Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu luang Hasan Basri makin banyak tiga bulan terakhir. Kapten pilot Sriwijaya Air itu kini hanya mengantongi jatah menerbangkan burung besi rata-rata 40 jam dalam sebulan atau tak lebih dari dua jam terbang per hari, berkurang separuh dari sebelumnya. Hasan pun kian akrab dengan informasi pembatalan penerbangan yang diterimanya dari kantor.
Merosotnya frekuensi jatah terbang ini dipicu kapasitas armada Sriwijaya yang berkurang. Di lapangan, kata Hasan, para teknisi menyebutkan hanya sepuluh dari 30 unit pesawat Sriwijaya yang laik meng-udara. “Karena masalah berkepanjangan, jadi begini,” ucap Hasan kepada Tempo, Rabu, 27 November lalu.
Masalah yang dimaksud Hasan adalah krisis keuangan PT Sriwijaya Air, yang sejak tahun lalu terbelit utang dan likuiditas cekak. Upaya menyelamatkan perseroan lewat kerja sama manajemen dengan PT Garuda Indonesia Tbk belakangan berantakan seiring dengan konflik di antara kedua perusahaan.
Pada Senin, 25 November lalu, masalah finansial Sriwijaya dan putusnya hubungan kerja sama dengan Garuda turut dibahas dalam rapat kerja Komisi Perhubungan dan Infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Persamuhan itu semestinya membahas laporan akhir Komite Nasional Keselamatan Transportasi mengenai investigasi kecelakaan Lion Air JT 610.
Wakil Ketua Komisi Perhubungan Syarif Abdullah Alkadrie mempersoalkan adanya laporan bahwa Sriwijaya telah menjual tiket penerbangan hingga akhir tahun untuk kapasitas 27 pesawat meski hanya sepuluh unit yang siap diterbangkan. “Banyak standar keselamatan Sriwijaya yang tidak sesuai dengan prosedur,” ujar politikus Partai NasDem tersebut.
Menjawab pertanyaan Dewan, Menteri Budi memastikan Sriwijaya tetap dikendalikan manajemen yang profesional setelah pecah kongsi dengan Garuda. Dia juga menyatakan pengecekan kelayakan operasi Sriwijaya telah dilakukan pada aspek pemeliharaan (maintenance) dan layanan teknis di darat (ground handling). “Maka, secara teknis, Sriwijaya dapat melaksanakan kegiatan,” katanya. Walau begitu, Budi mengakui masih menunggu hasil audit laporan keuangan Sriwijaya, yang setahun terakhir tak diterimanya sejak perseroan bekerja sama dengan Garuda.
KERJA sama manajemen dengan Grup Garuda dimulai pada November 2018, setelah Sriwijaya hampir kolaps. Maskapai penerbangan yang didirikan kakak-adik Chandra dan Hendry Lie 16 tahun lalu ini tak dapat membayar utang senilai Rp 2,46 triliun kepada lima perusahaan pelat merah—termasuk Garuda. Pengendalian Garuda terhadap Sriwijaya ini yang sempat memancing curiga Komisi Pengawas Persaingan Usaha bahwa ada praktik kartel di industri penerbangan lantaran didominasi dua grup: Garuda dan Lion Air.
Aroma keretakan hubungan Sriwijaya dengan Garuda mulai tercium pada Maret 2019. Pemegang saham Sriwijaya menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa untuk mengubah anggaran dasar perusahaan tanpa melibatkan direksi yang dipimpin Joseph Adriaan Saul, perwakilan Garuda. Dalam perubahan itu, kewenangan direksi mulai dibatasi.
Perseteruan antara pemegang saham dan pengelola memuncak pada awal pekan kedua September lalu. Kala itu, rapat Dewan Komisaris Sriwijaya mencopot tiga direktur perseroan bekas pejabat Garuda. Merasa tak diajak berembuk, Garuda membalas dengan menarik layanan perawatan dan perbaikan teknis (maintenance, repair, and overhaul/MRO), termasuk untuk mesin pesawat yang disewakan ke Sriwijaya.
Dengan armada laik operasi terbatas dan layanan pemeliharaan diragukan, Sriwijaya terancam tak bernapas panjang. Rapor penilaian risiko dan potensi gangguan (hazard identification and risk assessment/HIRA) merah. Kondisi ini diperparah cekaknya kas perseroan, yang per September 2019 hanya tersedia Rp 10 miliar. Padahal maskapai membutuhkan US$ 2-3 juta atau mencapai Rp 42,5 miliar per bulan untuk perawatan teknis pesawat.
Menerima laporan tersebut, Kementerian Perhubungan memberikan waktu tiga bulan kepada manajemen Sriwijaya untuk memperbaiki tata usaha perusahaan. Terhitung per 26 September 2019 kursi Direktur Utama Sriwijaya diduduki Jefferson Irwin Jauwena dengan diskresi dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara. Mantan direktur Nam Air—anak perusahaan Sriwijaya—itu bertanggung jawab selama masa transisi.
HUBUNGAN Sriwijaya dengan Garuda sempat membaik pada awal Oktober 2019. Namun itu tak lama. Kisruh kembali pecah. Pada Rabu, 6 November lalu, sejumlah anak perusahaan Garuda, seperti GMF AeroAsia, Gapura Angkasa, dan Aerofood ACS, menarik seluruh layanannya kepada Sriwijaya.
Pencabutan ini mengakibatkan kekacauan penerbangan di Makassar. Malam itu, sekitar 400 penumpang batal diterbangkan dan mengamuk di Bandar Udara Sultan Hasanuddin. “Kami tidak dapat approval fuel. Padahal pesawat sudah siap,” tutur Jefferson Irwin Jauwena ketika ditemui Tempo di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis, 28 November lalu.
Jefferson didampingi Yusril Ihza Mahendra. Pengacara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu mencuat di pusaran masalah ini sebagai kuasa hukum Sriwijaya. Belakangan, Yusril juga didapuk sebagai komisaris perseroan dengan mengapit 10 persen saham Sriwijaya.
Yusril pula yang mewakili Sriwijaya ketika persoalan ini dibahas dalam rapat koordinasi dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Seusai pertemuan, 7 November lalu, yang juga diikuti Menteri Perhubungan Budi Karya, Luhut menyatakan kerja sama kedua maskapai dilanjutkan hingga tiga bulan ke depan. Kedua perusahaan, kata dia, sepakat audit dilakukan terhadap kerja sama ini. “Karena ada yang punya utang ini, utang sana, segala macam teknislah,” ucapnya.
Perseteruan Sriwijaya dan Garuda belakangan memang meruncing ke adu klaim. Yusril mengklaim Sriwijaya, yang semestinya disehatkan dengan kerja sama ini, justru dibuat tekor. “Perusahaan jadi amburadul, utang bertambah, efisiensi tidak terjadi,” ujar Yusril, Kamis, 28 November lalu.
Yusril mencontohkan soal adanya klausul management fee dan cost sharing. Direksi Sriwijaya sebelumnya yang berasal dari perwakilan Garuda mencatatkan hak pengelolaan 5 persen dan cost sharing 65 persen dari laba kotor perusahaan sebagai piutang Garuda di Sriwijaya. Nilainya sekitar Rp 650 miliar. “Perusahaan belum sehat, tapi sudah dicatatkan tambah utang,” katanya.
Hal sebaliknya dilaporkan manajemen Garuda. Di depan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 3 September lalu, tim Garuda menyatakan pendapatan Sriwijaya membaik. Biaya perawatan Sriwijaya juga makin efisien dengan penurunan sebesar 20 persen. Selain itu, utang kepada PT Pertamina (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan GMF AeroAsia turun dari Rp 2,3 triliun pada 2018 menjadi Rp 1,9 triliun. Garuda meminta Sriwijaya tetap membayarkan utangnya kepada semua BUMN. “Semoga ada iktikad baik dari mereka,” ucap juru bicara Grup Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, Kamis, 7 November lalu.
Manajemen Sriwijaya Air hakulyakin bisa kembali bangkit. Di tengah ketidakjelasan nasib utang seusai kongsi dengan Garuda, Yusril menjajaki kerja sama baru dengan sejumlah maskapai luar negeri, seperti Cebu Pacific Air asal Filipina dan Qatar Airways. Dengan Cebu, Sriwijaya hendak menawarkan kerja sama cost sharing. Adapun Qatar diharapkan menanamkan sahamnya di Sriwijaya. “Misi kami untuk angkutan haji dan umrah,” tutur Yusril.
Sriwijaya berharap mendapat harga sewa pesawat yang lebih murah di tengah merosotnya kondisi ekonomi global. “Kami stabilkan operasi dulu, baru berlari lagi,” kata Jefferson.
PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo