Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Tapera Memberatkan Pekerja dan Pengusaha

Berniat membantu masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah, Tapera banjir kritik. Memberatkan pekerja dan pengusaha.

30 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden DPP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat mengatakan pendapatan pekerja yang disisihkan untuk Tapera bakal memberatkan mereka. Apalagi harga pangan yang makin tinggi sudah memberatkan ekonomi pekerja.

  • Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani mengatakan kebijakan ini memberatkan pekerja dan pelaku usaha. Pemberi kerja sendiri sudah mengeluarkan 18,24-19,74 persen iuran dari penghasilan pekerja.

  • Anggota BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan pemerintah sudah punya program serupa Tapera di BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja formal yang terdaftar sebagai peserta badan tersebut memiliki hak untuk mengajukan kredit pembangunan rumah atau renovasi rumah.

BERKUTAT dengan defisit perumahan, pemerintah mencoba beragam solusi. Salah satunya, merancang Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Lewat program ini, pemerintah menyediakan fasilitas penyimpanan dana dalam jangka waktu tertentu untuk membeli, membangun, dan merenovasi rumah. Namun sejumlah kalangan seperti pekerja dan pengusaha menolak mekanisme pelaksanaannya yang mewajibkan pekerja menjadi peserta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, pesertanya adalah pekerja yang memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum. Mereka harus menyisihkan 3 persen dari pendapatannya tiap bulan. Khusus untuk pegawai di bawah institusi, beban iuran dibagi sebesar 2,5 persen kepada pekerja dan 0,5 persen kepada pemberi kerja. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Namun tidak semua peserta bisa menikmati manfaat Tapera. Hanya peserta yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bisa mengajukan pembiayaan untuk membeli, merenovasi, atau mendirikan rumah. Mereka adalah pekerja dengan upah di bawah Rp 8 juta di wilayah non-Papua atau di bawah Rp 10 juta untuk wilayah Papua dan Papua Barat.

Kapan kepesertaan berakhir? Saat pekerja pensiun atau telah mencapai usia 58 tahun buat pekerja mandiri, saat meninggal, atau peserta tidak lagi memenuhi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut.

Kewajiban menyisihkan pendapatan untuk Tapera dikritik berbagai kalangan. Presiden DPP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat mengatakan pendapatan pekerja yang disisihkan untuk Tapera bakal memberatkan mereka. Apalagi harga pangan yang makin tinggi sudah memberatkan ekonomi pekerja. Daya beli pekerja membeli bahan pokok sudah berkurang. "Tabungan pun makin tergerus," kata Mirah, kemarin.

Data Badan Pusat Statistik mencatat inflasi indeks harga konsumen pada April 2024 berada di level 3 persen. Adapun inflasi inti pada April 2024 tercatat sebesar 0,29 persen (mtm), lebih tinggi ketimbang inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 0,23 persen (mtm).

Mirah mengatakan pekerja kelas menengah bakal terjepit dengan kewajiban menyisihkan pendapatannya untuk Tapera. Berbeda dengan buruh kelas bawah yang memiliki bantalan, seperti bantuan sosial.

Menurut Mirah, buruh sedang mempertimbangkan untuk menggugat pasal soal Tapera dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 2016 mengatur kewajiban pekerja dan pekerja mandiri menjadi peserta Tapera. "Kalau menggugat sedang kami pertimbangkan mengingat kondisi MK (Mahkamah Konstitusi) sedang krisis kepercayaan dari rakyat. Langkah yang paling tepat adalah aksi besar," kata dia.

Penolakan juga datang dari pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan kebijakan ini memberatkan pekerja dan pelaku usaha. Pemberi kerja sendiri sudah mengeluarkan 18,24-19,74 persen iuran dari penghasilan pekerja. Di antaranya jaminan hari tua sebesar 3,7 persen yang salah satu manfaatnya adalah bantuan pembiayaan perumahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemberi kerja juga harus menanggung Jaminan Sosial Kesehatan sebesar 4 persen dan Cadangan Pesangon sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) sekitar 8 persen. Menurut Shinta, hal ini makin buruk karena adanya depresiasi rupiah dan lemahnya permintaan pasar. "Beban ini makin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar," ujarnya.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebutkan peraturan soal Tapera akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan tren tabungan di bawah Rp 100 juta. "Jelas pasti berpengaruh. Jadi disposable income-nya (pendapatan yang siap dibelanjakan) akan turun. Seandainya bisa akses uang itu nanti, pun masih nanti. Yang jelas, konsumsi mereka sekarang akan terpengaruh," kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa.

Menurut dia, daya beli masyarakat mungkin akan sedikit melambat karena pendapatan yang siap dibelanjakan akan berkurang. Purbaya menambahkan, uang yang dipotong tersebut diharapkan bisa diputar untuk meningkatkan perekonomian negara agar lebih baik. Dengan catatan, uang tersebut diputar dengan baik.

Aktivitas pekerja saat waktu istirahat di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, 19 Maret 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna

Adapun Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan pertimbangan di balik skema pembiayaan perumahan secara gotong-royong yang diwajibkan paling lambat pada 2027 tersebut. "BP Tapera mengemban amanah berupa penyaluran pembiayaan perumahan yang berbasis simpanan dengan berlandaskan gotong-royong," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterbitkan pada 27 Mei lalu. Konsepnya mirip program jaminan kesehatan nasional yang sekarang dikelola BPJS Kesehatan. 

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan skema gotong-royong ini penting jika melihat kuota rumah bersubsidi 2024. Pemerintah hanya menyediakan anggaran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) senilai Rp 13,7 triliun, cuma cukup untuk 166 ribu unit rumah. Angkanya turun dari realisasi penyaluran pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah pada 2023 yang sebesar Rp 26,3 triliun untuk 229 ribu unit. 

Di tengah keterbatasan kemampuan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara, harga rumah terus naik. Apersi mencatat rata-rata kenaikan harga rumah sekitar 5 persen per tahun. Salah satu pemicunya adalah tren harga tanah serta material untuk membangun rumah yang terus melonjak.

Padahal di sisi lain, terdapat angka backlog atau kesenjangan antara total hunian terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat. Survei Sosial Ekonomi Nasional yang digelar Badan Pusat Statistik tahun lalu menunjukkan angka backlog kepemilikan rumah sebesar 9,9 juta unit. Lebih dari satu dekade ini angkanya tak begitu banyak berubah. Survei yang sama pada 2010 menunjukkan angka backlog sebesar 13,5 juta unit.

Program Tapera juga tidak bisa banyak menambah jumlah pengadaan rumah. "Selama ini kan dana tersedia di BP Tapera terbatas," ujar Junaidi kepada Tempo, kemarin. Melansir data dari situs web BP Tapera, target pembiayaan rumah Tapera tahun ini hanya 8.717 unit senilai Rp 1,3 triliun. 

Pembangunan rumah subsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Meski dalam aturan program tersebut berlaku bagi semua pekerja, saat ini baru aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, serta pekerja perusahaan pelat merah yang jadi peserta. Jika seluruh peserta yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 bisa ikut serta, Junaidi mengatakan dana kelolaan BP Tapera bisa bertambah. "Jadi bisa mendukung kekuatan pembiayaan untuk kredit perumahan rakyat untuk MBR," ucapnya.

Konsultan properti Anton Sitorus mengakui program Tapera bisa jadi bagian dari solusi backlog. Namun dia mengkritik ketentuan untuk mewajibkan program tersebut kepada seluruh pekerja swasta. "Rumah buat orang banyak bukan kebutuhan mendasar, tidak seperti makan atau kesehatan," ujarnya. Konsep gotong-royong seharusnya punya manfaat sama yang bisa dinikmati semua orang yang terlibat.

Peserta bukan masyarakat berpenghasilan rendah memang tak akan kehilangan tabungan mereka. Namun Anton menyoroti likuiditas dana tersebut karena hanya diatur pengembalian setelah masa kepesertaan habis.

Untuk mengatasi masalah backlog perumahan, Anton menyebutkan kuncinya terletak pada kemampuan penyediaan rumah baik dari pemerintah maupun pengembang. Sejumlah masalah klasik masih menjadi kendala, seperti tingginya harga tanah dan bahan bangunan. Perizinan yang berbelit juga pada akhirnya membuat proyek molor hingga biaya membengkak. 

Adapun Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia Joko Suranto menyoroti ihwal transparansi pengelolaan dana iuran Tapera. "Transparansi serta manajemen risiko mutlak dibutuhkan karena dana yang dikelola tersebut adalah milik masyarakat," kata dia. Sementara itu, kepercayaan masyarakat cenderung rendah setelah menyaksikan sejumlah kasus hukum yang melibatkan badan pengelola dana masyarakat beberapa tahun terakhir. 

Joko mengusulkan pemerintah mengikuti langkah Singapura dalam penyediaan perumahan. Negara tersebut mewajibkan pekerja mengumpulkan iuran di bawah satu lembaga untuk berbagai tujuan, dari dana pensiun, kesehatan, pendidikan, asuransi jiwa, hingga dana perumahan. Dengan sistem jaminan sosial terintegrasi, pemerintah bisa menjamin semua kebutuhan rakyat dari lahir sampai meninggal dengan baik. Selain itu, pembayaran iuran yang hanya satu kali meminimalkan tumpang-tindih iuran. 

Tumpang-tindih iuran ini menjadi perhatian anggota BPJS Watch, Timboel Siregar. Menurut dia, pemerintah sudah punya program serupa Tapera di BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja formal yang terdaftar sebagai peserta badan tersebut memiliki hak untuk mengajukan kredit pembangunan rumah atau renovasi rumah. Ini bagian dari manfaat membayar iuran jaminan hari tua. Ketentuan tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan dalam Program Jaminan Hari Tua. 

Salah satu manfaatnya adalah program uang muka perumahan paling banyak sebesar Rp 150 juta. Untuk kredit kepemilikan rumah terdapat manfaat hingga Rp 500 juta dan renovasi rumah maksimal Rp 200 juta. Pekerja formal swasta ataupun perusahaan pelat merah juga bisa menggunakan paling banyak 30 persen dari saldo jaminan hari tuanya untuk perumahan. Dengan syarat, sudah menjadi peserta minimal 10 tahun. 

Timboel juga menyoroti ketentuan penerima manfaat dalam Tapera yang hanya dirasakan MBR. "Pekerja yang bukan MBR menurut kategori Tapera itu sebenarnya juga masih sulit mengakses pinjaman KPR untuk memiliki rumah, tapi dalam Tapera tidak berhak mendapat manfaat Tapera," kata dia.

Catatan lain dari Timboel adalah kepastian imbal hasil dari pengelolaan dana Tapera. "Ini nanti ditentukan secara subyektif oleh BP Tapera. Berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal sama dengan rata-rata deposito bank pemerintah."

Dia mengusulkan agar ketentuan yang mewajibkan kepesertaan Tapera untuk seluruh pekerja diganti menjadi sukarela. Sebab, terdapat risiko gangguan pada konsumsi buruh dan arus kas perusahaan jika kebijakan iuran ini dipaksakan. Untuk menjawab masalah backlog perumahan, dia menilai program manfaat tambahan jaminan hari tua di BPJS Ketenagakerjaan bisa menjadi solusi sehingga masyarakat dan perusahaan tidak perlu membayar iuran lagi.

Di tengah kritik sejumlah kalangan, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah sudah menghitung kebijakan Tapera ini sebelum akhirnya diresmikan. Jokowi yakin masyarakat akan merasakan manfaat program Tabungan Perumahan Rakyat ini di kemudian hari. Dia berkaca dari program jaminan kesehatan nasional yang saat awal diluncurkan mendapat banyak penolakan. "Tapi setelah berjalan, saya kira masyarakat merasakan manfaatnya bahwa ke rumah sakit tidak dipungut biaya," kata dia. "Hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum, biasanya pro dan kontra." 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Andika Dwi, Adinda Alya Izdhar, Annisa Febiola, dan Kodrat Setiawan berkontribusi pada penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus