Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mempercepat 10 tahun target netral karbon sektor industri.
Dekarbonisasi berdampak pada harga jual barang.
Sektor industri lahap energi menjadi prioritas dekarbonisasi.
JAKARTA – Kementerian Perindustrian memajukan target netral karbon sektor industri dari 2060 ke 2050. Upaya percepatan dekarbonisasi bakal penuh tantangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sektor industri saat ini menyumbang 15-20 persen dari total emisi gas rumah kaca nasional. Penggunaan energi industri menyumbang 60 persen dari emisi yang dihasilkan. Sekitar 25 persen emisi datang dari limbah industri. Sedangkan sisanya berasal dari proses produksi dan penggunaan produk, atau dikenal sebagai industrial process and product use (IPPU), sebesar 15 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan percepatan dekarbonisasi mendesak dilakukan, antara lain, karena permintaan pasar terhadap produk hijau. Kesadaran konsumen akan produk rendah karbon semakin tinggi. "Selain itu, ada regulasi negara tujuan ekspor Indonesia yang mewajibkan praktik berkelanjutan, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism dan European Union Deforestation Regulation," tuturnya.
Alasan lainnya berkaitan dengan perubahan iklim dan bencana yang mengakibatkan gangguan pada pasokan bahan baku industri. Dekarbonisasi industri juga akan berkontribusi pada komitmen Indonesia menurunkan emisi.
Agus mengakui percepatan pengurangan emisi tak akan mudah. Upaya dekarbonisasi lewat efisiensi energi, pemanfaatan teknologi, dan perubahan cara kerja bakal menambah biaya operasi. Risikonya, harga jual barang akan meningkat.
"Saya minta teman-teman industri tidak melihat ini sebagai beban, melainkan sebagai investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat bagi perusahaan, lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyatakan percepatan dekarbonisasi juga menjadi mimpi pelaku industri. Namun tak bisa ditampik bahwa tambahan biaya bakal menjadi tantangan. "Harga produk hijau itu akan premium," tuturnya.
Dia menilai implementasi dekarbonisasi akan lebih mudah jika difokuskan pada industri-industri berorientasi ekspor. Shinta bercerita, pembeli dari luar negeri semakin banyak yang mengharuskan industri memperhatikan emisinya. "Tapi di dalam negeri, konsumen kita belum siap untuk bayar harga premium."
Ketua Bidang Industri Manufaktur Apindo Bobby Gafur Umar menyebutkan tantangan lain dekarbonisasi adalah konsistensi pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah berupaya menambah bauran energi terbarukan. "Tapi progresnya masih lambat sekali," katanya. Di sektor kelistrikan saja, porsinya masih di kisaran 14 persen hingga akhir 2022, sementara batu bara mendominasi hingga 67 persen.
Bobby menyoroti sejumlah payung hukum tentang pengembangan energi terbarukan yang belum optimal sebagai salah satu alasan lambatnya transisi energi. Selain itu, Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan tak kunjung rampung. Harga energi terbarukan dengan skala ekonomi yang kecil masih lebih mahal dari batu bara. "Itu harus ada terobosan subsidi."
Cerobong asap sebuah pabrik di Cilegon, Banten. Dok. TEMPO/Zulkarnain
Butuh Peta Jalan
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan target netral karbon idealnya dipercepat ke 2050 untuk mencegah suhu dunia terus naik. Sejumlah negara pun sudah mendeklarasikan target ambisius percepatan dekarbonisasi mereka.
Langkah Kementerian Perindustrian mempercepat penurunan emisi di sektor industri, menurut dia, patut diapresiasi. Namun, untuk mewujudkannya, Kementerian butuh peta jalan yang rinci, mengingat bidang industri sangat beragam. Salah satunya untuk menentukan prioritas dekarbonisasi.
Menurut Fabby, akan lebih mudah berfokus lebih dulu pada industri yang menggunakan banyak energi dalam proses produksi. Pemerintah bisa mencarikan substitusi teknologi atau energi yang lebih ramah lingkungan. Dia mencontohkan, industri kertas bisa beralih ke energi biomassa atau industri baja yang bisa mengganti teknologi blast furnace dengan electric blast furnace.
"Implementasikan dulu yang low hanging fruit karena tidak akan butuh banyak modal, sehingga industri tidak perlu menghadapi kesulitan bersaing karena harga jualnya naik," ucapnya.
Secara paralel, pemerintah juga bisa memulainya dengan memperketat izin usaha baru buat industri pengguna energi fosil. "Kalau ada yang ingin bangun smelter pakai PLTU (pembangkit listrik tenaga uap), Kementerian Perindustrian seharusnya meminta mereka pakai energi alternatif lain."
Ilustrasi pemukiman nelayan dengan latar cerobong asap di Muara Angke, Jakarta Utara. Dok. TEMPO/ Muradi
Analis dari Institute for Energy and Financial Analysis, Putra Adhiguna, mengatakan dekarbonisasi di sektor industri pada umumnya lebih menantang dibanding sektor kelistrikan. Khususnya karena di sektor industri ada industri dengan pemakaian energi yang intensif. Karena itu, pemerintah butuh peta jalan di setiap industri untuk mempercepat penurunan emisi.
Menurut dia, implementasi dekarbonisasi bisa dimulai dengan berfokus pada industri-industri berorientasi ekspor. "Saya rasa sulit memulai dekarbonisasi untuk tujuan pasar domestik karena masyarakat kita jauh lebih sensitif terhadap harga," katanya.
Ke depan, upaya penurunan emisi di sektor industri akan lebih banyak didorong permintaan negara-negara tujuan ekspor terhadap produk hijau. Faktor lainnya, menurut Putra, adalah permintaan perusahaan internasional untuk dekarbonisasi.
Kementerian Perindustrian saat ini masih menyusun peraturan menteri untuk mengatur rencana aksi serta peta jalan percepatan dekarbonisasi. Kemarin, Kementerian baru menentukan sembilan kategori industri yang bakal menjadi prioritas dalam upaya penurunan emisi. Mereka adalah industri lahap energi, antara lain semen, baja, pulp dan kertas, tekstil, keramik, pupuk, petrokimia, serta makanan dan minuman.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo