Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMULA, agak sulit juga menebak nasib neraca pembayaran
Indnesia sesudah ditimpa beberapa kejadian bertubi-tubi.
Pukulan pertama datang ketika harga patokan minyak OPEC turun
dari US$ 34 menjadi US$ 29 per barel pada bulan Februari. Bulan
berikutnya, demi mengamankan penerimaan RAPBN 1983/1984 yang
dibuat dengan perkiraan harga minyak US$ 34 per barel, rupiah
didevaluasikan sebesar 38%.
Pada tahap ini, devisit trarnsaksi berjalan pada neraca
pembayaran diperkirakan sulit dikendalikan lagi, dan jumlahnya
ditaksir akan mencapai US$ 11 milyar. Kalau ini dibiarkan
terjadi, sudah pasti ekonomi akan goyang. Biarpun seluruh
cadangan devisa pemerintah dikuras dan utang komersial dari
luar negeri dikerahkan, jumlahnya tetap tak akan cukup untuk
menopang defisit sebesar itu.
Menyadari posisi yang cukup gawat itu pemerintah, pada bulan
Mei, memutuskan penundaan sejumlah proyek besar, termasuk
empat proyek industri hulu yang nilainya sudah mencapai US$ 5,05
milyar. Di luar dugaan, ekspor nonminyak pada bulan-bulan
berikutnya mulai membaik. Maka, sesudah pelbagai gejolak itu
mereda, mulailah sayup-sayup tampak bentuk neraca pembayaran
hingga akhir Maret tahm depan.
Di depan DPR, beberapa waktu lalu, gubernur Bank Indonesia
Arifin Siregar memberikan beberapa indikasi tentang hal yang
akan terjadi kemudian. Dikatakannya bahwa defisit transaksi
berjalan -selisih antara impor barang serta jasa dan ekspor
barang serta jasa - hanya bakal berjumlah US$ 5,1 miIyar. Di
APBN 1983/1984, defisit ini diperkirakan US$ 6,2 milyar. Sesudah
devaluasi dan penundaan sejumlah proyek besar, Menteri
Koordinator Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana
masih merperkirakan, defisit itu mencapai US$ 6,5 milyar.
Kenapa sekarang Bank Indonesia berani menduga bahwa
defisit akan mencapai US$ 14 milyar lebih rendah?
Jawabannya ada perbaikan ekspor nonminyak. Itu terjadi
terutama pada kuartal kedua tahun ini, pada saat ekspor
nominyak melonjak 29% dari posisi kuartal pertama,
menjado US$ 1.265 juta. Pada tingkat rata-rata seperti ini,
devisa yang masuk dari ekspor nonminyak bisa mencapai
US$ 5 milyar - jauh di atas perkiraan suram APBN,
dan Bank Dunia.
Tapi ketika berbicara di depan DPR, Menteri Perdagangan
Rachmat Saleh dengan nada rendah menyatakan bahwa sampai
akhir tahun ini devisa dari ekspor nonminyak itu hanya
mencapai US$ 4, milyar. Betapa pun taksiran masih berbeda
tanda-tanda itu merupakan sebuah awal yang baik bagi
kebangkitan ekspor nonminyak yang sudah tertekan selama
tiga tahun terakhir ini.
Lokomotip yang ikut menarik ekspor nonminyak kita itu tetap
datang dari Amerika. Hampir seluruh ekspor komoditi nonminyak
ke AS melonjka secara mengesankan. Ekspar kayu lapis ke sana,
misalnya, sampai Agustus lalu, tercatat mencapai 429.727 meter
kubik, atau naik menjadi hampir dua kali lipat dari posisi tahun
lalu, yang hanya 230.87 meter kubik. Dengan membeli sepertiga
kayu lapis Indonesia yang diekspor, Amerika kini merupakan
pembeli kayu olahan terbesar. Secara keseluruhan, sampai Agustus
ekspor kayu lapis mencapai 1,36 juta meter kubik (US$ 321,8
juta), sedangkan tahun lalu 1,25 juta meter kubik USS 287,2
juta.
Menurut Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo),
pulihnya ekonomi di AS memang telah menyebabkan permintaan kayu
lapis di sana meningkat. Banyak rakyat AS kini, kata asiasi
itu, yang membutuhkan kayu lapis untuk membangun rumah
mereka. Gejala itu telah mendorong harga kayu lapis naik dari
US$ 209 (Januari 1982) menjadi US$ 252 (September) per
meter kubik (fob). Tapi September lalu terjadi sikap menahan
diri pembeli sesudah pemerintah federal mengancam akan
mengenakan pajak untuk stok berlebihan pada akhir tahun
(inventori tax). Toh tetap Apkindo berharap, tahun depan
ekspor kayu lapis ke sana akan mencapai 1,25 juta meter
kubik (25% dari seluruh total ekspor) mengingat bawa pajak
inpor kayu lapis meranti akan diturunkan dari 1% menjadi
8%.
Kopi Indonesia yang dibeli rakyat Amerika juga naik 21%.
Gagalnya panen miayak nabati di sana akibat musim kemarau
berkepanjangan membuat Eropa, yang kebutuhan minyak nabatinya
tergantung dari AS, menengok ke Sumatera Utara. Dari Belawan,
pengapalan minyak sawit ke Eropa Barat melonjak dua kali
lipat. Begitu pula ekspor tekstil dan barang-barang
elektronik mulai bangkit.
Di depan DPR ketika itu, gubernur BI Arifin Siregar juga
memberikan indikasi bahwa, pada akhir tahun anggaran nanti,
neraca pembayaran akan surplus US$ 1,4 milyar. Tapi di APBN,
anggaran justru diperkirakan defisit US$ ,46 milyar, sedangkan
Bank Dunia menaksir defisit US$ 0,3 milyar. Kalau angka surplus
Arifin ini bisa dipegang, berarti dalam neraca pembayaran akan
ada aliran modal, mungkin berasal dari bantuan resmi bagi
pemerintah atau investasi sastra, yang besarnya US$ 6,5
milyar.
Itu tak jauh berbeda dengan angka US$ 6,8 milyar yang dipakai
Bank Dunia. Menurut laporan lembaga keuangan itu, pemasukan
modal paling besar (U$ 3, milyar) berupa bantuan bagi
pemerintah, sedangkan pemasukan lain-lain US$ 2,4 milyar.
Sekitar US$ 1 milyar merupakan dana yang harus direpatriasikan
bank komersial kepada Bl dengan bunga libor (suku bunga
antarbank di London) dan sebagian lagi karena kembalinya modal
yang sebelumnya disimpan di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo