Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA jam sebelum dimakzulkan, Menteri Perindustrian Andung A. Nitimihardja masih tampil ”gagah”. Hari itu, 5 Desember lalu, sederet data statistik dipaparkannya dalam rapat kerja dengan Komisi Perindustrian DPR.
Disebutkannya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan industri hingga triwulan ketiga tahun lalu mencapai 6,76 persen. Hanya terpaut tipis dari target yang dipatok untuk tahun 2005 sebesar 6,80 persen. ”Dengan keberhasilan ini saya bisa keluar dari kabinet dengan kepala tegak,” kata Andung saat itu.
Sekilas, berbagai angka pertumbuhan itu memang cukup menggembirakan. Tapi, jika data Badan Pusat Statistik itu ditelisik lebih jauh, sesungguhnya tak semua sektor industri punya rapor mengkilap.
Dari sembilan cabang industri, dua cabang pertumbuhannya justru merosot: industri logam dasar, besi, dan baja (5,2 persen), serta industri barang kayu dan hasil hutan (0,4 persen). Industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki, yang ditargetkan bisa tumbuh 7 persen pun, ternyata pertumbuhannya hanya mencapai 1,1 persen.
Padahal, dua cabang industri terakhir ini melibatkan sekitar 9,5 juta tenaga kerja. Ketua Umum Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin, Ahmad Safiun, menuturkan bahwa penurunan kinerja industri logam dasar, besi, dan baja terutama disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sepanjang tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM dua kali, Maret dan Oktober, dengan total kenaikan sekitar 155 persen. Padahal, industri logam sangat rakus energi. Faktor lainnya adalah tidak adanya investasi baru. ”Mesin-mesin produksi sudah tua.” Karena itu, target 4 persen untuk tahun ini pun sangat berat dicapai. ”Mungkin masih minus,” ujarnya.
Nada pesimistis juga disuarakan Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia, Sae Tanangga Karim. ”Pertumbuhan tahun ini bakal seret,” katanya. Salah satu penyebabnya, mesin-mesin produksi industri kayu lapis Indonesia masih kalah hebat dibandingkan dengan para pesaing dari Malaysia dan Cina.
Dengan setumpuk persoalan itu, pemerintah pun tampaknya tak mau muluk-muluk mematok target tinggi pada tahun anjing api ini. Karena itu, seperti diakui Dirjen Industri Logam, Mesin, Tekstil, dan Aneka, Departemen Perindustrian, Ansari Bukhari, target pertumbuhan industri 7,5 persen akan direvisi hingga di bawah 7 persen.
Salah satu pertimbangan utamanya, sektor industri tekstil, pakaian jadi, baja, dan mesin diperkirakan tidak akan memenuhi target pertumbuhan. Beberapa faktor penghambatnya adalah ketidakpastian harga minyak mentah dunia, kegagalan revitalisasi mesin-mesin tekstil, penghapusan pajak pertambahan nilai impor, dan penyelundupan.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia wilayah DKI Jakarta, Irwandy Muslim, jika penyelundupan bisa ditumpas, sesungguhnya pencapaian angka pertumbuhan tekstil 5 persen bukan mustahil. Sebab, dengan cara itu, pasar dalam negeri bisa kembali diisi produk lokal.
Faktor lain yang juga memberatkan, menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, M.S. Hidayat, adalah penyaluran kredit perbankan yang tidak menciptakan lapangan kerja. Sektor yang mendapat perhatian cuma yang menghasilkan keuntungan tinggi. Dampaknya, industri tekstil, pakaian jadi, dan kegiatan usaha lain yang banyak menyerap tenaga kerja tidak berkembang.
Hidayat juga mempersoalkan kenaikan suku bunga Bank Indonesia yang mendorong kenaikan suku bunga pinjaman bank hingga 20 persen. ”Sektor riil tidak akan mampu menanggung beban bunga,” katanya. ”Kredit bermasalah pasti bertambah dalam tiga bulan mendatang.”
Efri Ritonga, Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo