Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN pemerintah membuka keran impor bahan baku tekstil menuai polemik. Para produsen tekstil menilai impor yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tersebut bakal memberatkan pabrikan di sektor hulu. "Dengan impor itu, industri hilir bakal memilih tekstil dari luar negeri," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wiraswasta, Kamis pekan lalu.
Menurut Redma, saat ini produsen dalam negeri tengah menikmati gurihnya bisnis benang di Indonesia. Lagi pula, kata dia, pemerintah tak perlu mengimpor bahan baku tekstil karena produksi kain dalam negeri sebanyak 2,7 ton masih cukup untuk kebutuhan domestik dan masih bisa diekspor. "Bahkan kami masih bisa mengekspor," ujarnya.
Persoalan tekstil impor bukan kali ini saja terjadi. Majalah Tempo edisi 11 Desember 1971 dalam tulisan berjudul "Impor Jang Merosot" memberitakan soal tidak diperlukannya tekstil impor untuk melindungi produsen tekstil dalam negeri. Tulisan itu juga mengulas soal maraknya penyelundupan tekstil akibat bea masuk tinggi.
Kala itu, Menteri Perindustrian M. Jusuf dalam sidang Dewan Stabilisasi melaporkan bahwa tekstil impor sudah tidak laku. Untuk beberapa waktu lamanya, tekstil impor tampaknya merupakan momok bagi para produsen dalam negeri. Sejumlah negara tampaknya juga ingin memukul industri tekstil lokal. Beberapa waktu lalu pernah disinyalir bahwa tekstil dari negara seperti Rusia, Republik Rakyat Tiongkok (Cina), Polandia, bahkan Pakistan masuk ke mari dengan harga dibanting (dumping). "Satu kesengajaan yang belum kami ketahui motifnya," kata Direktur Jenderal Tekstil Sjafiun.
Impor tekstil dari Cina rupanya dari pagi-pagi sudah cukup mengkhawatirkan. Direktur Keuangan PT KTSM- produsen tekstil lokal- T. Tomita memperkirakan impor dari Cina berjumlah 1 juta yard sebulan. "Kalau impor itu meningkat menjadi 40-50 juta yard setahun, industri tekstil di Indonesia akan terancam," ujarnya. Satu peringatan yang tak boleh diabaikan apalagi jika Indonesia rujuk dengan Cina. Bagaimanapun, kalau dua raksasa tekstil, Jepang dan Cina, sudah bertarung di sini, bagaimana ruang gerak tekstil "Made in Indonesia"?
Pemerintah memang mencoba memproteksi tekstil dalam negeri. Namun tarif bea masuk yang tinggi, yaitu 60-115 persen untuk tekstil lembaran dan 125-175 persen untuk konfeksi seperti handuk, kemeja, hingga kaus oblong dan celana dalam, ternyata bobol dengan penyelundupan. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Padang Sudirdjo mengatakan 70 persen penyelundupan sepanjang 1970 berupa tekstil. Dan ini, kata Sjafiun, sebanyak 80 juta meter dari 260 juta meter tekstil impor yang masuk.
Sekalipun impor selundupan tak lebih dari 1 persen jumlah tekstil yang dikonsumsi, teriakan produsen tekstil rupanya cukup keras terdengar dan merepotkan aparat birokrasi pemerintah. Persoalan tak akan muncul kalau Bea-Cukai tak kewalahan membasmi penyelundupan di Tanjung Priok. Lalu bagaimana aparatnya melawan penyelundup di tempat terpencil seperti Sabang dan Riau?
Padang Sudirdjo dan kawan-kawan juga sadar bahwa prestasinya akan dinilai dari jumlah yang disumbangkan pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Langkah-langkah perbaikan mulai dilaksanakan. Sekalipun agak kurang meyakinkan, banyak pejabat Bea-Cukai yang telah dipecat, diberhentikan, atau dimutasikan karena penyelewengan yang dilakukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo