Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM habis orang membicarakan pembelian kapal Tampomas II,
datang pula berita tentang PT PANN (Pengembangan Armada Niaga
Nasional). Sebagai satu-satunya perusahaan yang mengatur
pengadaan armada niaga di dalam negeri, maka PT (Pesero) PANN
biasa mendapat pinjaman jangka panjang, dikenal sebagai
shipping loan, dari Bank Dunia.
Tapi yang menarik adalah yang baru-baru ini diungkapkan oleh
Sinar Harapan PT PANN, demikian menurut koran itu, diam-diam
telah mendepositokan uang mereka sebanyak US$500.000 (Rp 315
juta) di lembaga keuangan Morgan Guarantee Trust Co. di jantung
bisnis AS, Wall Street, New York. Dan simpanan sebanyak itu
berasal dari kredit yang diberikan oleh Bank Dunia.
Simpanan di Wall Street itu menjadi lebih menarik karena menurut
harian itu dilakukan oleh pimpinan PT PANN, "tanpa
sepengetahuan Dewan Komisaris perusahaan, karena uang itu
dianggap sebagai idle (nganggur)."
Betulkah? J.E. Habibie, Sekditjen Perla serta-merta mengatakan
itu berita "tidak benar". Ia sendiri mengaku sebenarnya tak
berurusan dengan dana-dana PT PANN yang berasal dari Bank Dunia.
Sekalipun ia menjabat selaku ketua tim pengarah dalam pembelian
kapal Tampomas II oleh PT PANN. Sebelum bertolak ke Amerika
pekan lalu, pejabat Perla yang biasa dipanggil Fanny Habibie
itu, meminta agar pers mengontak Dir-Ut PT PANN, Nuzwari
Chattab.
Dir-Ut PANN itu sampai pekan lalu memang belum mengeluarkan
keterangan untuk publik. Tapi kepada bos-nya Menteri Perhuhungan
Roesmin Nurjadin, Nuwari merasa perlu memberi penjelasan duduk
perkara yang sebenarnya. Menanggapi berita Sinar Harapan 16
Maret itu, Dir-Ut Nuzwari Chattab tak membantah bahwa "PT PANN
pada saat ini memiliki kelebihan likuiditas, hasil dari
penyewaan kapal-kapalnya. Kelebihan likuiditas ini sifatnya
sementara sebelum digunakan untuk pembayaran bunga dan cicilan
utang pada Bank Dunia ataupun untuk pembelian-pembelian kapal."
Supaya tidak menganggur, maka Dir-Ut PT PANN mengusulkan agar
memanfaatkan likuiditas itu, disertai izin dari Dewan Komisaris
yang kemudian disahhan dalam rapat umum pemegang saham. Maka PT
PANN pun kemudian membeli sejumlah promissory note.
(surat-surat berharga yang setiap waktu bisa digunakan sebagai
jaminan), dengan perincian sebagai berikut
PT Merincorp US$ 400.000 dengan tingkat bunga 16% dari 22
Januari sampai 22 April 1981. Pada lembaga keuangan (LK) yang
sama telah dibeli pula promissory notes sejumlah U$ 500.000
dengan bunga 16% antara 20 Januari -- 21 April 1981.
Kepada PT Ficorinvest sebanyak Rp 500 juta, bunga 18,5%,
tanggal 23 Januari-23 April 1981. Masih kepada LK Ficorinvest
sejumlah Rp 700 juta dan Rp 500 juta lagi, dengan bunga
masing-masing 18% dan 18,5%, berjangka tiga bulan.
Maka total pembelian itu menjadi US$ 900.000 dan Rp 1,7 milyar.
PT PANN sengaja memilih Ficorinvest dan Merincorp, karena kedua
LK itu mereka anggap paling aman. Bank Indonesia punya saham
64,45% di situ, dan Bank Ekspor Impor Indonesia merupakan
pemegang saham terbesar, termasuk memiliki 34% saham PT
Merincorp.
Menurut Nuzwari Chattab, dalam hal telah ditandatanganinya
promissory notes atas permintaan PT Ficorinvest/ PT Merincorp,
maka PT PANN melalui banknya bisa saja mentransfer sejumlah uang
tersebut, pada alamat yang dikehendaki kedua LK itu.
"Pentransferan uang itulah yang menurut Dir-Ut PT PANN, pernah
dilakukan kepada Morgan Guarantee Trust Co. di New York atas
permintaan PT Merincorp.
Bagaimana dengan bunganya? Semua hasil bunga dari promissory
notes itu, kata Nuzwari, seluruhnya dibukukan sesuai dengan
tertib administrasi perusahaan. Jadi, seperti kata seorang
pejabat Perla, "tak ada yang main kucing-kucingan dalam transfer
uang PT PANN itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo