Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Tombok di Tambak 20 T

Tambak Dipasena kembali macet. Bagi hasil dengan petani belum disepakati, investor juga perlu tambahan modal.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dipasena Citra Darmaja ter­nya­ta tak setangguh namanya. Pengelola tambak udang terbesar se-Asia Tenggara itu berkali-kali terbentur masalah dan hampir selalu ”kalah”. Berita terakhir, dana Rp 2,6 triliun yang disiapkan untuk menyehatkan Dipasena sejak tahun lalu ternyata belum bisa dicairkan.

Kisah Dipasena bukan sekadar cerita tentang perusahaan besar. Dipa­sena merupakan tambak inti rakyat yang menjadi sandaran hidup lebih dari 7.600 petani. Dengan luas 16.250 hektare (seperempat wilayah DKI), tambak di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, ini merupakan salah satu aset terpenting warisan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Semula, tambak raksasa ini dikuasai Sjamsul Nursalim, pemilik Grup Gadjah Tunggal. Sjamsul menyerahkan Dipasena kepada BPPN untuk melunasi utang kelompok usahanya kepada Bank Dagang Nasional Indonesia, yang ditutup pemerintah. Dipasena sempat memicu perdebatan yang panas ketika asetnya dihargai Rp 20 triliun. Menteri Koordinator Perekonomian (saat itu) Kwik Kian Gie pernah menyebut, ”kolam isi air” itu nilainya tak lebih dari Rp 2 triliun.

Sejak dikelola BPPN, operasi Dipase­na makin tersendat-sendat. Dana ope­ra­sional terbatas, peralatan tambak juga banyak yang rusak. Situasi kian ru­nyam karena perselisihan dengan petani tak kunjung diselesaikan. Produksi udang melorot sampai seperlima kapasitas optimal. Akibatnya, nilai Dipasena makin anjlok.

Untuk menyelamatkan aset penting itu, September 2005, pemerintah menerima tawaran Recapital Advisors mem­beri suntikan modal. Rencananya, Recapital akan menyuntikkan pinjaman (yang bisa dikonversi menjadi modal) senilai Rp 2,6 triliun. Pinjaman itu akan dibagi dua, Rp 1,5 triliun untuk biaya modal perusahaan dan Rp 1,1 triliun untuk ope­rasional petani. Syaratnya: aturan bagi hasil harus segera disepakati.

Perkara bagi hasil itulah yang macet hingga kini. Menurut Nafian Faiz, Kepala Kampung Bumi Dipasena Jaya, ada dua hal yang belum disepakati: biaya panen yang dibebankan kepada pe­tani dan keinginan Dipasena menyeleksi hanya udang sehat dan besar (berat harus lebih dari lima gram) saja yang akan dibeli. Kedua permintaan ini ditolak para petambak. ”Kami bisa rugi,” kata Nafian.

Selain bagi hasil, rupanya ada perkara lain yang lebih gawat: kebutuhan modal untuk menyehatkan Dipasena ternyata jauh lebih besar dari yang semula diperhitungkan. Selisih ini muncul gara-gara sejumlah infrastruktur Dipasena rusak berat.

Dua pembangkit dengan kapasitas 150 MW, misalnya, harus diperbaiki. Selain itu, tambak raksasa ini membutuhkan cold storage yang mampu menampung produksi 300 ton udang setiap hari. Sebagai gambaran, untuk membuat cold storage dengan kapasitas 30 ton sehari saja dibutuhkan biaya US$ 10 juta (Rp 90 miliar). Ini semua tak tercatat dalam kalkulasi awal yang dibuat Ferrier Hodgson, konsultan keuangan yang dulu disewa pemerintah. ”Semua perhitungan meleset,” kata sumber Tempo.

Menurut hitungan terbaru: Dipa­sena membutuhkan modal Rp 4,1 triliun. Tambahan Rp 1,5 triliun itulah yang membuat Recapital seperti ”maju kena, mundur kena”.

Presiden Direktur Recapital, Rosan Perkasa Roeslani, yang juga Komisaris Dipasena, membenarkan perlunya tambahan modal itu. Namun ia menolak anggapan bahwa Recapital belum mencairkan pinjaman satu sen pun. Rosan mengaku telah menyetor Rp 520 miliar untuk Dipasena.

Raden Pardede, Wakil Direktur Utama PPA (lembaga yang menggantikan BPPN), menganggap pembengkakan modal merupakan perkara yang lazim dalam sebuah usaha. Yang penting tambahan itu bisa mendongkrak nilai per­usahaan. ”Jangan dilihat sebagai hal yang memberatkan,” katanya.

Yandhrie Arvian, Nurochman Arrazie (Bandar Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus