansur Idham, Sekjen Perhimpunan Perunggasan Indonesia, selain
menyerukan pemerintah supaya melarang pengusaha bermodal kuat
bergerak di bidang ternak ayam, juga mengharapkan dihentikannya
bibit impor. "Sampai harga mantap kembali," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo