Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu, sebetulnya membahas topik panas: rencana kenaikan harga bahan bakar minyak. Tapi tak ada debat sengit ataupun interupsi dari anggota Dewan.
Dalam pertemuan tersebut, pemerintah menyampaikan rencana kenaikan harga bensin, per 1 April tahun ini. Dua skenario penyesuaian harga dikemukakan. Pertama, menaikkan harga Premium dan solar Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Dan kedua, mematok subsidi Rp 2.000 saja. Dengan pola ini, harga di tingkat eceran akan naik-turun mengikuti mekanisme pasar. Contohnya, bila harga pasar Rp 8.000 per liter, di tingkat retail setelah disubsidi menjadi Rp 6.000.
Pemerintah akhirnya memilih menaikkan harga, dari sederet alternatif solusi yang pernah disodorkan tim pengkaji subsidi bahan bakar minyak. Kebijakan merevisi harga bensin pertama kali dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pengantar sidang kabinet paripurna di kantor Presiden, 22 Februari lalu. "Harga BBM mau tidak mau mesti disesuaikan dengan kenaikan yang tepat," kata dia.
Pernyataan itu mengejutkan sebagian masyarakat yang masih mengingat janji Presiden bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga minyak tahun ini. Yudhoyono memang sempat mengunci rapat opsi kenaikan. Dalam pidato penyampaian nota keuangan pada Agustus tahun lalu, ia lebih menekankan kebijakan penataan ulang sistem penyaluran subsidi. Maka, jadilah Undang-Undang APBN 2012, dengan Pasal 7 ayat 6 yang menyebutkan "harga jual eceran bahan bakar minyak bersubsidi tidak mengalami kenaikan". Sebagai alternatif, dilemparlah opsi pembatasan konsumsi.
Kesempatan menyesuaikan harga minyak sebetulnya terbuka pada akhir tahun lalu. Undang-Undang APBN-P 2011 Pasal 7 ayat 4 mengizinkan. Syaratnya, rata-rata harga minyak mentah Indonesia lebih dari 10 persen dari harga yang ditetapkan dalam asumsi makro. Kedua, kuota telah habis. Apalagi pada akhir 2011 tak ada tekanan inflasi. Toh, opsi kenaikan harga tak ditempuh.
Tapi kali ini pemerintah tak punya pilihan. Ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat atas program nuklirnya memicu kenaikan harga minyak dunia. Puncaknya, pada 24 Februari lalu, harga minyak jenis Brent mencapai US$ 125,55 per barel, sedangkan minyak AS US$ 109,95 per barel.
Situasi itu membuat pemerintah waswas. Anggaran subsidi bahan bakar minyak bisa menggelembung. Tahun lalu, kantong pemerintah jebol gara-gara realisasi penggunaan minyak bersubsidi mencapai 103,3 persen dari jatah 40 juta kiloliter. Kementerian Keuangan mencatat, subsidi bahan bakar minyak yang dikeluarkan tahun lalu Rp 165,2 triliun atau 127,4 persen, melebihi anggaran yang ditetapkan Rp 129,7 triliun.
Tahun ini, dalam APBN 2012, anggaran subsidi ditekan menjadi Rp 123,6 triliun untuk menyediakan bensin 40 juta kiloliter. Itu pun alokasi dana untuk pengadaan 2,5 juta kiloliter premium tidak akan dicairkan serta-merta. Pemerintah akan mengevaluasi realisasi pemakaian melalui APBN Perubahan 2012.
Sumber Tempo di pemerintahan menuturkan, kenaikan harga minyak dipilih karena program pembatasan tak mungkin dilakukan pada 1 April, sesuai dengan amanat undang-undang. "Pemerintah belum siap," kata sumber itu. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan juga pernah menyampaikan kepada Dewan, ketidaksiapannya melaksanakan kebijakan pembatasan bensin bersubsidi.
Karen menjelaskan, saat ini di Jawa-Bali terdapat 3.062 stasiun pompa bensin. Dari jumlah itu, baru sekitar 2.080 stasiun yang memiliki infrastruktur untuk menjual Pertamax. "Pompa bensin itu yang siap menjalankan pembatasan pada April nanti," kata dia. Pertamina membutuhkan 687 stasiun pompa bensin lagi.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, pemerintah kini melakukan simulasi menaikkan harga minyak. Artinya, opsi pembatasan tidak lagi dibicarakan. Pembahasan lain yang berlanjut adalah soal konversi ke gas, yang akan dilakukan sampai tuntas.
Sumber lain bercerita, kabinet sempat "terbelah" dalam memutuskan kenaikan harga minyak. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, disokong Menteri Keuangan Agus Martowardojo, mendukung opsi tersebut. Tapi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mempertanyakan alasan kenaikan harga. Djoko menyitir sejumlah data tentang fundamental ekonomi Indonesia: ekonomi tumbuh, cadangan devisa meningkat, dan inflasi rendah. Lalu, mengapa harga bensin harus dinaikkan? Joko khawatir kenaikan harga akan memicu aksi demonstrasi yang mengganggu keamanan.
Ditemui di Istana Negara, Jakarta, Kamis pekan lalu, Djoko membantah sempat berbeda pendapat. "Kata siapa? Ini masih dalam proses (pembahasan)," ujar dia. Bahkan Djoko mengatakan Presiden Yudhoyono tidak khawatir apabila ada demo besar-besaran menentang kenaikan harga BBM. Pemerintah telah mengantisipasi kemungkinan protes seperti itu.
"Kalaupun massanya sampai puluhan ribu, ratusan ribu sekalipun, selama itu tertib, tidak merusak dan mengganggu orang lain, tidak jadi masalah. Kalau 10-20 orang tetapi anarkistis, itu yang harus ditindak," Djoko menambahkan. Jadi, dia melanjutkan, "Silakan berunjuk rasa, menyalurkan aspirasi asal tidak anarkistis."
Hatta menolak menjelaskan soal perbedaan pendapat yang sempat muncul di kabinet. Ia mengatakan pemerintah telah mempertimbangkan secara keseluruhan. "Semua itu demi kebaikan masyarakat. Kami tidak hanya berpikir dari sisi fiskal."
Rancangan APBN Perubahan 2012 itu diajukan Kamis pekan lalu. Di dalamnya, menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dinaikkan menjadi US$ 105 per barel, jauh lebih tinggi dibanding asumsi pada APBN 2012 sebesar US$ 90. Pemerintah mencatat, ICP pada Januari US$ 115 per barel meningkat jadi US$ 122 per 28 Februari lalu.
Pengajuan anggaran baru ini untuk mengusung usul kenaikan harga minyak. Berdasarkan perhitungan, jika harga naik Rp 1.500 per liter, dana subsidi yang bisa dihemat Rp 31,58 triliun. Adapun skenario kedua, bila subsidi dipatok Rp 2.000 per liter, akan ada penghematan bujet subsidi Rp 25,77 triliun.
Hatta menjelaskan, jika kebijakan kenaikan harga bensin disetujui Dewan, asumsi inflasi akan dikoreksi dari 5,3 persen dalam APBN 2012 menjadi 6-7 persen. Asumsi pertumbuhan ekonomi juga akan diubah, yakni 6,5-6,7 persen. Dengan koreksi angka pertumbuhan itu, pendapatan negara dari pajak diyakini menurun. Tapi, dari sisi penerimaan negara bukan pajak, sektor sumber daya alam meningkat. Dampak lain, defisit anggaran diperkirakan menjadi sekitar 2,2 persen.
Pembahasan perubahan APBN, menurut Hatta, dijadwalkan rampung pada Maret ini. Sehingga menjelang 1 April bisa dikeluarkan kebijakan yang lebih pasti. Dalam rapat kerja dengan Komisi Energi pekan lalu, mayoritas fraksi mendukung kenaikan harga. Hanya Fraksi PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera yang terang-terangan menolak.
Achmad Rilyadi dari PKS menolak karena tidak melihat ada upaya sistematis dari pemerintah untuk mengatasi kebocoran dalam pendistribusian bensin bersubsidi. "Kebocoran tahun 2010 mencapai Rp 2 triliun lebih. Ini salah satu sumber penghematan sebenarnya," kata Achmad.
Adapun Daryatmo Mardiyanto dari PDI Perjuangan meminta pemerintah melakukan penghematan belanja lain. "Agar kelompok masyarakat (yang berpotensi terkena imbas kenaikan harga) tidak terganggu." Padahal Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, awal Januari lalu, mengatakan menaikkan harga minyak merupakan langkah yang paling realistis.
Fraksi Partai Golkar, kata Satya W. Yudha, tidak menolak kenaikan harga, selama diimbangi dengan kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga. Menurut dia, kompensasi adalah cara untuk meredam dampak inflasi.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono menegaskan akan ada program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat senilai Rp 150 ribu per bulan selama sembilan bulan. Jumlah ini meningkat ketimbang program Bantuan Langsung Tunai yang cuma Rp 100 ribu per bulan selama enam bulan. "Begitu diumumkan kenaikan 1 April 2012, langsung diberlakukan selama sembilan bulan." Rencananya, bantuan akan diberikan kepada 18,5 juta rumah tangga sasaran.
Rimawan Pradiptyo dan Gumilang Aryo dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, yang melakukan studi tentang skema subsidi bensin di Indonesia, juga merekomendasikan realokasi dana subsidi untuk rumah tangga miskin. Mereka mengusulkan pula penggunaan dana hasil penghematan subsidi untuk pengembangan sarana transportasi cepat massal.
Namun Mardani dari Fraksi PKS mewanti-wanti agar dana bantuan langsung tidak jadi sarana kampanye politik. "Kita tahu pemilu dua tahun lagi," katanya. Ia meminta ada pendataan yang akurat terhadap petani; nelayan; pengusaha mikro, kecil, dan menengah; serta masyarakat di daerah tertinggal.
Retno Sulistyowati, Eka Utami A, Aryani Kristanti
Harga ICP (US$ per barel) | Harga BBM pasar/tanpa subsidi (Rp per liter) |
90 | 7.500 |
100 | 8.000 |
110 | 8.500 |
120 | 9.000 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo