Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mewajibkan perusahaan e-commerce melaporkan sejumlah dokumen.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menambah daftar komoditas barang yang dikenai tarif MFN.
Kementerian Perdagangan tengah menyusun daftar positif barang yang masih boleh diimpor lewat e-commerce.
JAKARTA – Pemerintah menerbitkan sejumlah aturan pembatasan impor untuk mencegah kebocoran dan pelanggaran dalam aktivitas impor barang konsumsi melalui platform e-commerce. Kebijakan ini ditempuh untuk meningkatkan pelindungan kepada konsumen sekaligus pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari serbuan produk impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Keuangan baru saja merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman. Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Fadjar Donny Tjahjadi menuturkan kebijakan ini dilatarbelakangi oleh semakin pesatnya perkembangan bisnis pengiriman barang impor melalui penyelenggara pos dan ekspedisi. “Hal ini perlu diimbangi dengan prosedur pelayanan dan pengawasan yang lebih maju dengan memanfaatkan teknologi informasi serta harus efektif dan efisien,” ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketentuan utama yang diatur dalam aturan tersebut adalah kewajiban kemitraan antara Bea-Cukai dan perusahaan e-commerce dalam melaporkan data katalog elektronik dan invoice elektronik (e-invoice). Dengan adanya komitmen pertukaran data ini, proses administrasi barang di pelabuhan bisa lebih cepat karena telah dilakukan automasi dan integrasi. Kebijakan ini juga mengatur peran dan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat, seperti penerima barang, penyelenggara pos, dan penyelenggara e-commerce. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 17 Oktober 2023.
Dalam hal penyampaian data, perusahaan e-commerce yang terkena kewajiban tersebut adalah yang melakukan transaksi impor barang kiriman dengan jumlah lebih dari 1.000 kiriman dalam periode satu tahun kalender. Katalog elektronik yang dilaporkan harus memuat nama platform, identitas penjual, uraian barang, kode barang, kategori barang, spesifikasi barang, negara asal, satuan barang, harga barang, tanggal pemberlakuan harga, jenis mata uang, dan tautan barang.
Sebuah toko kosmetik di kawasan Pasar Baru, Jakarta. TEMPO/STR/M. Taufan Rengganis
Adapun e-invoice harus mencakup nama platform, nama penerima barang, nomor dan tanggal invoice, uraian barang, kode barang, jumlah barang, satuan barang, harga barang, jenis mata uang, nilai mata uang, pihak yang memberikan promosi atau diskon jika ada, tautan barang, serta nomor telepon penerima barang.
DJBC pun mewajibkan penyerahan dokumen incoterm free on board, asuransi, biaya pengangkutan atau pengiriman dari tempat asal sampai tempat pemasukan, bea masuk dan pajak dalam rangka impor, serta biaya lainnya. “Harapannya, DJBC bisa mengetahui harga sebenarnya dari barang kiriman tersebut,” kata Donny.
Ketentuan lainnya, DJBC menambah daftar komoditas tarif dari most favoured nation (MFN) atau negara yang punya kemitraan dagang dengan Indonesia. Sebelumnya hanya empat komoditas yang dikenai tarif MFN, yaitu tas dengan pengenaan bea masuk sebesar 15-20 persen, buku nol persen, produk tekstil 5-25 persen, dan alas kaki atau sepatu 5-20 persen. Dalam ketentuan baru, ditambahkan komoditas lain, yaitu kosmetik dengan tarif 10-15 persen, besi dan baja 0-20 persen, sepeda 25-40 persen, dan jam tangan 10 persen.
Tak Semua Dilarang
Pengetatan impor barang konsumsi diikuti oleh rencana penerbitan daftar positif atau barang yang masih diperbolehkan diimpor. Daftar ini tengah disusun Kementerian Perdagangan. Perumusan daftar tersebut merupakan amanat dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023.
Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan daftar positif akan berisi barang asal luar negeri yang diperbolehkan langsung masuk ke Indonesia melalui platform e-commerce dengan cara transaksi lintas batas atau cross border. “Proses penyusunan masih berlangsung karena setiap sektor memiliki concern masing-masing,” ujarnya.
Pemerintah menetapkan produk yang bakal dimasukkan dalam daftar rencananya tidak lebih dari 10 jenis. “Saat ini masih terus kami godok. Jumlahnya mungkin tidak banyak, tapi belum bisa disampaikan apa saja,” katanya. Rifan memastikan daftar itu akan diterbitkan bulan ini.
Meski demikian, ia berjanji dalam daftar positif itu tidak akan berisi produk UMKM atau bahan baku yang tidak ada di dalam negeri dan bukan barang konsumsi. Bahan baku yang nantinya diimpor itu harus diolah oleh industri lebih dulu dan dijual kembali ke pasar ekspor. “Daftar ini diharapkan dapat menyaring lebih dulu barang-barang yang masuk ke pasar dalam negeri."
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sebelumnya menyampaikan kementeriannya tak bisa berjalan sendiri dalam menetapkan daftar barang-barang yang diizinkan impor. Sebab, barang-barang itu juga berhubungan dengan sektor kementerian lain, seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Pertanian.
Dia mengimbuhkan, produk-produk impor yang nantinya diizinkan masuk itu tetap harus memenuhi kriteria yang disyaratkan pemerintah, seperti Standar Nasional Indonesia ataupun sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan jika berupa makanan dan kosmetik.
Toko elektronik di Pasar Glodok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Ketua Umum Asosiasi Industri UMKM Indonesia Hermawati Setyorinny menyatakan pelaku usaha lokal bakal memanfaatkan peluang dari pengetatan kebijakan impor barang konsumsi, khususnya praktik transaksi cross border di e-commerce. “Kebijakan ini penting sekali, khususnya bagi UMKM produsen atau non-pedagang.”
Hanya, menurut dia, masih ada pekerjaan rumah yang tersisa untuk meningkatkan daya tarik produk lokal dan daya beli masyarakat. Salah satunya soal harga jual yang kompetitif. “Selama ini kita tahu kenapa masyarakat banyak yang tertarik beli produk impor, karena harganya lebih murah tapi kualitasnya sama dengan lokal, bahkan lebih." Hal tersebut, menurut Hermawati, perlu diantisipasi dan membutuhkan dukungan dari pemerintah selaku regulator.
Menurut Hermawati, UMKM produsen lokal jelas tak dapat mengimbangi persaingan dengan produk impor, yang jauh lebih efisien dari sisi biaya produksi. “Di Cina, misalnya, pinjaman modal bunganya murah, sertifikasi dan legalitas bisa gratis, sedangkan kami di sini kan tidak. Belum lagi ketersediaan bahan baku yang tidak stabil, yang pasti berpengaruh ke ongkos produksi,” katanya.
Dengan demikian, tak hanya di sisi hilir, persoalan di sisi hulu mengenai hambatan dan tantangan yang dihadapi UMKM juga perlu dituntaskan. "Agar kebijakan yang diterapkan berjalan efektif dan berdampak positif pada perekonomian."
GHOIDA RAHMAH | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo