Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga Widjaya terancam menjadi fakir. Harta benda yang mereka kumpulkan selama bertahun-tahun kini segera beralih kepemilikan. Sejak timbunan utangnya tersingkap dan bayang-bayang default (gagal membayar utang) terungkap, mereka harus menghadapi para kreditor dari dalam dan luar negeri yang bernafsu menguasai aset-asetnya. Bayangkan, di luar negeri utang mereka US$ 12 miliar, sementara di dalam negeri mereka berutang US$ 1,4 miliar.
Di mana pun di dunia, sesial-sialnya kreditor, tidak ada yang mau kehilangan duitnya begitu saja. Setelah PT Tjiwi Kimia--salah satu anak perusahaan Sinar Mas--Jumat pekan lalu dinyatakan default oleh Standard & Poor?s, para kreditor di mancanegara tentu akan berusaha sekuat-kuatnya menyelamatkan uang mereka. Memang, Asia Pulp & Paper, anak perusahaan Sinar Mas yang bergerak di industri kertas, kini sedang dalam proses restrukturisasi utang dengan Credit Suisse Firsty Boston. Namun, solusinya masih tanda tanya.
Sementara itu, di Indonesia, keluarga Widjaya tampaknya belum akan menyerah. Berbeda dengan William Soeryadjaya, yang demi nama baik melepas kepemilikannya di Astra demi menutup utang Bank Summa, Eka Tjipta dan putri-putra bersikukuh menggenggam hartanya. Terbukti, ketika mereka mulai mengalami tekanan keuangan, saran para analis dan pengelola dana agar segera menjual sebagian hartanya untuk menutup utang tidak digubris.
Sejauh ini, para petinggi Sinar Mas, kabarnya, hanya akan menjual aset yang tak termasuk bisnis inti--berlokasi di Cina dan Indonesia. Tapi harganya terlalu tinggi. Kepala keuangan Gup Sinar Mas di Singapura, Hendrik Tee, menetapkan harga pabrik kertas tisu di Cina sekitar US$ 325 juta. Adapun harga pabrik pengepakan di Indonesia mencapai US$ 1,2 miliar. Wajarlah bila aset itu sampai sekarang tak kunjung terjual.
Mengingat nyawanya sedang terancam, sikap alot Sinar Mas ini sungguh membingungkan. Direktur Riset SocGen Securities, Lin Che Wei, menyindir mereka sebagai orang tua yang anaknya sakit tapi bersikap tak peduli dengan alasan tak punya uang. "Seharusnya kan mereka menjual rumah dan mobil untuk membiayai pengobatan anaknya," ujarnya.
Yang terjadi, mereka menjual aset yang nilainya tak seberapa. Baru-baru ini Sinar Mas menjual 5,2 juta sahamnya di Asia Food and Properties (AFP) dengan harga S$ 0,14 per saham. Dari penjualan itu, mereka memperoleh duit tunai S$ 728 ribu, tapi tetap menguasai 67,31 persen saham AFP. Setelah itu, mereka kabarnya juga menawar-nawarkan BII Finance--asetnya yang tak terlalu mengkilap--ke Grup Kompak.
Salahkah kalau ada yang menduga bahwa Keluarga Widjaya sengaja membiarkan Sinar Mas ambruk? Mungkin saja. Lin Che Wei menengarai, pemilik Sinar Mas masih memiliki sejumlah aset pribadi yang rapi tersembunyi. Jadi, tak soal benar Sinar Mas harus gulung tikar, toh ada harta karun dan mereka tetap kaya raya.
Kecerdikan itu tecermin dari kepiawaian bos-bos Sinar Mas dalam memindahkan keuntungan dari satu perusahaan ke perusahaan lain dengan licin. Ambil contoh Tjiwi Kimia (TKIM). Perusahaan penghasil kertas itu memiliki laba kotor 30 persen dari omzet senilai US$ 500-600 juta. Dengan demikian, mestinya arus kas TKIM cukup mengkilap. Kenyataannya, angka-angka itu tertutup oleh piutangnya yang sangat besar. Pasalnya, manajemen Tjiwi ternyata memberikan kredit berjangka waktu enam bulan kepada sejumlah pembelinya. Alasan ini, menurut Erwan Teh, kurang masuk akal karena jangka pengembaliannya terlalu lama. Lagipula, kertas biasanya dijual tunai. Bahkan sering pembeli membayar di muka, baru barang dikirim.
Setelah ditelusuri, induk Tjiwi, Asia Pulp and Paper (APP), juga mempunyai perusahaan yang menjadi sentral perdagangan untuk semua produk Sinar Mas. Sejak 1999, manajemen Sinar Mas sebetulnya sudah mengumumkan keberadaan perusahaan ini. Tapi kepemilikannya tetap gelap. Mungkin sekali, kepemilikannya atas nama pribadi keluarga Widjaya, karena perusahaan ini tidak dikonsolidasikan ke APP atau anak perusahaan Sinar Mas lainnya.
Nah, perusahaan perdagangan itulah yang dicurigai menerima fasilitas kredit berjangka enam bulan tadi. Padahal, sesungguhnya kredit itu cuma tiga bulan, waktu selebihnya mereka gunakan untuk memutar uang tersebut. Tak mengherankan bila perusahaan debitor mengantongi laba besar, sementara Tjiwi Kimia mengalami kelangkaan dana.
Di Indah Kiat (IKPP), kecurigaan itu justru lebih mendalam. Dengan omzet lebih dari US$ 500 juta dan laba kotornya 45-50 persen dari omzet, seharusnya arus kas perusahaan cukup besar. Ternyata, karena memiliki piutang besar, cashflow-nya jadi tidak seberapa. "Uangnya tidak tampak," kata Erwan dari SocGen, terheran-heran. Nah, itu baru untuk piutang dengan dalih memberi kredit kepada pembeli. Belum lagi hasil penjualan yang menguap tak jelas arahnya. Kalau duit itu digunakan untuk investasi baru dan gagal, pasti masih kelihatan bekasnya. Yang ada justru utang, yang timbunannya semakin tinggi.
Selain di industri kertas, Grup Sinar Mas juga ditengarai bermain patgulipat di sektor properti. Hal ini diungkap pengamat properti Panangian Simanungkalit. Menurut dia, kinerja proyek properti Sinar Mas di lapangan cukup cemerlang. Hal itu bisa dicapai karena perusahaannya dikelola oleh profesional yang tangguh, juga karena lokasinya strategis. Namun, kinerja yang bagus itu tak langsung tecermin pada laporan keuangannya.
Menghadapi kelihaian itu, pemerintah harus waspada. Tapi, juga mesti cepat. Sebab, kegagalan Tjiwi Kimia membayar bunga obligasi US$ 43 juta setidaknya sudah membuat para kreditornya mulai bergerak mencari aset Sinar Mas--agar utangnya terbayar. Nah, sebetulnya ada dua perusahaan Sinar Mas yang bisa diambil pemerintah tanpa ketakutan bersaing dengan kreditor asing, yaitu PT Arara Abadi dan PT Wira Karya Karya Sakti, yang memiliki konsesi hutan tanaman industri (HTI) di Riau dan Kalimantan. Aset ini tergolong aman karena ada ketentuan yang melarang pemilikan HTI oleh orang asing.
Kedua perusahaan itu merupakan milik pribadi Keluarga Widjaya dan menyuplai bahan baku berupa woodchip untuk Indah Kiat dan Tjiwi Kimia. Selama ini Sinar Mas ditengarai melakukan transfer pricing dengan menjual bahan baku lebih mahal. Akibatnya, Arara dan Wira Karya menjadi gendut. Menurut hitungan Lin Che Wei, nilai kedua perusahaan itu mendekati US$ 1 miliar. Jumlah ini lumayan untuk menutup utang Sinar Mas di BII yang mencapai US$ 1,4 miliar.
Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo