Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi buruh yang meminta upah minimum provinsi (UMP) naik 13 persen tahun depan. Dia menjelaskan konsep utama upah minimum ini untuk perlindungan sosial, dan semakin dibutuhkan di tengah kondisi tekanan daya beli yang terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Upah minimum memang sebagai stimulus ekonomi, sehingga dengan upah minimum yang naik setidaknya di atas angka inflasi itu memberikan ruang bagi peningkatan konsumsi rumah tangga,” ujar dia melalui sambungan telepon pada Sabtu, 29 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan alasan tersebut, kata Bhima, yang penting memang upah minimum setidaknya bisa lebih tinggi daripada inflasi, artinya naik bisa 7-8 persen. “Itu minimum ya.” Namun masalahnya ada pada PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang dinilai seolah-olah mengacu formulasi dari upah minimum.
“Kenaikannya relatif kecil jadi mungkin perlu ada revisi juga terkait dengan PP 36,” kata Bhima. “Sehingga memang keberadaan upah minimum saat ini seharusnya lebih berpihak pada pemulihan ekonomi dari sisi pekerja.”
Sementara, sebelum ada UU Cipta Kerja di PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, formulasi kenaikan upah minimum berasal dari inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi. Itu juga yang menjadi tuntutan para buruh, mengembalikan lagi PP 78 tahun 2015.
“Formulasi upah minimum adalah inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi, kalau inflasi sekarang hampir 6 persen secara tahunan, pertumbuhan ekonomi 5 persen ya 6 ditambah 5 jadi 11 persen naiknya,” ucap Bhima.
Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad juga menilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi harus ikut diperhitungkan untuk kenaikan upah minimum. “Jadi kira-kira paling tinggi 10 persen maksimal menurut saya pribadi ya maksimal,” tutur Tauhid.
Inflasi year to date, Tauhid melanjutkan, masih berada di sekitar 4,8 persen atau mungkin paling tinggi 5 persen, kemudian jika pertumbuhan ekonomi misalnya sekitar 5 paling tinggi, jadi total 10 persen. Tauhid memang berat, tapi dia menilai kenaikan upah minimum itu suatu keharusan.
“Ini bukan upah secara umum ya, kalau upah secara umum itu berbeda-beda per sektor. Regulasi yang lama kan rata-rata satu atau dua persen, harus ditambah ya, saya belum tahu formula yang baru seperti apa,” ucap Tauhid.
Sebelumnya, Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI Said Iqbal menuntut kenaikan upah minimum tahun 2023 sebesar 13 persen. "Kami menolak bila kenaikan upah minimum menggunakan PP 36," ujar dia lewat keterangan tertulis pada 17 Oktober 2022.
Adapun yang menjadi dasar tuntutan kenaikan upah 13 persen adalah nilai inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Inflansi diperkirakan 6,5 persen, sementara pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,9 persen. Maka jika ditotal didapat angka 11,4, tapi ditambah nilai produktivitas, jadi kenaikan tahun 2023 adalah 13 persen.
Buruh meminta pemerintah dan Apindo tidak bermain-main dengan alasan pandemi, dan resesi global untuk menjadi dasar kenaikan UMK 1-2 persen. "Ancaman resesi belum begitu mengancam Indonesia. Ukurannya sederhanaa. Pertumbuhan ekonomi masif positif," tutur Said Iqbal.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.