Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uncommitted cargo LNG bakal naik drastis dalam enam tahun ke depan.
Peningkatan serapan gas di sektor industri harus dimulai dari peningkatan kapasitas produksi industri.
Pemerintah membujuk industri untuk mendirikan fasilitas produksi di dekat lapangan gas.
JAKARTA - Indonesia berpotensi mengalami kelebihan pasokan gas alam cair alias LNG. Pemerintah memperkirakan produksi gas alam cair berada di kisaran 250 kargo dalam lima tahun ke depan dan melonjak hingga di atas 400 kargo pada 2030. Pertanyaannya, siapa yang membeli?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam neraca LNG milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kenaikan angka produksi ini tampak tak seimbang dengan konsumsi. Terdapat proyeksi uncommitted cargo atau kargo LNG yang belum laku hingga 304,6 kargo pada 2030. Padahal, pada 2024, jumlahnya hanya 19,8 kargo.
Di samping tambahan produksi LNG dari proyek Tangguh Train 3 di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, yang diresmikan Presiden Joko Widodo kemarin, kenaikan jumlah pasokan juga dihitung dari proyeksi pengoperasian lapangan-lapangan dengan cadangan gas besar, seperti Lapangan Abadi Masela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo (tengah) meresmikan Tangguh Train 3 di Lapangan Gas Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat, 24 November 2023. Dok. BPMI Setpres/Kris
Melihat data ini, pemerintah tidak khawatir. Juru bicara Kementerian Energi, Agus Cahyono Adi, menuturkan tantangan terbesar justru datang dari sisi produksi gas ketimbang pemanfaatannya. Butuh upaya ekstra untuk mengangkat gas dari lapangan tua. Ditambah lagi, cadangan baru banyak ditemukan di laut lepas.
Dari sisi konsumsi, Agus optimistis angka permintaan masih akan tinggi. "Gas tidak hanya untuk energi, tapi lebih bernilai sebagai bahan baku industri, seperti Petrokimia," tuturnya kepada Tempo, kemarin. Terlebih, pemerintah telah menyusun target netral karbon yang menjadikan gas sebagai tumpuan untuk mengurangi emisi karbon.
Selain itu, dia mengklaim biaya pengolahan hingga distribusi gas sudah sangat ekonomis. "Jadi kita tidak perlu khawatir dengan masih banyaknya uncommitted cargo saat ini."
Harus Didukung oleh Industrialisasi
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro sepakat bahwa domestik masih bisa menampung kargo-kargo LNG ke depan. Terutama dari industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku. Namun industri baru membutuhkan tambahan gas jika kapasitas produksinya juga naik. "Untuk itu, penting ada diskusi antara kementerian dan lembaga perihal strategi mengembangkan industrinya," ujarnya.
Opsi lain adalah ekspor. Komaidi mengatakan Indonesia punya peluang di pasar ekspor. Salah satunya ke negara-negara yang pertaniannya kuat. Gas juga bisa menjadi bahan baku pupuk di beberapa negara, seperti Thailand, Vietnam, atau Malaysia. "Tapi apa iya mau dijual terus ke luar negeri."
Syarat yang juga penting untuk mengoptimalkan penyerapan industri adalah pembangunan infrastruktur pengolahan hingga distribusi LNG. Komaidi mencatat pusat produksi gas berada di wilayah timur Indonesia, sementara konsumen terbesar di wilayah barat. Ongkos untuk mengirim LNG dan mengolahnya cukup tinggi dan bakal berdampak pada biaya produksi. Jika terlalu mahal, gas tak laku. "Kalau harganya mahal, industri tidak mau beli."
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Moshe Rizal menilai pemerintah perlu waspada akan tingginya uncommitted cargo. Kapasitas pengolahan gas menjadi cair, distribusi, hingga pengolahan gas cair masih terbatas dan biayanya tinggi. "Kalau pemerintah ingin serapan naik, infrastruktur harus ada," katanya.
Sementara itu, untuk ekspor, dia memperkirakan persaingan makin ketat, mengingat negara-negara produsen gas di Amerika Serikat dan Timur Tengah mulai merambah pasar Asia. Tapi faktor kebutuhan transisi energi masih membawa harapan atas kenaikan angka permintaan.
Pemerintah Gencar Jemput Bola
PT Pupuk Iskandar Muda di Lhokseumawe, Aceh. TEMPO/Hendra Suhara
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi Tutuka Ariadji mengatakan "jemput bola" menjadi salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan serapan gas. Pemerintah gencar membujuk industri pengguna gas untuk mendirikan fasilitas produksi di dekat lapangan gas.
Dia mencontohkan PT Pupuk Iskandar Muda yang saat ini masih kekurangan gas sebagai bahan baku. Menurut Tutuka, pabrik tersebut masih mengandalkan LNG dari Papua dan Kalimantan Timur. "Ini kan tidak efisien sebenarnya," katanya pada 31 Oktober lalu.
Selain itu, pemerintah mendorong gas bumi sebagai alternatif untuk bahan bakar. Meskipun dia menyadari perlu peningkatan infrastruktur jaringan gas. Pemerintah mulai membuka skema kerja sama dengan badan usaha untuk menggarap pembangunan 2,1 juta sambungan rumah tangga di tujuh kabupaten dan kota pada periode 2025-2030 untuk mewujudkannya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo