Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kurang tiga bulan sebelum 2024 berganti, masih ada 27 perusahaan yang antre mencatatkan saham perdana mereka atau initial public offering (IPO) di pasar modal dalam negeri.
Dengan sisa tiga bulan, sejumlah analis ragu target 62 perusahaan IPO tahun ini.
Secara global, tren IPO juga menunjukkan penurunan.
KURANG dari tiga bulan sebelum 2024 berganti, masih ada 27 perusahaan yang antre mencatatkan saham perdana atau initial public offering (IPO) mereka di pasar modal dalam negeri. Jika 27 perusahaan tersebut berhasil melakukan IPO, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal melampaui target 62 emiten baru pada tahun ini.
Hingga pekan kedua Oktober 2024, BEI mencatat 36 emiten anyar resmi melantai di bursa dengan total dana yang dihimpun mencapai Rp 5,42 triliun. Namun, dengan sisa tiga bulan, sejumlah analis ragu target 62 perusahaan IPO pada tahun ini bisa tercapai.
"Rasanya tidak mungkin tiap pekan 3-4 kali IPO," kata Investment Consultant PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk Reza Priyambada kepada Tempo, Senin, 14 Oktober 2024.
Selain soal waktu, tantangan untuk mewujudkan target tersebut adalah minat investor. Di tengah kondisi pasar saat ini, Reza menilai pelaku pasar masih cenderung wait and see untuk membeli saham-saham baru. Sementara itu, para emiten melantai di bursa dengan tujuan menggalang dana.
Pasar saat ini sedang tidak dalam kondisi prima, meskipun tahun ini Indeks Harga Saham Gabungan berulang kali menorehkan rekor nilai tertinggi. Reza mencatat kenaikan tersebut hanya ditopang oleh beberapa emiten. Selain itu, ada risiko ketidakpastian yang masih tinggi dari dalam dan luar negeri. Daftar penyebabnya panjang, dari konflik geopolitik yang memanas, tingginya suku bunga, pelemahan ekonomi di sejumlah negara, hingga deflasi lima bulan berturut-turut.
Reza menilai target IPO tahun ini bisa tak tercapai setelah kasus suap di perusahaan tersebut mencuat. Lima karyawan BEI dipecat lantaran ketahuan meminta imbalan dan gratifikasi atas jasa pencatatan saham perdana. Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad menyatakan kelima karyawan tersebut melanggar etik karena menerima imbalan dan gratifikasi atas jasa mereka dalam penerimaan emiten agar sahamnya dapat tercatat di BEl.
Analis sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, pun memperkirakan BEI kesulitan mencapai target IPO mereka pada tahun ini karena ekonomi global yang tak stabil. Hingga akhir tahun nanti, kondisi tersebut tak akan banyak berubah.
Ditambah lagi, pelaku pasar sedang menanti proses pemilihan anggota kabinet di pemerintahan baru. Nama-nama menteri yang muncul bakal menjadi pertimbangan bagi investor dalam mengestimasikan pertumbuhan ekonomi ke depan. "Tantangan besar buat pemerintahan baru ini adalah menstabilkan perekonomian kita," katanya. "Ini yang membuat perusahaan yang mau listing di bursa juga jadi berhati-hati."
Target Emiten Baru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain soal kuantitas, Ibrahim berharap BEI memperhatikan kualitas para calon emiten ini. Dia mencatat tak sedikit emiten baru yang nilai sahamnya cenderung stagnan. Investor retail bisa jadi yang paling merugi jika urusan kualitas ini terbengkalai.
Penambahan pemain di lantai bursa sebenarnya membawa keuntungan tersendiri. Senior Analyst Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan penambahan emiten penting untuk meningkatkan kapitalisasi pasar saham.
Target Emiten Baru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Analis Samuel Sekuritas, Suria Dharma, mengatakan pasar yang besar bakal menarik lebih banyak investor. "Orang jadi punya lebih banyak pilihan," tuturnya. Situasi ini terutama bakal menarik lebih banyak pemain asing.
Tempo berupaya menghubungi Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengenai perkembangan IPO pada tahun ini, tapi ia tak merespons hingga berita ini ditulis. Sementara itu, Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad belum menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo.
Target Emiten Baru
Adapun Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi yakin penghimpunan dana di pasar modal masih dalam tren positif. Dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK pada Selasa, 1 Oktober 2024, ia berujar sebagian dari total dana yang dihimpun berasal dari 28 emiten baru yang melakukan IPO dengan nilai sekitar Rp 4,39 triliun.
Menurut Inarno, hal itu menunjukkan, meskipun kondisi ekonomi sedang sulit, masih ada perusahaan baru yang memutuskan menggalang dana melalui pasar modal. Terlebih, masih ada 27 pipeline penawaran umum dengan perkiraan nilai indikatif sebesar Rp 53,8 triliun.
Tren penurunan IPO sebenarnya mulai terlihat pada paruh pertama 2024. Pada akhir semester I tercatat hanya 25 perusahaan yang terdaftar dengan nilai US$ 248 juta. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, ada 44 perusahaan dengan total penggalangan dana sebesar US$ 2,28 miliar.
Deloitte, dalam laporannya bertajuk "Southeast Asia Mid-Year IPO Snapshot 2024", mengidentifikasi penurunan ini dipicu oleh sikap investor dan perusahaan yang memilih menahan diri. Mereka mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang lesu. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang sekarang mencapai 6 persen serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang sudah menembus level 16 ribu hanyalah dua alasan di baliknya.
Meski begitu, pasar saham Indonesia masih lebih baik dibanding sejumlah negara di Asia Tenggara jika berbicara soal IPO. Namun, dari sisi nilai yang diraih, Malaysia mengantongi dana lebih besar dengan total US$ 450 juta dari 21 IPO. Selain itu, ada Thailand dengan total penggalangan dana sebesar US$ 427 juta dari 17 IPO.
Secara global, tren IPO juga menunjukkan penurunan. Datanya muncul dalam laporan EY Private bertajuk "EY Global IPO Trends Q3 2024". Lembaga tersebut mencatat jumlah IPO global turun 11 persen selama Januari-September pada 2023 dan 2024. Angkanya turun dari 983 IPO menjadi 870 IPO. Nilainya juga anjlok 23 persen dari US$ 100,8 miliar menjadi US$ 77,6 miliar.
Kinerja ini terutama disebabkan oleh lesunya pasar saham di kawasan Asia Tenggara. Jumlah emiten yang menawarkan saham perdananya turun dari 575 perusahaan menjadi 330 perusahaan atau turun 43 persen. Nilainya turun lebih besar dari US$ 60 miliar menjadi US$ 20 miliar.
EY Private menyebutkan tren ini dipicu oleh ketidakpastian kondisi ekonomi global yang datang dari panasnya konflik geopolitik, pergerakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, hingga pemilihan presiden di Amerika. Namun EY Global IPO Leader George Chan mengklaim optimisme masih ada. "Seiring dengan penurunan inflasi dan suku bunga, muncul faktor lain yang mempengaruhi keputusan IPO," ujarnya. Di tengah kondisi ini, dia menggarisbawahi pentingnya otoritas menghadirkan emiten yang berkualitas bagi para pelaku pasar.
George juga mencatat ada potensi tambahan aktivitas IPO seiring dengan menurunnya biaya pinjaman. Peningkatan IPO diperkirakan terjadi terutama di sektor-sektor rentan pergerakan suku bunga, seperti kesehatan, keuangan, dan real estat. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan juga mendorong calon emiten dari sektor teknologi dan infrastruktur melantai di bursa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo