Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tak seperti biasanya di mana APBN perubahan diputuskan pada pertengahan tahun, kali ini penyesuaian dilakukan dalam dua bulan tersisa sebelum tutup tahun.
Di tengah perekonomian yang melambat saat ini, bukan hal mudah untuk mencapai target penerimaan pajak yang cukup ambisius tersebut. Butuh upaya ekstra dan implikasinya akan memberikan sinyal negatif bagi dunia usaha. Saat ekonomi melambat, daya beli melem
Direktorat Jenderal Pajak menyatakan optimismenya dapat mencapai target penerimaan yang ditetapkan.
JAKARTA — Pemerintah merevisi target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Tak seperti biasanya APBN perubahan diputuskan pada pertengahan tahun, kali ini penyesuaian dilakukan dalam dua bulan tersisa sebelum tutup tahun.
Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 yang diundangkan pada 10 November 2023.
Penerimaan pajak ditargetkan naik 4,8 persen, dari sebelumnya Rp 2.021,22 triliun menjadi Rp 2.118,35 triliun. Penyesuaian itu dilakukan bersamaan dengan penyesuaian pos belanja negara, defisit anggaran, pembiayaan anggaran, serta rencana penggunaan dana saldo anggaran lebih.
Adapun penerimaan pajak dalam negeri ditargetkan naik menjadi Rp 2.045 triliun, dari sebelumnya Rp 1.963 triliun. Rinciannya, penerimaan pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 1.049 triliun, pendapatan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sebesar Rp 731,04 triliun. Terakhir, pos penerimaan yang ditingkatkan adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dari sebelumnya Rp 441,39 triliun menjadi Rp 515,8 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengungkapkan, langkah pemerintah melakukan perubahan APBN di ujung tahun terbaca sebagai suatu langkah antisipatif menopang lonjakan belanja bantuan sosial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Revisi target penerimaan ini sebagai konsekuensi adanya kenaikan di sisi belanja pemerintah pusat yang sudah teralokasi sesuai dengan peruntukannya,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 19 November 2023.
Pemerintah antara lain memiliki agenda penambahan bantuan sosial pada periode November-Desember 2023 guna menghalau risiko pelemahan ekonomi akibat dinamika perekonomian global dan domestik. Dinamika yang dimaksudkan antara lain tren kenaikan suku bunga dan inflasi global, serta fenomena El Nino yang menaikkan harga bahan kebutuhan pokok utama, khususnya beras.
Kementerian Keuangan merinci total kebutuhan anggaran yang akan digelontorkan adalah sebesar Rp 7,52 triliun untuk 18,8 juta keluarga penerima manfaat program Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan sebesar Rp 2,67 triliun untuk 21,3 juta keluarga penerima manfaat program tambahan bantuan beras. Harapannya, belanja tersebut dapat menjaga tingkat konsumsi masyarakat, sehingga target pertumbuhan ekonomi 2023 dapat tercapai, yaitu sebesar 5,1 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi triwulan III 2023 tercatat melambat, yaitu sebesar 4,94 persen.
Eko berujar, di tengah perekonomian yang melambat saat ini, bukan hal mudah untuk mencapai target penerimaan pajak yang cukup ambisius tersebut. “Pastinya butuh upaya ekstra dan implikasinya akan memberikan sinyal negatif bagi dunia usaha, di mana saat ekonomi melambat, daya beli melemah, tapi target pajak mendadak malah dinaikkan,” ucapnya.
Suasana pelayanan pajak di KPP Pratama Jakarta Matraman, Jakarta, 2 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Pengusaha Pesimistis Target Penerimaan Pajak Tercapai
Keraguan serupa disampaikan oleh kalangan pelaku usaha. Deputi Kepala Komite Tetap untuk Asia-Pasifik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bambang Budi Suwarso menuturkan, langkah pemerintah menaikkan target penerimaan pajak ini terjadi pada momentum yang tak normal. Dia menilai saat ini negara tengah disibukkan dengan persiapan Pemilu 2024 mendatang, yang melibatkan sejumlah menteri hingga pejabat negara.
Padahal Kadin menilai target penerimaan pajak tak bisa semata-mata hanya bertumpu pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tapi juga turut membutuhkan dukungan dari kementerian/lembaga lain. “Di antaranya peran Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian BUMN, hingga Kementerian Luar Negeri yang mampu mendorong investasi dan perdagangan,” katanya. Atas dasar itulah, tebersit keraguan target penerimaan pajak anyar itu dapat tercapai secara maksimal.
Kadin pun menyoroti kenaikan target penerimaan pajak yang turut bertumpu pada kenaikan PPh, khususnya yang bersumber dari minyak dan gas. Menurut Bambang, hal ini kontraproduktif dan bertolak belakang dengan kampanye pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi yang mendukung penggunaan energi terbarukan dalam upaya transisi energi. “Kementerian Keuangan harus berjalan seiring dengan agenda utama pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.”
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan optimismenya dapat mencapai target penerimaan yang ditetapkan. Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan setoran pajak pada periode November dan Desember bakal tumbuh 12,2 persen, sehingga dapat melampaui outlook sebesar Rp 1.818,2 triliun. “Kita akan mencari solusi bersama untuk mencapai tujuan, yaitu tercapainya target penerimaan dan berjalannya reformasi perpajakan,” ucapnya.
Suryo mengiyakan terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi otoritas pajak, di antaranya adalah basis penerimaan 2022 yang tinggi, tren penurunan harga komoditas global, dinamika politik dalam negeri, hingga fluktuasi perekonomian global. “Meski demikian, penerimaan pajak tetap berpeluang melampaui target dengan strategi sumber daya dan proses bisnis yang dijalankan DJP secara konsisten.” Adapun hingga September 2023, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.387,78 triliun atau mencapai 80,8 persen dari target APBN 2023.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengungkapkan bahwa banyaknya ketidakpastian tahun ini diduga sebagai salah satu latar belakang perubahan penyesuaian target penerimaan pajak. “Pada awal tahun penerimaan pajak kita sempat tumbuh 40 persen, tapi terakhir hanya tumbuh 5,9 persen,” katanya. Salah satunya akibat fluktuasi harga komoditas, seperti minyak mentah yang sempat turun hingga hampir 50 persen dari titik tertinggi tahun lalu, tapi kemudian naik akibat konflik geopolitik Timur Tengah. “Mungkin perubahan ini sebagai bentuk penyesuaian seiring dengan berjalannya waktu.”
Sedangkan untuk pos PNBP diperkirakan banyak bertumpu pada penerimaan sumber daya alam (SDA) nonmigas dan penerimaan yang bersumber dari kekayaan negara dipisahkan atau pos dividen BUMN. “Proyeksinya untuk realisasi penerimaan yang berasal dari setoran BUMN bakal meningkat hampir 75 persen dibanding periode yang sama tahun lalu,” ujar Fajry.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo