Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tamu Sepi, Mandarin Muncul

Hotel "The Jakarta Mandarin" diresmikan September 1978. Kurang mendapat sambutan dari kalangan perhotelan. Menjadi saingan berat bagi HI Sheraton.(eb)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU lagi hotel mewah September ini diresmikan pembukaannya. The Jakarta Mandarin, dengan investasi Rp 16,4 milyar -- usaha patungan The Hong Kong Land Coy. (40%), Gardin Mathesson Hong Kong (20%) dan PT Jaya Bali Agung (40%) -- hadir berseberangan dengan Hotel Indonesia Sheraton di bunderan Tugu Selamat Datang. Jauh hari sebelumnya, Mandarin itu menimbulkan isyu santer. Tadinya di situ hanya akan dibangun pertamanan, bukan hotel. Kalangan perhotelan sendiri kurang bergairah menyambut partner barunya ini. Umpamanya Sukamdani Gitosardjono, ketua Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI), menunjuk pada kenyataan bahwa para tamu (turis dan kaum bisnis) tidak bertambah, sedang jumlah kamar yang tersedia makin berlebihan. Dengan strukturnya yang bersegi tiga, berlapis mosaik Italia, ia dilengkapi landasan helikopter di puncaknya yang 29 tingkat. Hotel ini mempunyai 504 kamar termasuk 19 suite, dan menyediakan 4 lantai parkir bertingkat. Mandarin International Hotels Limited yang mengoperasikan The Jakarta Mandarin juga mempunyai jaringan hotel di Hong Kong, Manila dan Bangkok -- semua dikelola secara multi-nasional. Jaringan sistim reservasinya juga ada di Eropa dan Amerika. "Tapi kami pengusaha hotel kulit coklat tidak boleh kecil hati," kata Sukamdani yang juga Presiden Direktur Sahid Jaya Boulevard Hotel. "Kalau Mandarin berlari 100 km, kami akan coba mengejar, supaya tidak terlalu tercecer di belakang." Masuknya Mandarin tentu akan mempengaruhi pemasaran kamar hotel yang telah ada. Maka jumlah kamar bertaraf kelas satu standar internasional di Jakarta menjadi hampir 5.000 -- kenaikan 11,39%. Dua tahun lalu rata-rata tingkat occupancy (penghunian kamar) hotel di Jakarta 60%, tapi ketika Sari Pasifik dan Hilton muncul di Jakarta, setahun kemudian indeks tadi merosot 1%, sementara Sahid turun sampai 6%, suatu pukulan yang tidak enteng. Dibanding tingkat penghunian kamar hoteldunia yang 70%, atau Timur Jauh 80%, Indonesia masih rendah. Mulai September, selama sebulan The Jakarta Mandarin akan memberi potongan 25% dari kamar standar Rp 16 ribu sampai kamar superior Rp 24 ribu. Setelah itu, seperti diungkapkan oleh seorang direktur perusahaan patungannya, PT Jaya Bali Agung, Mas Agung, "Mandarin akan mempertahankan sifat eksklusifnya. Karena yang terbaik, tentu harus yang termahal." Apakah Mandarin tidak takut kosong? "Kami salah satu dari 10 yang terbaik di dunia," jawab Mas Agung pada Eddy Herwanto dari TEMPO. "Kenapa takut? " Namun dibanding hotel lain di Jakarta, harga Mandarin termasuk istimewa. Untuk twin bedded room. misalnya, Sahid Rp 13.700, HI Sheraton Rp 14.000, dan Mandarin Rp 19.000 kurang beberapa ratus rupiah saja. "Itupun kami sudah menyesuaikan diri dengan tarip hotel di Jakarta," nona Leona Mount, juru bicara Mandarin menjelaskan. Mandarin yang letaknya di depan hidung, tentu akan merupakan lawan berat bagi HI Sheraton. Apalagi pendatang baru ini akan menawarkan pelayanan khas standar Mandarin. Diakui oleh Marketing Manager HI Sheraton, Tim Kantoso, para tamu tentu akan mencicipi brand new look '78. Setelah itu, Sahid, HI Sheraton, dan hotel lain pasti akan menawarkan ciri khasnya pula, katanya. Pembajakan Di Wisma Hayam Wuruk tingkat 7 bagian personalia Mandarin minggu lalu masih sibuk melakukan seleksi terhadap para pelamar. Sudah 3000 calon datang untuk berbagai tingkat pekerjaaan. Mereka antri di lorong pintu masuk ke kantor Mandarin yang sesak itu, menunggu giliran interpiu. Tapi sejak dinihari, ketua PHRI Sukamdani memperingatkan Mandarin supaya mematuhi kode etik bisnis perhotelan. "Terutama jangan sampai terjadi pembajakan karyawan," katanya. Sukamdani mengharapkan Mandarin seperti juga Sahid, menyelenggarakan pendidikan untuk mendapatkan karyawan yang baik. Sebab harapan pemerintah pada para penanam modal asing atau patungan adalah menciptakan lapangan kerja baru bagi warga negaranya. Jadi, menurutnya, masuknya modal asing harus mempunyai efek yang positif. "Pembajakan jelas bukan menciptakan lapangan kerja baru." Peringatan ketua PHRI ini tampaknya beralasan. Sudah sering terjadi, perpindahan tenaga terdidik dari satu ke lain hotel. Ketika Borobudur dibuka, banyak tenaga terdidik dari HI tersedot ke sana. Sekarang giliran siapa tersedot? Tapi pihak manajemen Mandarin tidak senang kalau usahanya mendapatkan tenaga yang baik disebut pembajakan. "Kalau mereka datang, kami terima dengan skala gaji Mandarin. Kami tidak pernah membujuk," kata kepala personalianya, Gunawan Wardhana. Manajemen HI Sheraton menanggapi perpindahan tenaga terdidik itu sebagai kejadian yang lumrah. "Bukankah itu merupakan salah satu asas demokrasi?" katanya. Ketidak-adilan dirasakan investor dengan fasilitas PMDN seperti Sahid Jaya, dibanding dengan perlakuan untuk PMA atau usaha patungan, seperti Mandarin. Sukamdani mengeluh karena bunga bank tinggi ditambah komponen harga yan masuk kalkulasi tinggi, seperti pada pembangunan I, menyebabkan hotel PMDN agak sulit bersaing dengan PMA. Yang disebut grace period bukan berarti bebas bunga tapi hanya penundaan pembayaran kredit saja. Kalau pembangunan hotel 3 tahun, grace period hanya diberikan 2 tahun. Walaupun hotel belum jadi, ia sudah harus membayar pengembalian kredit berikut bunganya. "Ini sistim bank di Indonesia sekarang. Kita baru lahir disuruh lari," kata Sukamdani agak kesal. "Kalau mau mengharapkan wiraswasta Indonesia mau rubahlah sistim bank itu." Juga pihak perhotelan Indonesia mengeluh tentang Goverment Tax, 11% dari penjualan. Pajak itu, menurut ketua PHRI di negara lain hanya 3 - 5% saja. Di Hong Kong misalnya 4%, Iran dan Mesir 2%, tapi, menurut Sheraton, di Santiago dan kebanyakan negara Amerika Selatan antara 14 - 20%. Itulah yang membentuk struktur harga investasi tinggi -- "padahal kita menjual kamar (room rate) rendah," ujar Sukamdani. Memang, rata-rata kamar hotel di Jakarta masih sekitar Rp 10 ribu, sementara untuk Asia dan Timur Jauh sekitar Rp 13 ribu, dan rata-rata dunia Rp 14 ribu. Dalam kondisi begini Mandarin muncul. Tenaganya dan dayasaingnya besar. Baginya, seperti disebut Mas Agung, "kenapa takut?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus