Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG bos PT Mekatama Raya pernah menghitung ada 10,5 juta titik sambungan listrik di seluruh Indonesia. Dan tiap titik sambungan pasti punya pesawat televisi, bahkan sebuah hotel bisa punya ratusan pesawat televisi. Belum lagi di desa-desa yang banyak menggunakan tenaga aki. Maka awal 1991 PT Mekatama Raya optimistis menerima hak mengumpulkan iuran televisi, sekaligus sanggup menyetor Rp 90 milyar, yang hanya setengah dari target perolehan Rp 180 milyar. Sesudah satu tahun, Mekatama ternyata tidak berhasil menyetor Rp 90 milyar. Setoran itu kabarnya masih kurang dari Rp 7 milyar. Mungkin karena itu pula Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film (RTF) Alex Leo pekan lalu menyatakan, Yayasan Televisi Republik Indonesia (YTVRI) akan memungut sendiri iuran televisi itu. Uniknya, YTVRI masih tetap berada dalam ikatan kerja sama dengan Mekatama. Hal ini terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri 27 kepala stasiun TVRI dari seluruh Indonesia dan Direktur Utama PT Mekatama Raya Sidarto Dabusubroto. Apa bentuk kerja sama itu belum jelas benar. Hanya dikatakan, Mekatama, di samping memberi bantuan teknis, juga menyediakan bantuan dana pendukung kegiatan operasional dan konsultasi. Tak jelas apakah itu berarti YTVRI punya kewajiban balik pada Mekatama. Yang pasti, sekitar 3.000 kolektor iuran yang sudah ditatar Mekatama akan bergerak dari rumah ke rumah dalam seragam YTVRI. Soal-soal lainnya, "Masih akan dibicarakan, kan tak mungkin selesai dalam dua atau tiga hari," kata Alex Leo. Menurut Dirjen RTF ini, penunjukan YTVRI diharapkan bisa membantu tercapainya target iuran (Rp 90 milyar). Kegagalan Mekatama tentu terkait langsung pada kegagalan kerja sama perusahaan ini dengan para koordinator wilayah (korwil). Pihak Mekatama menuduh kelima korwil belum membayar seluruh kewajiban dan masih berutang Rp 50 milyar sehingga kontrak kerja dengan kelima korwil diputus. Kelima korwil yang merasa masih punya hak kerja untuk tahun 1992 itu tak menerima pemutusan kontrak sepihak dan mengadukan Mekatama ke pengadilan. Kendati masih ricuh, pemerintah tetap menjalin kerja sama dengan Mekatama. Tanggal 27 Januari lalu pemerintah menaikkan iuran televisi sampai 100%. Lalu, sejak Februari, Mekatama juga boleh menggunakan Bank Bumi Daya, Lippo, Danamon, Bank Internasional Indonesia, serta Kantor Pos dan Giro sebagai tempat pembayaran iuran. Dengan fasilitas seperti itu, anehnya, target setoran pada tahun 1992 tidak berubah, tetap Rp 90 milyar. Padahal dalam anggaran berjalan tahun ini TVRI tak lagi mendapat dana yang cukup untuk mendukung biaya operasionalnya. Ada tiga stasiun televisi baru, yang berarti peningkatan biaya operasional, plus 350 karyawan baru. "Perkembangan TVRI menuntut pembiayaan yang semakin besar sehingga pencapaian target iuran perlu dipercepat," kata Alex Leo. Tahun 1992-1993 TVRI diperkirakan membutuhkan dana Rp 160 milyar. Jika iuran televisi hanya mampu menyumbang Rp 90 milyar, YTVRI tentu pusing tujuh keliling menutup sisanya. Maka untuk tahun 1992-1993, dari anggaran Rp 160 milyar, Alex menargetkan sebesar Rp 140 milyar atau sekitar 87% akan diperoleh dari iuran televisi. Sisanya dari APBN dan setoran stasiun televisi swasta pada TVRI. Target Rp 140 milyar itu tampaknya tak bisa dijanjikan Mekatama, yang sudah memanfaatkan bantuan bank maupun Kantor Pos dan Giro serta mengiming-imingi undian berhadiah Rp 1 milyar bagi para pembayar iuran. Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membentuk lembaga yang bernama Komite Peninjauan Kembali Iuran Televisi. Komite itu tak raguragu berkunjung ke DPR dan meminta pemerintah memutuskan kontrak dengan Mekatama, yang mestinya berlangsung 15 tahun. Mekatama akhirnya tidak lagi berperan dalam hal iuran. Kini YTVRI akan turun langsung, dengan perhitungan 7,2 juta pesawat televisi -- bukan 12 juta seperti yang dihitung Mekatama -- dengan besar iuran Rp 1.000 sampai Rp 6.000. Untuk mencapai target Rp 140 milyar, YTVRI mengharapkan hanya bisa menjangkau sekitar 60% sampai 70% pemilik televisi di Indonesia. "Berdasarkan pengalaman, perhitungan itu sudah realistik, karena masih disadari administrasi yang belum lancar," kata Alex Leo. Namun, mengumpulkan 60% sampai 70% juga bukan soal mudah walaupun dengan pengerahan ribuan kolektor dari pintu ke pintu. Kesulitan yang dialami Mekatama dalam melaksanakan kontrol atas ribuan kolektor -- dan juga koordinator wilayah -- mungkin saja terulang lagi. Sedangkan pembayaran lewat bank maupun kantor pos dan giro tak mendorong semua orang agar berdisiplin membayar iuran televisi. Sweeping secara periodik, yang telah dilaksanakan TVRI dengan Perum Pos dan Giro sejak dulu, tetap tak membuat seluruh pemilik televisi membayar iurannya. Buat pemilik televisi, Mekatama atau YTVRI agaknya tak jadi masalah. Bagi mereka -- terutama kelas menengah ke bawah -- akan lebih penting bila iuran televisi bisa ditinjau kembali alias diturunkan. Sementara itu, mereka boleh pilih, membayar ke bank atau Kantor Pos dan Giro atau menunggu kolektor YTVRI. Bedanya, kini tak ada lagi iming-iming hadiah Rp 1 milyar. "Undian adalah riwayat lalu. Riwayat yang sudah selesai," kata Sidarto Danusubroto, Direktur Utama PT Mekatama Raya, yang lebih banyak diam pada acara jumpa pers di kantor Dirjen RTF. "Saya hanya mendampingi Dirjen. Pertanyaan tidak lagi kepada kami, semua bergantung pada Dirjen RTF dan direktur televisi," tambahnya. Liston P. Siregar dan Gabriel Sugrahetty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo