Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI swasta di Indonesia tidak mudah. Sejak paket restrukturisasi badan usaha milik negara (BUMN) digulirkan empat tahun silam, baru Semen Gresik yang masuk ke pasar modal. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, 16 perusahaan swasta sudah terjun di bursa dengan mulus. Adapun PT Perkebunan XXIV- XXV, yang rencananya masuk pasar modal bulan April ini, tertunda gara-gara tersandung isu manipulasi. Ketika Menteri Keuangan J.B. Sumarlin memerintahkan restrukturisasi pada tahun 1989, sedikit sekali BUMN yang melirik swasta atau mejual sahamnya di Bursa Efek Jakarta. Hampir setengah dari 180-an BUMN memilih mengubah statusnya dari perum menjadi persero. Sisanya memilih merger dan beberapa menjualnya ke BUMN lain. Ada tiga BUMN, di antaranya PT Gaya Motor (perusahaan patungan Pemerintah dengan Astra), dijual kepada PT Rajawali Nusantara (BUMN). Dan sungguh di luardugaan, ada 10 BUMN yang baru didirikan. Mengapa BUMN sulit masuk pasar modal? Inilah yang menjadi pertanyaan banyak kalangan, termasuk Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI). Dari hasil penelitian PDBI, di luar Pertamina dan bank negara, pada tahun 1991 ada 24 BUMN (lihat tabel) yang memenuhi syarat untuk masuk pasar modal. Perusahaan tersebut, menurut Christianto, mampu mencetak laba bersih 19% setahun atau setara bunga deposito. Bahkan ada yang lebih baik dari perusahaan swasta yang sudah tercatat di bursa. ''Sudah selayaknya BUMN yang berpotensi go public diloloskan juga masuk bursa,'' kata Christianto. Tentu saja Direktur PDBI ini tidak asal bicara. Selain pembukuan BUMN itu dinilai sehat selama tiga tahun dan mencetak laba dua tahun berturut-turut, PDBI juga menilai BUMN dengan kriteria kinerja (kesehatan) Pemerintah. Seperti tertuang dalam SK Menteri Keuangan 28 Juni 1989, kinerja BUMN diukur melalui rentabilitas (kemampuan mencetak laba), likuiditas (kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek), dan solvabilitas (kemampuan menutup kewajiban jangka panjang). Nah, setelah diteliti ternyata, menurut versi PDBI, 14 dari 24 BUMN itu mendapat nilai sangat sehat (SS) dan sisanya dinilai sehat (S). Adapun BUMN yang mendapat nilai SS antara lain PT Semen Tonasa, Semen Padang, Sucofindo, Indosat, dan Kimia Farma. Tak kalah menarik adalah Garuda Indonesia. Perusahaan penerbangan yang pada tahun 1991 beraset Rp 2,3 triliun dan mencetak laba bersih Rp 186 miliar ini, di luar dugaan, mendapat nilai sehat. Dulu, di bawah Suparno, Garuda pernah mengutarakan niatnya menjual saham di pasar modal. Namun niat itu padam setelah Menteri Perhubungan Azwar Anas menegur ''kelancangan'' Suparno. Selain Garuda, Perum Pegadaian, Perumnas, serta Pos dan Giro tergolong sehat dan potensial untuk terjun ke bursa. Jika BUMN-BUMN tadi diizinkan masuk bursa, hal ini tentulah akan menggairahkan pasar modal, di samping memperbesar nilai pasar. Soalnya, kekayaan mereka hampir seperempat total kekayaan 139 perusahaan yang tercatat di bursa (Rp 64 triliun). Yang pasti, di bursa BUMN-BUMN itu dapat mencari dana murah sekaligus mampu mengurangi beban Pemerintah. Persoalannya, kunci izin masuk bursa terletak pada Pemerintah, yang tentu mempunyai penilaian dan pertimbangan sendiri. Sebegitu jauh, yang dikhawatirkan Pemerintah tampaknya adalah potensi BUMN untuk merugi, yang kalau sudah masuk bursa tentu akan berdampak pada masyarakat luas. Namun, untuk BUMN yang selama ini berorientasi laba, mengapa tidak? Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo