Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Tiga Aspek Ekonomi Hijau yang Terlewat dalam Debat Cawapres Versi CSIS

Peneliti CSIS Dandy Rafritandi menyoroti debat cawapres yang luput membahas tiga aspek penting ekonomi hijau.

22 Januari 2024 | 12.26 WIB

Foto kombinasi gaya ketiga Calon Wakil Presiden (dari kiri) Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD saat tiba di lokasi debat keempat di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu, 21 Januari 2024. Debat keempat Cawapres mengangkat tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Foto kombinasi gaya ketiga Calon Wakil Presiden (dari kiri) Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD saat tiba di lokasi debat keempat di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu, 21 Januari 2024. Debat keempat Cawapres mengangkat tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafritandi mengatakan ada tiga aspek yang luput dibahas oleh para kandidat calon wakil presiden terkait pengembangan ekonomi hijau dalam debat Cawapres kemarin, 21 Januari 2024. Menurut studi CSIS, kata Dandy, ada tiga aspek yang perlu untuk direformasi terkait pengembangan ekonomi hijau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Misalnya soal regulasi, kelembagaan, dan juga pendanaan," ucap Dandy dalam diskusi di Jakarta pada Senin, 22 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menjelaskan aspek kelembagaan kerap menjadi permasalahan saat melakukan transisi ke ekonomi hijau. Karena itu ia menilai pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah harus memperbaiki tata kelolanya. 

Menurutnya, lembaga-lembaga terkait yang ada di Indonesia saat ini harus lebih efektif dalam mengakses isu-isu krisis iklim. Dandy pun menyarankan agar pemerintah selanjutnya membuat satu lembaga yang bisa berperan sebagai koordinator dari penerapan regulasi yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. CSIS menilai lembaga tersebut perlu dibentuk untuk mengawasi tahapan implementasi regulasi ihwal krisis iklim di Tanah Air.

"Menurut kami itu masih diperlukan, mungkin bisa menjadi ide ataupun masukan kepada pemerintahan selanjutnya," ucap Dandy. 

Kemudian ia menyoroti soal harga unit karbon (carbon pricing) dan penerapan pajak karbon. Dandy berujar dua poin itu sempat disebutkan, namun kurang dielaborasi. Menurutnya, dua kebijakan itu penting mengingat adanya kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBEM) yang diterapkan oleh Uni Eropa. 

Dandy menjelaskan CBEM adalah pengenaan tarif impor yang dikenakan kepada negara di luar Uni Eropa ihwal dengan perbedaan harga karbon antar negara tersebut. Sehingga, apabila Indonesia tidak punya carbon pricing, maka akan dikenakan tarif impor yang sangat besar. Walhasil, hal ini akan berbahaya bagi pelaku ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Hal yang lebih membahayakan lagi, tutur Dandy, sudah banyak negara-negara lain yang berkeinginan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

"Jadi menurut saya ini merupakan hal yang urgent," kata dia.

Aspek lain yang ia nilai luput menjadi sorotan para kandidat cawapres adalah pendekatan atau efektivitas kebijakan krisis iklim. Menurutnya, isu adaptasi perubahan iklim dalam debat lebih menekankan pada mitigasi. Padahal, ia menilai pola pikir itu harus diubah untuk kebijakan iklim yang lebih baik di pemerintahan selanjutnya. 

Selain itu, Dandy menggarisbawahi soal kerja sama internasional ihwal kebijakan krisis iklim yang tak dibahas dalam debat semalam. Ia menyayangkan hal tersebut karena kebijakan iklim ini bukan hanya meliputi Indonesia saja melainkan global public goods, yaitu barang publik manfaatnya mempengaruhi seluruh warga dunia. Artinya, apa yang dilakukan oleh Indonesia berdampak pada dunia. Begitupun sebaliknya. Sehingga Indonesia tidak bisa bekerja sendirian untuk mengatasi krisis iklim ini. 

"Jadi menurut saya, kebijakan iklim yang efektif itu tentunya juga harus mengakui kerjasama internasional yang potensial," ujar Dandy. "Terlebih Indonesia memiliki potensi pendanaan yang cukup besar. Misalnya pendanaan dari Just Energy Transition Pertnership atau JETP." 

Dandy berujar bahwa JETP merupakan dukungan yang cukup besar dari negara-negara maju (G7) dan beberapa negara lainnya. Misalnya instrumen hibah dan pinjaman komersial yang nilainya mencapai US$ 20 miliar. Apabila bisa diimplementasikan secara optimal, benefitnya dapat dirasakan masyarakat secara umum.

RIANI SANUSI PUTRI 

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus