Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Kenaikan Harga Pangan Teredam

Selain beras, harga sejumlah komoditas pangan lainnya ikut melonjak. Harga dikhawatirkan kian terkerek saat Ramadan. 

17 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Warga mengeluhkan beras premium yang masih sulit ditemukan di retail-retail modern.

  • Presiden Joko Widodo menanggapi isu kenaikan harga beras yang disebutnya karena produksi panen beras dari daerah belum masuk ke Pasar Induk Beras Cipinang. Selain itu, kenaikan harga beras disebabkan distribusi yang terganggu.

  • Sejumlah pengamat menilai sudah saatnya pemerintah serius menjalankan program diversifikasi pangan jika ingin mewujudkan ketahanan pangan.

SEJAK beberapa hari terakhir, Muhammad Iqbal beralih mengkonsumsi beras curah. Sebelumnya, ia dan istrinya terbiasa membeli beras kemasan 5 kilogram. Namun beras premium tersebut semakin sulit ditemui di sejumlah retail modern.

Warga Kecamatan Maja, Banten, tersebut mengatakan, saat mengunjungi beberapa toko, stok beras selalu habis. “Istri saya nyari sampai sekarang masih susah. Sekarang beli eceran,” kata Iqbal kepada Tempo, kemarin.

Harga beras curah pun kini melonjak dibanding sebelumnya. Untuk mendapat beras dengan kualitas baik, harganya sekitar Rp 15 ribu. “Pernah coba beli yang Rp 12 ribu, berasnya kuning,” ujarnya.

Pengalaman Iqbal juga dialami Tuti Diah—bukan nama sebenarnya. Dia kesulitan menemukan beras premium di retail langganannya di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Berdasarkan pantauan Tempo pada Kamis lalu, stok beras juga kosong di sejumlah toko retail modern di Jakarta Selatan. Di dua minimarket yang didatangi Tempo di bilangan Pasar Minggu dan Bangka, tak terlihat adanya beras, baik premium maupun medium merek SPHP, yang dipajang di rak. Hanya ada substitusi beras, seperti beras merah dan beras porang. 

Pekerja bongkar-muat beras asal Thailand di Gudang Bulog, Cibitung, Jawa Barat, 16 Februari 2024. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy N. Mandey menjelaskan, keterbatasan suplai beras disebabkan oleh masa panen yang belum terjadi. Adapun masa panen diperkirakan pada pertengahan Maret 2024. Secara bersamaan, kata Roy, beras tipe medium merek SPHP yang diimpor pemerintah juga belum masuk. 

Selain beras premium langka di sejumlah toko retail, harganya naik. Pada panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), beras jenis ini terus naik, bahkan sejak Januari 2024.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menanggapi isu kenaikan harga beras yang disebutnya karena produksi panen beras dari daerah belum masuk ke Pasar Induk Beras Cipinang. Selain itu, kenaikan harga beras akibat distribusi yang terganggu. Salah satunya dipengaruhi rob yang melanda Kabupaten Demak dan Grobogan di Jawa Tengah.

Di tengah kenaikan harga beras, beberapa komoditas lain juga terkerek naik. Kemarin, harga pangan yang naik adalah beras premium, beras medium, bawang merah, bawang putih, cabai merah keriting, cabai rawit merah, daging sapi murni, daging ayam ras, telur ayam, gula konsumsi, minyak goreng kemasan, dan tepung terigu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan panel harga pangan Bapanas, harga beras premium mengalami kenaikan dibanding harga pekan sebelumnya. Beras premium mengalami kenaikan 1,26 persen, yaitu menjadi Rp 16.100 per kilogram. Sementara itu, beras medium naik 0,14 persen, yaitu menjadi Rp 13.970 per kilogram. Harga beras premium tertinggi berada di Provinsi Papua Pegunungan, yakni sebesar Rp 23.420 per kilogram. 

Harga cabai merah keriting dan cabai rawit merah juga naik dibanding harga pada pekan sebelumnya. Cabai merah keriting naik 5,55 persen menjadi Rp 59.120 per kilogram dan cabai rawit merah naik 6,18 persen menjadi Rp 54.460 per kilogram.

Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan dikhawatirkan makin melonjak saat Ramadan dan Idul Fitri. Pelaksana tugas Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Ferry Irawan, mengatakan masalah pasokan dan kenaikan harga yang terjadi saat ini disebabkan oleh fenomena El Nino. “Tidak hanya mempengaruhi pasokan beras, tapi juga komoditas pangan lainnya, terutama hortikultura,” ujarnya.

Kemarau berkepanjangan tahun lalu juga sempat membuat harga aneka cabai naik drastis pada akhir tahun. Namun, menurut Ferry, pada awal 2024 harga aneka cabai mulai menurun seiring dengan masuknya musim hujan.

Memasuki Januari 2024, cuaca ekstrem melanda beberapa wilayah dengan intensitas hujan yang tinggi. Menurut Ferry, ini juga menyebabkan tomat dan bawang merah cepat busuk dan gagal panen sehingga mendorong kenaikan harga pada Januari. “Kondisi cuaca ekstrem ini juga menyebabkan adanya gangguan distribusi di beberapa daerah.”

Keadaan tersebut bisa mengganggu stok pangan dan menyebabkan harga naik. Untuk itu, menurut Ferry, pemerintah telah menyiapkan strategi jangka pendek. “Upaya pengendalian yang dilakukan, di antaranya, adalah penyaluran beras SPHP ataupun pelaksanaan operasi pangan murah,” ujarnya.

Dalam penanganan pasca-panen, untuk menjaga ketersediaan, menurut Ferry, pemerintah sudah memiliki program penguatan cadangan pangan. Hal ini dilakukan melalui fasilitas sarana rantai dingin yang terdiri atas cold storage, reefer container, air blast freezer, dan heat pump yang tersebar di sejumlah daerah. Bulog juga sudah membangun infrastruktur modern Rice Milling Plant di beberapa daerah sentra produksi padi. 

Menurut Ferry, untuk mengatasi permasalahan ketersediaan pangan ke depan, pemerintah mendorong penyelesaian permasalahan dari hulu. Salah satunya terus mengupayakan peningkatan produksi pertanian. Beberapa cara telah ditempuh, seperti ekstensifikasi lahan, peningkatan indeks penanaman, serta inovasi budi daya pertanian. “Saat ini, sebanyak 46,84 persen petani menggunakan teknologi modern untuk budi daya pertanian,” katanya.

Pegawai minimarket mengisi rak beras di Cempaka Putih, Jakarta, 12 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Meningkatkan Ketahanan Pangan dengan Diversifikasi

Di tengah program kedaulatan pangan dan peningkatan produksi pertanian yang dijalankan pemerintah, ketergantungan impor masih tinggi. Hal ini diungkap guru besar teknologi hasil pertanian Unika Santo Thomas Medan, Posman Sibuea. Menurut dia, sudah saatnya pemerintah serius menjalankan program diversifikasi pangan jika ingin mewujudkan ketahanan pangan. “Beras tingkat konsumsinya masih sangat tinggi. Selama ini produksi nasional sekitar 30 juta ton, tapi kita masih saja impor,” ujarnya kemarin.

Narasi diversifikasi pangan telah beberapa kali disuarakan. Pada 2020, Kementerian Pertanian juga membuat peta jalan diversifikasi pangan lokal non-beras 2020-2024. Dokumen tersebut digunakan sebagai acuan bagi masing-masing institusi negara dalam menentukan target dan mengevaluasi capaian pelaksanaan kegiatan diversifikasi.

Dalam dokumen tersebut, penyediaan pangan terutama beras tidak mudah untuk 269 juta penduduk Indonesia yang terus bertambah hingga diperkirakan mencapai 318,96 juta pada 2045. Budi daya pangan dihadapkan pada alih fungsi lahan produktif, perubahan iklim yang dapat menyebabkan kekeringan dan gagal panen, pandemi, serta krisis pangan global.

Menurut Posman, pemerintah bisa mendorong pangan lokal seperti sorgum dan singkong. Atau menciptakan inovasi baru bersama peneliti pertanian. Ia pun mengembangkan beras analog berbahan ubi jalar. “Masyarakat Kampung Adat Cirendeu mempertahankan beras singkong yang disingkat rasi sebagai makanan pokok sejak 1924,” katanya.

Posman mengatakan saat ini banyak pangan lokal yang bisa digunakan untuk mensubsitusi. Menurut dia, pemerintah bisa hadir untuk memberikan literasi untuk menyeimbangkan gizinya. “Jika protein singkong lebih rendah dibanding beras, tentu harus ditambahkan sumber protein lainnya, seperti ikan air tawar."

Hal serupa diungkap guru besar IPB University Dwi Andreas Santosa. “Diversifikasi adalah jawaban masa depan kedaulatan pangan karena sumber karbohidrat banyak,” ujarnya.

Selain itu, ia menekankan, untuk mewujudkan kedaulatan pangan, pemerintah seharusnya berpihak kepada petani. Khususnya dalam mengatur harga pangan. “Saat ini pasar tidak mengenal diversifikasi pangan. Yang dilihat adalah harga. Gandum kualitasnya terbaik di antara pangan lain, harganya lebih rendah dibanding sorgum.” Dengan demikian, ia melanjutkan, pangan lokal akan terus kalah bersaing dengan pangan impor.

Menurut Andreas, pemerintah perlu menaikkan tarif impor. Ia mencontohkan India. Pada 2019, India mengumumkan kenaikan bea masuk impor gandum dari 30 persen menjadi 40 persen. Dengan begitu, harga gandum impor hampir sama dengan yang diproduksi petani lokal. “Jika ingin pangan lokal berdaulat dan tidak kalah di pasaran, harus ada kebijakan tarif yang pro-petani,” ujarnya.

ILONA ESTERINA PIRI | ANTARA | AMELIA RAHIMA SARI | YOHANES MAHARSO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus