Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Utak-atik Anggaran Bansos Dadakan

Kementerian Keuangan masih mencari pos anggaran untuk membiayai BLT Mitigasi Risiko Pangan senilai Rp 11,25 triliun. 

31 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah menyalurkan BLT Mitigasi Risiko Pangan senilai Rp 600 ribu per keluarga.

  • Kementerian Keuangan masih memetakan sumber anggaran yang bakal direlokasi untuk membiayai BLT tersebut.

  • Anggaran bantuan sosial selalu meningkat setiap menjelang pemilihan umum.

JAKARTA - Dua pekan menjelang pemungutan suara Pemilihan Umum 2024, Presiden Joko Widodo kembali menggagas program bantuan sosial (bansos) baru. Senin lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan program Bantuan Langsung Tunai Mitigasi Risiko Pangan senilai Rp 200 ribu per bulan selama Januari-Maret 2024 kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Bantuan itu akan disalurkan sekaligus pada awal Februari 2024 sebesar Rp 600 ribu per KPM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Munculnya program bantuan baru ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali harus menyisihkan belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Ia menyebutkan kebutuhan anggaran untuk BLT Mitigasi Risiko Pangan mencapai Rp 11,25 triliun, yang akan dicairkan melalui PT Pos Indonesia dan Badan Pangan Nasional. 

“Alokasi anggarannya sudah masuk dalam APBN 2024 dari anggaran perlindungan sosial,” ujar Sri Mulyani, kemarin. Dalam APBN 2024, anggaran perlindungan sosial naik Rp 20 triliun dari APBN 2023 menjadi Rp 496 triliun. “Jadi (anggarannya sudah ada). Kalau pemerintah mau menggunakannya, ya, memang sudah dialokasikan sumbernya dan disetujui DPR,” katanya. 

Menurut Sri Mulyani, pemberian BLT Mitigasi Risiko Pangan cukup mendesak untuk menekan inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food yang berada di angka 6,73 persen secara tahunan. Jika tidak segera ditangani, pemerintah khawatir inflasi itu bakal berpengaruh pada inflasi secara keseluruhan dan menurunkan daya beli masyarakat. “Kami akan selalu merumuskan langkah-langkah APBN sebagai shock absorber, terutama dalam momentum pemulihan ekonomi di tengah pelemahan global,” ucapnya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengaku masih memetakan sumber anggaran yang bakal direlokasi untuk membiayai BLT tersebut. Dia memperkirakan sebagian besar anggaran diambil dari utak-atik alokasi APBN pada awal tahun. “Tentunya akan kami carikan (sumber anggarannya) dan APBN akan tetap bisa fleksibel sebagaimana strategi kami selama beberapa tahun terakhir,” ujar Febrio.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono yakin beban belanja BLT Mitigasi Risiko Pangan masih dapat ditanggung APBN 2024. Sebab, meski penerimaan negara pada awal tahun biasanya masih terbatas, selama dua tahun terakhir, APBN selalu mencatatkan surplus. Dia mencontohkan, pada Januari 2022, surplus APBN sebesar Rp 29,6 triliun dan pada Januari 2023 mencapai Rp 90,8 triliun. 

“Ditambah dengan saldo anggaran lebih (SAL), beban ini masih dapat ditanggung oleh APBN,” dia menuturkan. Menurut Yusuf, belanja pemerintah pada awal tahun umumnya berfokus pada belanja pegawai, bantuan operasional, pemberian bansos, hingga penyaluran subsidi dan pembayaran iuran pensiun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ihwal relevansi BLT Mitigasi Risiko Pangan, Yusuf membenarkan bahwa tekanan inflasi pangan memang masih tinggi, yaitu 6,73 persen. Kondisi ini berpotensi melemahkan daya beli masyarakat kelas bawah yang menghabiskan sekitar 60 persen pengeluarannya untuk pangan. Namun, dia mengimbuhkan, risiko pelemahan tersebut sebenarnya sudah tertanggulangi oleh bansos reguler dan BLT Desa, yang merupakan bansos ad hoc pada masa pandemi Covid-19.   

Sarat akan Motif Politik

Keluarga penerima manfaat antre unuk mendapatkan bantuan sosial beras 10 kilogram di Kantor Pos Tanjung Priok, Jakarta, 19 Desember 2023. TEMPO/Tony Hartawan

BLT Mitigasi Risiko Pangan melengkapi berbagai jenis bansos yang dikucurkan pemerintah sejak akhir 2023. Misalnya, pada periode November-Desember 2023, pemerintah menyalurkan BLT El Nino sebesar Rp 400 ribu per KPM. Disusul bantuan pangan beras 10 kilogram per KPM per bulan selama Januari-Juni 2024. Pengucuran berbagai bansos ini mendapat sorotan dari berbagai pihak karena dilakukan menjelang pemilihan umum pada 14 Februari mendatang.

Gelontoran bansos yang masif dan sarat akan motif politik itu juga disebut sempat membuat Sri Mulyani meradang. Berdasarkan laporan utama majalah Tempo, 21 Januari 2024, kolega Sri Mulyani di pemerintahan bercerita bahwa hal itu pula yang menjadi salah satu alasan Sri Mulyani berseberangan dengan Presiden Jokowi. 

Sumber Tempo mengatakan Sri Mulyani ditekan oleh Jokowi untuk mengalokasikan duit negara buat bansos. Pembahasan soal penyaluran bansos dikebut setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 16 Oktober 2023 membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Pada bulan yang sama, Jokowi meminta Sri Mulyani menyiapkan BLT El Nino sebesar Rp 500 ribu per bulan per KPM. Namun Sri Mulyani menolak rencana itu karena bakal membebani keuangan negara. Akhirnya, disepakati nilai bantuan sebesar Rp 200 ribu per bulan. Anggaran BLT El Nino secara keseluruhan mencapai Rp 7,52 triliun untuk 18,8 juta keluarga. 

Sri Mulyani juga menganggarkan dana bantuan beras pada Desember 2023 sebesar Rp 2,67 triliun untuk 21,3 juta KPM. Bantuan serupa dikucurkan pemerintah pada Maret hingga Mei 2023 dengan total anggaran Rp 7,9 triliun dan Rp 8 triliun untuk periode September-November 2023. Kini masa penyaluran semua bantuan sosial dan pangan itu diperpanjang pemerintah hingga Juni 2024 setelah diketok dalam rapat kabinet pada 6 November 2023.

Kabar Jokowi mendesak Sri Mulyani untuk menyalurkan anggaran bansos hingga Juni 2024 itu juga sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat. “Saya mendengar informasi itu,” ucap Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai NasDem Syarief Abdullah Alkadrie pada Selasa, 16 Januari lalu. 

Di tengah kabar pemerintah akan mempercepat pencairan bantuan sosial, Kementerian Keuangan diketahui bersurat kepada kementerian dan lembaga untuk melakukan automatic adjustment atau penyesuaian belanja tahun anggaran 2024. Dalam surat tiga lembar yang diteken oleh Sri Mulyani pada 29 Desember 2023 itu disebutkan bahwa besaran automatic adjustment Rp 50,1 triliun. 

Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Benny Ramdhani dan Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengaku menerima surat itu. Menurut Benny, kebijakan itu membuat anggaran lembaganya terpotong Rp 42 miliar. “Saya sempat meminta keringanan agar anggaran kami tidak terpotong,” ujarnya kepada Tempo, 16 Januari lalu.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan kebijakan automatic adjustment merupakan langkah pemerintah untuk merespons dinamika global yang mempengaruhi perekonomian dunia. Kebijakan itu juga dilakukan pada 2022 dan 2023. Tujuannya, menjaga pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi. Sedangkan untuk anggaran BLT El Nino, Isa menyatakan dananya berasal dari optimalisasi anggaran kementerian dan lembaga. “Juga tambahan anggaran dari bendahara umum negara,” katanya. 

Tak berhenti sampai di situ, berdasarkan penelusuran Tempo, dugaan pemanfaatan bantuan sosial untuk kepentingan elektoral turut mencuat setelah beredar foto karung beras berstiker animasi Prabowo-Gibran. Stiker itu ditempel di kantong beras seberat 5 kilogram dan menutupi tulisan “SPHP”, akronim dari Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan. 

Arief Prasetyo Adi menegaskan bahwa beras bantuan pangan selalu memiliki cap dari Badan Pangan Nasional. Dia menyanggah ihwal tuduhan stiker animasi pasangan Prabowo-Gibran dipasang lembaganya. “Ya masak, kami yang menempel? Masak, saya menggadaikan reputasi saya?” ujar Arief. Dia menjelaskan, beras yang ditempel stiker itu merupakan bantuan pemerintah yang didistribusikan oleh Perum Bulog ke pasar tradisional dan modern. 

  

Lagu Lama Menjelang Pemilu

Presiden Joko Widodo meluncurkan bantuan sosial beras 10 kilogram di gudang Perum Bulog, Jakarta, 11 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kucuran bansos yang diberikan pemerintah beberapa waktu terakhir terlampau kental akan motif politik dibanding menyelesaikan masalah daya beli masyarakat miskin. “Pemberian bansos cenderung naik signifikan menjelang pemilu. Model bansos seperti BLT atau bantuan pangan akan menimbulkan persepsi pemerintah menjadi Sinterklas untuk mendukung salah satu calon,” katanya. 

Politisasi bansos menimbulkan kekhawatiran data penerima tidak tepat sasaran dan rawan korupsi. Pola ini serupa dengan siklus anggaran perlindungan sosial pada 2014 dan 2019 yang naik tajam. “Sayangnya, efektivitas bansos dipertanyakan karena tidak mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan,” ujar Bhima. Sebagai contoh, pada 2014, anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 484,1 triliun, kemudian dipangkas pada 2015 menjadi Rp 276,2 triliun.

Yusuf Wibisono menuding kebijakan pemberian bansos, khususnya BLT Mitigasi Risiko Pangan, sebagai kebijakan yang dipaksakan. Alasannya, program itu direncanakan, diputuskan, dan dieksekusi dalam waktu yang sangat singkat. “Presiden Jokowi terlihat jelas sedang mengejar ambisi politik pragmatis jangka pendek melalui gelontoran bansos ad hoc tiada henti sejak tahun lalu hingga kini menjelang pilpres,” ucapnya. 

Dia mengungkapkan pemberian BLT setelah gelontoran bansos yang tiada henti dalam setahun terakhir jelas bukan sebuah upaya untuk menanggulangi kemiskinan ataupun menjaga daya beli masyarakat. Ia menyebutkan pemberian aneka bantuan itu lebih mencerminkan hasrat politik untuk meraih dukungan elektoral secara instan. “Politisasi bansos yang dipertontonkan oleh penguasa sangat memprihatinkan,” kata Yusuf.

Dia mengimbuhkan, cakupan bansos seharusnya makin kecil seiring dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat, alih-alih meluas di tengah perekonomian yang diklaim makin baik seperti sekarang ini. “Karena itu, menjadi aneh kalau di tengah klaim pertumbuhan ekonomi yang tinggi, cakupan bansos justru makin besar,” Yusuf mengatakan.  

Program Keluarga Harapan (PKH) pada akhir kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014, Yusuf mencontohkan, hanya memiliki 2,7 juta KPM. Tapi, empat tahun kemudian, yaitu pada 2018, jumlah penerima PKH melonjak menjadi 10 juta. “Hal ini juga menandakan betapa lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan lemahnya penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas.”  

Respons Sri Mulyani

Sri Mulyani Indrawati menampik dugaan ihwal politisasi bansos. Dia mengatakan bansos merupakan instrumen yang ada dalam APBN. Ia pun mengingatkan bahwa APBN adalah undang-undang yang dibahas dan ditetapkan bersama DPR, yang di dalamnya terdiri atas perwakilan partai-partai politik. Dia juga memastikan penyaluran bansos akan diupayakan tepat sasaran. “Realisasi dan perkembangan anggaran bansos akan terus kami monitor,” katanya.

IMAM HAMDI | HUSSEIN ABRI DONGORAN | GHOIDA RAHMAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus