Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha memindahkan pabrik demi menekan biaya pengupahan.
Jawa Tengah menjadi tujuan relokasi pabrik padat karya.
Pengusaha tekstil dan sepatu masih tertekan kondisi ekonomi global.
JAKARTA – Pelemahan permintaan ekspor pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki berkepanjangan mendorong puluhan pelaku usaha merelokasi pabrik demi penghematan biaya operasional. Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, mengatakan pergeseran basis produksi industri padat karya sudah jadi kebiasaan lazim selama empat dekade terakhir. Namun, belakangan, tren migrasi pabrik itu meningkat di kalangan pengusaha yang nyaris gulung tikar. “Margin kecil dan kenaikan harga produksi memaksa pelaku usaha mencari daerah baru yang lebih kompetitif,” tuturnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawa Tengah kini dilirik sebagai tujuan utama relokasi industri padat karya. Eddy mengatakan hal itu disebabkan tingkat upah minimum yang lebih rendah dibanding daerah lain, terutama DKI Jakarta dan Jawa Barat. Menurut dia, upah minimum regional untuk pekerja, baik di tingkat provinsi alias upah minimum provinsi (UMP) maupun tingkat kabupaten atau upah minimum kabupaten/kota (UMK), menjadi salah satu aspek pengeluaran yang krusial bagi pemilik pabrik. Dengan kondisi iklim investasi di Indonesia saat ini, porsi biaya pengupahan bisa mencapai 20 persen dari ongkos operasional industri. Padahal, di negara lain, porsi biaya tersebut hanya sekitar 7 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama tiga tahun terakhir, Aprisindo mencatat adanya relokasi 49 pabrik industri padat karya dari berbagai daerah menuju Jawa Tengah. Di luar jumlah itu, masih ada lebih dari 20 pabrik sejenis yang sedang menyiapkan pemindahan. “Kalau ditotal mungkin bisa lebih dari 70 perusahaan. Hampir seluruhnya karena alasan UMK ini,” tutur Eddy. “Beberapa dari mereka menyebutkan selisih pengeluaran untuk pekerja bisa berbeda 30 persen (antara Jawa Tengah dan wilayah asal).”
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat pun sempat menerima kabar rencana relokasi 14 pabrik garmen menuju Jawa Tengah pada awal Februari 2023. Bila dirincikan, terdapat perwakilan sepuluh pabrik dari Kabupaten Bogor dan empat pabrik dari Purwakarta yang saat itu mempersoalkan urusan pengupahan. Para pengusaha mengaku kesulitan membayar gaji pekerja yang harus disesuaikan dengan UMK 2023.
Pekerja mengoperasikan mesin press saat pembuatan sepatu untuk pasar ekspor di pabrik sepatu Fortune Shoes, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia
Adapun UMK Kabupaten Bogor tercatat naik 7,1 persen secara tahunan dari Rp 4.217.206 menjadi Rp 4.520.212, sementara UMK Purwakarta naik 6 persen dari Rp 4.173.569 menjadi Rp 4.464.675. Saat dimintai konfirmasi kembali, kemarin, Kepala Disnakertrans Jawa Barat, Taufik Garsadi, mengatakan 14 pabrik garmen tersebut masih beroperasi seperti biasa. “Belum ada laporan penutupan. Masih jalan,” ujar dia.
Taufik menganggap tekanan para pengusaha padat karya mulai melandai setelah terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2023 yang terbit pada Maret lalu. Sebagai insentif di tengah tekanan permintaan, aturan anyar itu dipakai industri padat karya berorientasi ekspor untuk melakukan efisiensi. Salah satu bentuknya berupa pemangkasan jam kerja buruh yang berujung pada pengurangan upah hingga maksimum 25 persen. Dengan aturan ketenagakerjaan tersebut, Taufik meneruskan, perusahaan bisa menggunakan upah kesepakatan yang nilainya lebih rendah dari UMK asalkan ada kesepakatan dengan buruh.
Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia, Johnny Darmawan, menyebutkan pengupahan hanya satu dari sekian alasan relokasi industri antardaerah. Pergeseran unit usaha juga bisa dipicu tarif logistik, biaya lahan, serta insentif dari pemerintah daerah. “Industri harus saling bersaing untuk urusan cost (pengeluaran). Apalagi sebagian besar bahan baku hasil impor.”
Produk alas kaki di Tangerang Selatan, Banten, 13 September 2022. Tempo/Tony Hartawan
Dalam neraca dagang produk ekspor, permintaan produk tekstil dan sepatu dari Indonesia memang terus melandai akibat ancaman resesi dan konflik dagang di beberapa negara yang menjadi pasar utama, seperti Amerika Serikat dan Cina. Tekanan itu membuat kinerja kedua produk yang sempat tumbuh pada paruh pertama 2022 kembali merosot. Nilai ekspor pakaian rajutan dan aksesorinya tercatat menurun dari US$ 331 juta pada Desember 2022 menjadi US$ 284 juta pada Februari 2023. Dengan perbandingan yang sama, valuasi ekspor alas kaki juga turun dari US$ 562,7 juta menjadi US$ 490,5 juta.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengaku belum mengetahui informasi terbaru ihwal relokasi pabrik di industrinya. Dia menilai situasi ekonomi global lebih berimbas pada ketatnya persaingan produk lokal dengan produk impor. “Seingat saya, belum ada perpindahan ke Jawa Tengah. Kalaupun ada, hanya untuk survive.”
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menunjukkan data 41 perusahaan yang membangun basis produksi baru di Jawa Tengah sepanjang 2019. Sebagian pembangunan itu untuk kebutuhan relokasi, tapi ada juga yang berekspansi atau menambah unit usaha. Mayoritas dari jumlah tersebut merupakan pengusaha tekstil dan kasut. Tak semata karena perbandingan tingkat pengupahan, dia menyebutkan pabrik dari kawasan barat Pulau Jawa juga bermigrasi karena kerumitan birokrasi daerah. “Banyak juga yang pergi dari Banten dan Jawa Barat karena praktik pungli yang keterlaluan. Ada juga karena kesulitan akses air bersih, banjir rob, dan sebagainya.”
AHMAD FIKRI (BANDUNG) | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo