Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keuntungan pemutaran film di bioskop Indonesia dilaporkan naik hingga 136 persen pada tahun lalu.
Para sineas Tanah Air masih kesulitan mendapatkan permodalan produksi film di dalam negeri.
Demi menggenjot kesuksesan film, berbagai strategi promosi dilakukan rumah produksi.
FESTIVAL Film Indonesia baru saja selesai digelar pada 14 November lalu. Sejumlah film lokal yang telah tayang di bioskop masuk dalam 22 kategori nominasi yang dilombakan. Acara yang juga dikenal dengan sebutan Piala Citra tersebut menjadi wadah pengakuan bergengsi bagi para sineas. Namun pengakuan bukanlah satu-satunya tujuan mereka dalam berkarya. Ada hal lain yang tak kalah penting untuk dikejar: keuntungan secara bisnis.
Para sineas lokal mungkin belakangan ini patut bergembira. Animo masyarakat menyaksikan film di bioskop terus meningkat. Hal ini menjadi sumber pemasukan berbagai pihak yang terlibat dalam produksi film. Data yang dilansir Statista menunjukkan bisnis film di Tanah Air mulai bergeliat.
Pada tahun lalu, Statista mencatat keuntungan dari tiket bioskop di Indonesia diestimasikan mencapai US$ 78,99 juta atau sekitar Rp 121,8 miliar pada kurs 15.400. Jumlah tersebut meningkat 136 persen dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar US$ 33,44 juta. Salah satu alasan peningkatan itu adalah melandainya pandemi Covid-19.
Meski demikian, sutradara film Joko Anwar menganggap para sineas Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam bisnis film: kesulitan balik modal. "Sekitar 80 persen pembuat film di Indonesia tidak balik modal,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutradara Joko Anwar saat memproduksi film "Pengabdi Setan 2: Communion". Dok. Rapi Film
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hitung-hitungan sutradara film Impetigore dan Pengabdi Setan itu, keuntungan pembuat film sebetulnya tak besar-besar amat. Hanya sekitar Rp 18 ribu dari setiap tiket bioskop yang dijual. Angka itu berasal dari harga tiket bioskop yang rata-rata sebesar Rp 40 ribu, dikurangi pajak, dan hasilnya dibagi 50:50 dengan perusahaan bioskop.
Nah, untuk balik modal, jumlah penonton pun harus mencapai jutaan orang. Jika sebuah film diproduksi dengan bujet Rp 18 miliar, kata Joko, film itu membutuhkan lebih dari 1 juta penonton agar bisa balik modal. "Sementara itu, banyak film yang diproduksi dengan bujet besar, jumlah penontonnya tak sesuai dengan harapan."
Dengan kondisi demikian, Joko melanjutkan, bisnis film seolah-olah sebuah pertaruhan besar karena saat ini sulit memprediksi laku atau tidaknya sebuah film. “Kesuksesan sebuah film bukanlah hal yang pasti,” kata dia. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di industri film yang sudah mapan seperti Hollywood. Meski perusahaan film di sana didukung konsultan pemasaran terbaik, banyak film mereka yang masih merugi.
Strategi Sineas Mencari Modal
Joko menyebutkan ada berbagai faktor yang menentukan keberhasilan sebuah film. Misalnya, selera penonton, situasi ekonomi dan politik, serta keahlian pembuat film. Tingkat kesuksesan film pun tak bisa diukur dari besarnya pendanaan. Untuk urusan permodalan ini, kata Joko, para sineas juga menghadapi tantangan tersendiri.
"Selama ini modal produksi film banyak yang berasal dari kantong pribadi sineasnya atau dukungan investor. Lalu ada juga para pemodal ventura yang menyalurkan pendanaan lewat film fund." Namun sumber pendanaan tersebut tak selalu ada. Karena itu, para sineas Indonesia kini memanfaatkan strategi lain: mencari pendanaan di luar negeri.
Menurut Joko, di beberapa negara, ada festival film internasional yang bisa menjadi sumber pendanaan film, meski lewat seleksi ketat. Pembuat film dapat mengajukan proposal proyek dan mempresentasikan film yang dipilih untuk didanai dalam festival.
Strategi inilah yang dijalankan produser film 24 Jam Bersama Gaspar, Cristian Imanuell dan Yulia Evina Bhara. Film yang dibintangi Reza Rahadian ini berhasil mendapatkan pendanaan dari Asian Project Market, sebuah ajang pencarian modal untuk produksi konten dan film sebagai bagian dari Busan Film Festival di Korea Selatan.
"Kami submit proposal saat film dalam proses produksi dan mereka tertarik setelah melihat presentasi filmnya," kata Cristian kepada Tempo saat promosi filmnya di Jakarta, 7 September lalu. Tak cukup presentasi, untuk mendapatkan pendanaan dari Asian Project Market, film yang diproduksi Visinema dan disutradarai Yosep Anggi Noen tersebut harus memenuhi syarat, yakni pemutaran perdananya dilakukan dalam festival film internasional. "Itulah alasan kami melakukan world premiere di Busan International Film Festival," ujarnya.
Namun cara ini juga tak mudah. Biasanya, Joko Anwar menjelaskan, investasi dari luar negeri hanya menyukai para produser yang punya rekam jejak kesuksesan dari film-film produksi sebelumnya. Selera pemodal juga turut menentukan. "Pendanaan lebih mudah mengalir untuk film dengan audiens tersegmentasi, seperti film berjenis arthouse."
Jalan Pintas Menjual Film
Keberhasilan sebuah film di pasar juga ditentukan oleh bujet promosi. Untuk urusan ini, kebutuhan dananya pun tak sedikit, “Biaya promosi bisa setengah dari biaya produksi, bahkan bisa lebih,” kata Joko Anwar.
Tingginya biaya yang dikeluarkan, baik untuk produksi maupun promosi, ditambah tekanan agar film sukses secara komersial membuat tim promosi film melakukan berbagai cara supaya film laris di bioskop. Pengamat film dan budaya pop, Hikmat Darmawan, menyebutkan belakangan ini ada tren promosi yang disebut "bom tiket".
Strategi ini dilakukan dengan cara mengalihkan biaya promosi untuk pembelian tiket bioskop. Dengan begitu, angka penonton pun terlihat besar. “Sehingga masyarakat jadi terpancing untuk datang ke bioskop karena filmnya hype," kata Hikmat. Toh, ia meneruskan, cara ini juga tidak selalu berhasil.
Untuk mengatasi berbagai persoalan itu, Hikmat menyarankan rumah produksi berstrategi lebih cermat dengan menekan anggaran di beberapa film. Jika dalam setahun sebuah rumah produksi menargetkan membuat 12 film, kata dia, seharusnya pendanaan besar bisa difokuskan pada satu judul film yang dirancang untuk menjadi blockbuster (ditargetkan mencetak keuntungan besar). "Sisa film lainnya diproduksi dengan bujet mikro."
Dengan upaya tersebut, kata Hikmat, rumah produksi dapat meminimalkan kerugian yang diderita rumah produksi. Sebab, bukan tak mungkin, film yang diproduksi dengan bujet rendah justru menghasilkan pendapatan tinggi. Cara ini juga sekaligus strategi untuk mengakali pendanaan yang terbatas.
Penonton menyaksikan film Indonesia di bioskop di Kuningan, Jakarta, 16 September 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Ihwal pendanaan produksi film yang terbatas di dalam negeri dibenarkan Direktur Produksi PT Produksi Film Negara Tjandra Wibowo. “Keterlibatan pemerintah menggelontorkan dana pun belum maksimal,” kata dia, kemarin. Karena itu, PFN berusaha membantu produser dan studio film mencari pendanaan. Perusahaan film pelat merah ini berperan sebagai agregator, dengan menyeleksi proposal film yang masuk untuk kemudian dicarikan donor.
Untuk menggenjot pendapatan, Tjandra mengatakan para sineas tak bisa hanya mengandalkan penjualan film lewat layar lebar. Cuan juga bisa didapat lewat penayangan di media lain. “Jika performa film di bioskop sulit diprediksi, ada pilihan lain dengan merilis langsung di layanan streaming,” kata dia.
Dalam hal ini, kata Tjandra, PFN juga menjadi penghubung rumah produksi dengan berbagai platform penayangan film. Dari bioskop, layanan over the top (OTT), hingga televisi. Jika film kurang laku di bioskop, rumah produksi dapat mengalihkan pemasarannya di platform OTT. “Bahkan ada rumah produksi yang langsung mempromosikan filmnya di platform OTT."
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo