Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAGU Cubit-cubitan ciptaan Koes Plus mengalun dengan genitnya di
ruang kerja yang besar itu. Beberapa pekerja, yang semuanya
wanita muda itu, menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama dang-dut
yang dibawakan penyanyi tenar Elvy Sukaesih. Tapi tangan mereka
tetap saja gesit memegang alat kecil di atas meja: melinting
rokok.
Hari itu, Sabtu 14 April lalu, sebenarnya mereka libur. Tapi
karena akan ada "tamu agung" yang datang -- seperti kata
beberapa pegawai wanita di situ -- liburan di penghujung minggu
itu dibatalkan. Dan benar saja. Jam 10. 30 tepat, sang tamu
agung, Menteri Keuangan Prof. Dr. Ali Wardhana memasuki komplek
perusahaan Gudang Garam di Kediri.
Kunjungan di pabrik rokok kretek yang terbesar di Indonesia itu
tampaknya dilakukan secara tidak resmi. Tak kelihatan staf yang
ikut menteri. Mengenakan stelan safari kerja, tanpa simbol
menteri di dadanya, Ali Wardhana hanya disertai isteri dan dua
anaknya yang berpakaian cukup rilek.
Berbeda sewaktu Menteri Perindustrian A.R. Soehoed berkunjung ke
GG awal Pebruari lalu, kali ini tak ada acara sambutan maupun
laporan. Tidak sampai lima menit istirahat di kantor besar GG
yang memiliki areal 80 Ha itu, menteri langsung melakukan
peninjauan. Dari pihak GG kali ini lengkap mengantar Menteri
Wardhana keliling pabrik. Ada Suryo Wonowijoyo, 55 tahun,
pendiri dan Dir-Ut yang oleh orang Kediri lebih dikenal sebagai
Tjoa Eng Wie. Ada juga Rahman Halim, anak pertama Eng Wie yang
sekarang lebih banyak pegang peranan.
Selama peninjauan pun tidak banyak yang diperbincangkan mereka.
Menteri hanya sesekali menanyakan soal-soal yang sebetulnya tak
ada hubungan dengan paket 27 Maret. Hari itu tampaknya lebih
banyak merupakan semacam pengecekan terakhir dari rencana
pemerintah untuk memberlakukan harga rokok pas bandrol 1 Mei
nanti.
Dengan paket itu pemerintah memberi fasilitas keringanan cukai
tembakau bagi produsen rokok putih maupun kretek. Misalnya untuk
sigaret putih mesin (SPM) yang dulunya berlaku satu tarip (50%)
kini dibagi dua tingkat. Bagi yang produksinya per tahun 750
batang atau lebih kini tarip cukainya menjadi 40%. Turun 10%
dibanding dengan tarip lama. Sedang SPM produksinya kurang
dari 750 batang setahun diberi keringanan 12,5%, sehingga kini
cukainya mejadi 37,5%.
SIGARET kretek mesin yang dulunya 50% kini cukainya menjadi
35% dan klobot mendapat penurunan separo. Tapi untuk penurunan
itu para produsen diharuskan menjual rokoknya sesuai dengan
harga bandrol di tingkat pengecer. Tujuan peraturan ini unutk
lebih menggairahkan produsen dan memberikan perlindungan lebih
besar di perusahaan yang bermodal lemah. Dengan demikian
diperkirakan produsen akan meningkat dan cukai pun, tambah.
Gudang Garam sendiri, yang produksinya rata-rata 25 juta batang
sehari seperti dikatakan Rahman Halim kepada TEMPO, sudah siap
menghadapi langkah Menteri Keuangan itu. "Tanggal 2 April ini
kami sudah akan mengambil pita cukai," ujar Direktur I GG yang
wajahnya mirip bintang film Rahmat Kartolo itu. Dan sebagaimana
biasa, sekali pembelian pita cukai ini cukup untuk keperluan
sebulan.
Sejak awal tahun ini, GG diam-diam sudah mengkalkulasikan berapa
rupiah bandrol baru yang akan dipasangnya nanti. Untuk rokok
berisi 10 batang berpita cukai lama Rp 170, sejak 1 Mei 1979
akan tampak dililit bandrol Rp 250. Artinya harga eceran di
Jakarta, pun yang kini Rp 300 sebungkus harus sama dengan
bandrol Rp 250 itu. Apa bisa? "Sampai ke toko-toko kami sanggup
mengawasinya, tapi kalau sudah sampai pedagang kaki lima ya
sulit," kata Rahman.
Bagi GG berlakunya pita cukai yang baru memang berarti
bertambahnya cukai yang haras mereka bayar, sekalipun secara
prosentase cukainya turun dari 35% menjadi 25%. Rokok berisi 10
batang yang selama ini cukainya Rp 59 (35%) sekarang menjadi Rp
62 (25%), naik Rp 3 saja.
Gudang Garam tampaknya memang harapkan untuk bisa berdiri di
barisan paling depan menyambut peraturan baru itu. Maklumlah
perusahaan yang didirikan sejak 1958 itu tumbuh mekar dalam
waktu yang begitu singkat. Produksinya selama 1978 berjumlah 8,5
milyar batang, 18,5% dari seluruh produksi kretek di Indonesia
yang tahun lalu mencapai 46 milyar batang. Sedang cukainya
selama periode Rp 45 milyar, 28% dari seluruh cukai kretek yang
Rp 161 milyar. Begitu juga seluruh buruhnya tercatat 25.000
oran 29% dari seluruh buruh pabrik rokok kretek di Indonesia
yang di akhir tahun lalu mencapai sekitar 120.000 orang.
Berbeda dengan GG, adalah Bentoel yang nomor dua di Jawa Timur.
Pabrik rokok kretek yang benar-benar mekar sejak 1970, di bawah
asuhan Dir-Ut Budi Wijaya, 51 tahun, tahun lalu membayar cukai
Rp 28,5 milyar. Bentoel kabarnya merasa sedikit khawatir dengan
peraturan baru itu. Ini kalau dilihat dari perbedaan harga
bandrol dengan harga pasarnya. Misalnya Bentoel Remaja Jaya -
yang bandrolnya Rp 115 di pasaran, dijual Rp 200. Maka kalau
biasanya perusahaan -- yang memiliki 20 macam varitas produksi
--membayar cukai Rp 40,$ untuk Remaja Jaya, nanti harus membayar
Rp 50, alias naik hampir Rp 10 sebungkus.
Tingginya cukai Bentoel, meski produksinya separoh GG, akibat
penggunaan mesin filter yang lebih banyak. Dari cukai Bentoel
tahun lalu, sebanyak Rp 17 milyar lebih berasal dari produksi
masinal, yakni untuk kretek filter. Sedang PT Djarum, yang tahun
lalu membayar cukai hampir Rp 34 milyar, cukai rokok maksimalnya
mencapai Rp 8,4 milyar GG yang memiliki 28 mesin filter, tapi
baru dibolehkan menggunakan 8 mesin saja, cukai filternya tak
sampai Rp 0,5 milyar tahun lalu. Cukai rokok kretek biasa memang
diturunkan dari 35% menjadi 25%, sedang untuk rokok kretek mesin
turun dari 50% menjadi 35%.
Kabarnya GG merasa sedih juga karena menganggurkan 20 mesin
filter yang dibeli dengan kredit Bank Bumi Daya. Tapi kalau
saja kelak pabrik yang mirip kota satelit di Kediri itu
dibolehkan menggunakan ke 20 mesinnya, produksinya akan tambah
mengerikan lagi: 40 juta batang sehari atau 14,4 milyar batang
setahun.
Masih di Jawa Timur, adalah merek Dji Sam Soe yang sampai
sekarang paling besar di antara 28 pabrik rokok kretek di
Kotamadya Surabaya. Tapi produksinya yang 5 juta batang sebulan
itu memang belum apa-apa bila dibandingkan dengan tiga besar GG,
Djarum dan Rentoel. Didirikan oleh Lim Swi Lim (alm.) di tahun
1922, PT Sampurna kini dikendalikan Lim Sing Tee anak kedua dari
Swi Lim. Sebagaimana juga bapaknya, Sing Tee yang sekarang
bernama Aga Sampurna dikenal sangat konservatif. Baru beberapa
tahun terakhir ini Aga membuka pabrik baru merek Panamas di
Malang dan merek Aga Sampurna di Denpasar.
Perluasan itu tampaknya memang sudah harus dilakukan mengingat
sempitnya pabrik sekarang ini yang di dekat penjara Kalisosok.
Dan Aga Sampurna kini makin sulit ditemui karena selalu keluar
daerah, bekerja keras untuk menyembuhkan 'luka bakarnya' yang
cukup parah bulan lalu dua gudangnya penuh tembakau dan cengkeh
ludes terbakar.
SEPERTI juga Bentoel, adalah Djarum yang memiliki sampai 12
macam produk. Dan pabrik rokok kretek di Kudus yang merupakan
saingan keras Bentoel, kalau tidak nomor dua setelah GG,
prinsipnya menyambut baik itu paket 27 Maret. Budi Santosa, 35
tahun, manajer produksi dan urusan cukai Perusahaan Tembakau
Djarum beranggapan, "keputusan pemerintah itu setelah melalui
serangkaian pertemuan degan para pengusaha sejak Desember lalu"
katanya. Santosa juga berpendapat "kami tidak lagi kuatir dengan
persaingan dan kekacauan harga." Ini senada dengan suara
produsen rokok putih.
Tapi H. Nawawi Rusjdi, 48 tahun, direktur perusahaan 'rokok
Jambu Bol di kota kretek itu toh berpendapat perangsang yang
diberikan pemerintah itu atuhnya merugikan ketimbang untung.
"Kenaikan cukai itu otomatis berarti kenaikan harga buat
pabrik," katanya.
Menopang pendapat Nawawi, Budi Santosa yang mulanya menyambut
"positif" itu lalu memberi contoh Djarum Coklat -- merek yang
paling laku di pasaran. Kalau tadinya cukai si Coklat itu
dibayar 35% dari harga bandrol Rp 120, kini dengan cukai 25%
harus dikalikan dengan bandrol baru yang Rp 200 sebungkus. Jadi
naik Rp 8 per bungkus untuk jenis tadi. Itu pula sebabnya Haji
Nawawi, yang juga Ketua PPRK (Perstuan Pabrik Rokok Kudus)
berkesimpulan "cukai tembakau tak menjadi ringan dengan
ketentuan baru ini."
Selama ini para produsen rupanya telah menjual di atas harga
bandrol. Sehingga tak semua selisih antara harga bandrol dan
harga pasar itu jatuh di tangan distributor sampai penyalur
kecil. Ini diakui pihak Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok
Indonesia (GAPPRI) di Surabaya, juga sudah dibicarakan sampai di
DPR. Maka Menkeu Ali Wardhana, yang bertujuan menjaring
pemasukan cukai yang lebih besar, melihat selisih yang demikian
besar itu sebagai "pelarian cukai."
Tapi para produsen seperti Santosa dan Nawawi menyatakan pihak
pengusaha terpaksa menjual produksinya di atas bandrol karena
"biaya-biaya produksi makin meningkat." Tapi yang lebih merasa
rugi pastilah yang tergolong kelas sedang, apalagi yang
kecil-kecil itu. Tak heran bila Ketua PPRK Nawawi, menyatakan
para pengusaha rokok di Kudus umumnya belum "siap" dan "kuatir"
menghadapi pelaksanaan peraturan pas bandrol itu, sekalipun
sudah diberikan tenggang waktu sampai Agustus.
Dengan keputusan Menteri Keuangan itu tampaknya ada dua kelas
yang bakal terkena: pabrik kretek dengan produksi 150 juta
batang/tahun ke bawah dan yang berproduksi 50 juta
batang/tahun ke atas. Tapi diseantero Kudus, yang punya 80-an
pabrik rokok kretek, empat besar di sana diperkirakan akan
tetap bertahan: PT Djarum, PT Noyorono dengan produksi 3,6
milyar batang dan cukai Rp 9,3 milyar tahun lalu, PT Sukun yang
berproduksi 1,5 milyar batang dan cukai Rp 4,7 milyar dan PT
Jambu Bol punya H. Nawawi yang tahun lalu sanggup menghasilkan
1,8 milyar batang dan membayar cukai Rp 4,27 milyar.
Hatta, perusahaan menengah seperti Ongkowijoyo yang memproduksi
cap Oepet di Malang merasa kurang bernasib baik. Produksinya
memang sedikit di atas 150 juta batang/tahun, tapi penurunan
cukainya masuk kategori perusahaan besar, yakni dari 35% menjadi
25%. Maka Oepet yang selama ini membayar cukai Rp 28 untuk satu
pak rokoknya yang di pasaran berharga Rp 130, harus siap
mengeluarkan cukai Rp 36,50 suatu kenaikan Rp 8,50. Dan si Oepet
ini, menurut direktur produksinya Prawoto, 66 tahun, setiap
tahun rata-rata membayar cukai Rp 1 milyar. Dan perusahaan yang
punya 6 unit pabrik di Malang dan Blitar ini sekarang
dikemudikan Soesanto, 40 tahun, cucu Ang Kianda, pendiri pabrik
itu 31 tahun lalu.
AGAKNYA yang paling runyam adalah pabrik sekelas cap Sriti,
masih tetangga dengan raksasa GG. Pernah berproduksi 400.000
batang/hari di tahun 1960-an kini Sriti cuma bisa mengelinting
40. 000-an batang sehari. Direktur Hariyanto yang jebolan
Universitas Brawijaya kini lagi bingung. Sekalipun prosentase
cukainya turun dari 35% menjadi 25%, tapi dihitung-hitung si
Sriti ini punya beban yang lebih berat dibandingkan GG atau
Bentoel. Dijual Rp 100 sebungkus, bandrol Sriti hanya Rp 32,50,
yang berarti membayar cukai Rp 11,37 per bungkus. Tapi dengan
peraturan baru "kami malah harus membayar cukai Rp 20," kata
Hariyanto.
Pembagian daiam dua kelas itu tampaknya tak mewakili gambaran
rokok kretek yang di Jawa Timur saja yang pasti di atas 200
pabrik, dan banyak yang setingkat Sriti. Masuk akal kalau
Hariyanto beranggapan minimal klasifikasi itu dibagi tiga, "agar
yang seperti kami yang cuma berproduksi 1,5 juta batang per
tahun itu masih bisa hidup," katanya.
Tapi Hariyanto masih lebih beruntung ketimbang Sudarno yang
meneruskan perusahaan rokok mertuanya merek Semanggi, juga di
Kediri. Pernah mendapat droping modal KIK tahun 1975, beberapa
bulan lalu Sudarno terpaksa menghentikan produksinya. "Untuk
sementara," katanya. Tapi hutangnya sudah lunas meskipun dia
harus menjual seperangkat gamelan kesayangan mertuanya.
Semanggi ini juga pernah jaya pada 1960-an. Dia menghimbau agar
pemerintah turun tangan juga menghadapi persaingan di antara
sesama perusahaan rokok kretek yang semakin tajam sebagai
contoh dia menunjuk Djarum yang selain beragam produksinya,
belakangan ini membuat rokok 'murah berisi 5, dan kemudian
bahkan 3 batang. "Mestinya jangan begitu," kata Sudarno.
"Berilah bagian juga kepada yang kecil-kecil." Cara dagang cap
Djarum ini tampaknya ingin merebut pasaran mereka yang biasa
membeli ketengan "Biar menang gengsi," kata seorang pengusaha
di Kudus.
Gambaran yang serupa juga dijumpai di Sumatera Utara, dengan
pusat produksi kretek di Pematang Siantar. Mulai menonjol sejak
1960-an banyak juga usaha kretek yang hilang timbul, sehingga
sesuatu merek boleh dibilang tak pernah ada yang menonjol dan
larls diisap di bibir konsumen. Tapi salah satu yang tergolong
maju, adalah PT Senang Umum. Pabrik kretek di Km 7 Jalan
Medan, Pematang Siantar itu, bisa berproduksi 9 juta batang
setiap minggunya, terdiri dari beberapa merek, Seperti Cap Go,
Bersatu, Pohon Jaya dan Super Senang. Yang disebut terakhir
itu, dengan produksi 6 juta batang seminggu, tampaknya dianggap
sebagai tulang punggung perusahaan.
Keluaran pabrik Senang Umum itu memang punya pasaran yang
berbeda dengan GG misalnya, yang di sana dijual Rp 275
sebungkus. Tapi "kretel kami ini khusus untuk penduduk desa,
kata Humas M. Sitompul. Harganya memang murah Rp 100 sebungkus
isi untuk yang Super itu, sedang tiga merek lainnya
masing-masing cuma Rp 50 per bungkus. Sampai sekarang, sekalipun
kena samber angin Kenop, Sitompul berpendapat pabrik masih
untung. Tapi dia kuatir peraturan Menkeu tentang harga jual pas
bandrol itu merupakan pukulan terakhir. "Pabrik ini pasti,
dilikwidasi, kalau harus menjual bandrol," katanya. Biasanya,
seperti juga halnya di Jawa, merek SS yang hanya Rp 60 itu
mereka jual ke agen seharga Rp 80 sebungkus.
Berbeda dengan rokok eks Jawa, rokok kretek lokal itu masuk
pasaran tanpa lewat distributor (grosir). Seorang pengecer di
Medan, M. Silaen mengatakan dia biasa menerima krerek lokal
langsung dari petugas pabrik yang datang dari Siantar. Dan
kretek yang lebih laku di desa-desa itu, meskipun konsinyasi,
"payah" pasarannya di Medan, lanjut Silaen.
Adalah soal rasa juga yang membuat rokok kretek keluaran SU itu
tidak mendapat pasaran di kota seperti Medan. Tapi kalau pabrik
SU itu agaknya sengaja membuat kwalitas untuk orang desa,
pabrik-pabrik kecil di Jawa yang ingin mempertahankan
kwalitasnya dihadapkan dengan kesulitan mendapat bahan mentah.
Selain kertas impor makin mahal setelah Kenop, perusahaan kecil
sudah harus senang bila mendapat cengkeh dalam negeri. Bahkan
sekarang ini, menurut sebuah sumber di Jakarta, sudah ada bahan
kimia untuk menggantikan rasa cengkeh, sebagaimana sakarin untuk
membuat manis.
Tentu saja rasanya tak seenak cengkeh asli. Apalagi yang diimpor
dari Zanzibar. PT Mercu Buana dan PT Mega-yang menguasai impor
cengkeh itu - "tak akan telaten melayani permintaan yang ribuan
kilo per bulan. "Kalau dapat berupa tangkai cengkehnya," kata
seorang pengusaha di Semarang. "Bunga ccngkehnya biasanya
dilever ke pabrik-pabrik besar saja," GG misalnya, sebulan
menelan 700 ton bunga cengkeh, yang sebagian besar masuk dari
Zanzibar via Mercu Buana.
Nah, untuk sedikit menolong ratusan pabrik yang kecil itu, tapi
mempekerjakan banyak buruh juga (lihat box), maukah pemerintah
merubah dua kategori tadi menjadi tiga, seperti diusulkan
Hariyanto dari Kediri? Menkeu Ali Wardhana tak cepat menjawab
ketika ditanya soal itu. Berpikir sejenak, kepada Dahlan
Iskandar dari TEMPO, Menteri pun berkata: "Kita lihat dululah.
Yang penting sekarang ini bisa lebih terbuka, sedang dulu orang
tidak tahu berapa mesti bayar cukai."
Adakah banyak pabrik rokok kretek yang bakal terkena serangan
jantung, memang masih harus dilihat sampai beberapa bulan lagi.
Tapi keputusan pemerintah yang menurunkan persentasi cukai
sambil menaikkan harga bandrol, dinilai para pengusaha sebagai
langkah yang "pintar". Dan Ali Wardhana hanya senyum-senyum
kecil mendengar komentar begitu. Paket 27 Maret itu memang
bertujuan untuk menggaet pemasukan uang cukai yang lebih banyak.
Setidaknya, agar sasaran cukai yang Rp 298,5 milyar dalam APBN
sekarang -- sebanyak Rp 269,9 milyar masuk dari cukai tembakau
dan rokok - akan tercapai. Dengan kata lain, makin banyak orang
yang merokok, rupanya makin baik untuk kas pemerintah.
USAHA agar lebih banyak orang yang merokok, meskipun itu
diakui tidak baik untuk kesehatan, datang dari para produsen
rokok sigaret. Juga dikenal sebagai produsen rokok putih adalah
British American Tobacco (BAT) Indonesia yang memberi dukungan
penuh. "Dengan cara menyamakan bandrol dengan harga pasar, maka
para produsen bisa membuat perencanaan yang lebih baik," kata
Wakil Dir-Ut BAT, S. Purwadi.
Jika BAT yang produksinya 9,4 milyar batang tahun lalu, sudah
bicara begitu, bisa dipastikan perusahaan putih lainnya akan
turut. Dari 30 pabrik rokok putih di Indonesia, dengan buruh
hanya sebanyak 15.000 orang, adalah BAT yang punya pabrik di
Cirebon dan Semarang tergolong paling top. Cukainya saja tahun
lalu mencapai Rp 31,3 milyar, lebih separoh dari seluruh cukai
rokok putih yang Rp 59,8 milyar. Sedang PT Sumatera Tobacco
Trading Coy. (STTC) di Pematang Siantar, mencapai tangga kedua
di barisan putih dengan produksi 6,8 milyar batang tahun lalu,
dan membayar cukai sebanyak lebih Rp 10 milyar.
Si putih ini sejak dulu memang banyak penggemarnya di Indonesia.
Sebuah survei beberapa tahun lalu berkesimpulan tak kurang dari
40% perokok di lndonesia memilih sigaret. Mereka sendiri memang
dianggap saingan berat bagi produsen kretek.
Tapi paket 27 Maret itu rupanya membuat mereka maju selangkah
dalam menghadapi saingan rokok kretek, terutama yang filter.
Berbeda dengan rokok kretek yang selama 30 tahun ini dibiarkan
menjalankan kebijaksanaan dua harga, Pemerintah dari dulu lebih
mengarahkan matanya mengawasai produsen sigaret itu. Perbedaan
antara harga bandrol dengan harga eceran, bagi sigaret paling
banter antara 10-15%. Sedang buat kretek perbedaan harga itu
berkisar rata-rata antara 50-75%. Tak heran kalau si putih
senang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo