Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia atau Gubernur BI Perry Warjiyo menyoroti tiga faktor yang membuat rupiah kembali melemah. Salah satunya faktor teknikal mengenai persepsi kesinambungan fiskal pemerintah ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perry menyampaikan ini usai rapat Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis sore, 20 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Faktor pertama yang yang disorot oleh Gubernur BI adalah faktor global, seperti Fed Fund Rate yang tidak dapat diprediksi dan kenaikan suku bunga obligasi pemerintahan Amerika 4,5 persen hingga 6 persen.
Bank Indonesia juga menyoroti kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) yang menurunkan suku bunga, menyebabkan sentimen global memberikan dampak ke pelemahan nilai tukar.
Sementara sentimen domestik, Perry menyebut di triwulan II yang akan berakhir pada Juni terjadi kenaikan permintaan (dolar AS) oleh korporat.
Pada triwulan II, Gubernur BI menyebut korporasi perlu melakukan repatriasi dividen dan perlu juga untuk membayar utang.
Selanjutnya: “Ketiga, seperti yang dibilang Bu Sri Mulyani....
“Ketiga, seperti yang dibilang Bu Sri Mulyani, masalah persepsi sustainabilitas fiskal ke depan, itu membuat sentimen kemudian menjadi tekanan nilai tukar rupiah,” kata Perry usai rapat.
Perry meyakini secara fundamental tren rupiah akan kembali menguat karena inflasi rendah dan pertumbuhan yang baik. Gubernur BI akan terus intervensi ke pasar uang, menarik portofolio asing ke dalam negeri, hingga mengukur harga saham.
Berdasarkan data Bloomberg pada Kamis sore, 20 Juni 2024, rupiah mengakhiri perdagangan dengan turun 0,40 persen atau 65 poin ke posisi Rp 16.430 per dolar AS. Sementara itu indeks dolar terpantau naik 0,24 persen ke posisi 105,132.
Ketika ditemui dalam kesempatan terpisah di Istana Kepresidenan Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan persepsi kesinambungan fiskal harus dikaitkan dengan pembahasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan DPR.
“Selama ini masih sangat positif ya. Asumsi makro, terkait pertumbuhan, inflasi, surat berharga, kurs, kemudian harga minyak, dan lifting minyak. Dan juga size dari sisi penerimaan belanja dan defisit. Jadi selama ini, kita membahasnya sangat open, transparan dengan DPR,” kata Sri Mulyani.
Pilihan Editor: Penumpang di Bandara Soekarno-Hatta Menumpuk Akibat Gangguan Server Pusat Data Nasional