Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Transformasi Itu Mahal

Selama enam bulan memimpin BNI, Royke Tumilaar membuat sejumlah perubahan.

29 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Royke Tumilaar, kejutan dan perubahan adalah hal yang biasa. Baru sembilan bulan menduduki kursi direktur utama di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, tempat dia berkarier selama 22 tahun, pemerintah menugasi dia untuk menakhodai PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama enam bulan memimpin BNI, Royke pun membuat sejumlah perubahan. Salah satunya, digitalisasi layanan BNI. Royke, yang memimpin BNI di tengah krisis akibat pandemi Covid-19, juga harus mengubah metode kerja dan layanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam wawancara dengan Pemimpin Redaksi Koran Tempo, Budi Setyarso, Rabu pekan lalu, Royke mengungkapkan berbagai rencana dan program transformasi BNI. Termasuk penerbitan obligasi berdenominasi dolar Amerika untuk memperkuat modal pendukung BNI. Berikut ini kutipan wawancara tersebut.

Perubahan apa yang Anda rasakan sejak pindah dari Bank Mandiri ke BNI?

Saya memimpin dua bank dengan sejarah berbeda. Bank Mandiri adalah hasil merger saat krisis ekonomi, sementara BNI adalah bank tua yang segmennya lengkap, dari korporasi hingga consumer. Branding BNI cukup bagus, sehingga gampang untuk melakukan transformasi di sini. Kebetulan karena Covid-19, sebuah situasi yang tak pernah kita perkirakan, perilaku pasar perbankan berubah. Interaksi fisik semakin sedikit. Kami bisa merencanakan sesuatu dengan perubahan itu.

Kenapa disebut kebetulan? Sejauh mana pandemi Covid-19 mendorong perubahan?

Upaya untuk transformasi itu mahal. Kondisi ini menjadi momen, sekarang kita terpaksa berubah sesuai dengan situasi. Ini menjadi kesempatan untuk melihat bisnis BNI akan menuju ke arah mana, sambil kami menata segmen consumer, UMKM, dan korporasi. Segmen korporasi mungkin tak banyak berubah, tapi segmen consumer bisa disesuaikan polanya. Ada inovasi produk, ada perubahan ke digital. Kami juga bisa memprediksi bentuk outlet kami ke depan, perlukah cabang besar, atau cukup outlet kecil dengan mesin dan sedikit karyawan? Bisa juga berupa co-working space. Perubahan ini kesempatan untuk melakukan transformasi besar.

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar (kiri) saat Public Expose BNI tahun 2020 di Jakarta, 29 Januari 2021. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Benarkan cost of fund perbankan Indonesia tinggi? Bagaimana Anda menangani cost of fund BNI?

Saat masuk, saya mengecek dulu kondisi portofolio bank ini. Kalau mau berbisnis dalam jangka panjang, harus sustain dan diatur agar sehat. Jika ingin begitu, kas atau cost structure harus baik. Jadi, yang paling pertama, cost of fund kami tekan dulu. Kami harus berada dalam kondisi siap berkompetisi. Agar bisa melawan pemain besar, harus selalu membawa aset berkualitas. Saya setuju dengan Istilah “mengurangi lemak”. Dengan strategi likuiditas dan ekspansi, kami bisa memprediksi struktur funding yang bila sudah clear bisa kita kurangi biaya yang mahal. Contohnya, banyak perusahaan berdana besar tetap meminta special rate atau diskon. Saya kurangi nasabah begitu. Saya juga kurangi bunga deposito sambil memperbaiki layanan. Mulai akhir tahun lalu, cost of fund kami turun menjadi sekitar 2 persen dari sebelumnya 3 persen.

Apakah upaya mengurangi cost of fund itu mulus?

Kerikil pasti ada. Saat kami ingin mengurangi biaya dana itu, ada divisi yang bilang itu target saya, atau mereka harus mengejar volume tertentu. Jadi, saya ubah mindset itu, agar mereka tak hanya mementingkan departemennya. Harus melihat kepentingan yang lebih besar. Kami kan ingin laba tumbuh terus, tidak turun-naik. Tahun lalu laba kami turun karena faktor Covid-19 dan aset yang kualitasnya kurang baik, sehingga kami harus menyiapkan cadangan dana.  Jangan sampai ada laba besar yang menjadi beban di masa mendatang. Dari restrukturisasi, mungkin ada sekian persen tak berhasil. Itu harus disiapkan cadangannya. Seorang bankir harus punya prinsip kehati-hatian, tak boleh ambil sesuatu yang bukan haknya.

Bagaimana mengatasi masa sulit di BNI? Apalagi segmen korporasi paling terkena dampak saat pandemi Covid-19....

Ini menjadi tantangan menarik. Saya selalu excited memperbaiki. Ini bank besar, namun organisasinya tidak terlalu besar, sehingga masih slim untuk berkembang. Untuk saya, hal itu bagus. Kami sudah punya platform. Hal kecil yang perlu diperbaiki tinggal kapabilitas orangnya. Kami upgrade tim agar lebih digital dan lebih global. Untuk mengubah orang dan sistem, semua harus berjalan, tak bisa hanya salah satunya. Ini tak segampang membalikkan tangan, butuh waktu. Kalau semua punya komitmen, saya kira perubahannya sudah 80 persen. Dalam enam bulan ini konsolidasi belum selesai, kami masih menentukan channel distribusi mana yang mau full digital, atau mana yang mau setengah saja. Kami cek juga proses bisnis end to end. Soal kesehatan kredit, mana yang bisa lunas dan tidak. Kasih kredit itu harus lunas. Kalau tidak, ya namanya hibah.

Digitalisasi BNI dianggap tertinggal dari pemain lain, bagaimana tanggapan Anda?

Kami tak ketinggalan, mungkin promosi dan pemberitaannya saja yang kurang. Di satu sisi, kami sudah bekerja sama dengan fintech dan marketplace. Kami kembangkan mobile banking yang pengguna aktifnya naik luar biasa sampai 30-40 persen. Jumlah pelanggan digital naik, tapi harus disikapi dengan hati-hati. Kami lihat segmen mana yang jadi digital. Milenial sih sudah pasti ke sana, tapi dilihat juga wilayahnya. Di SCBD Jakarta mungkin cocok, tapi agak di luar sedikit, apa perlu mesin canggih?

Bayangan Anda, digitalisasi BNI bagaimana nantinya?

Kami harus mengedukasi nasabah juga. Semua segmen kami mulai menuju digital, dari consumer, retail, UMKM, hingga wholesale, sudah ada di platform digital. Yang retail, kami dorong agak lebih agresif.

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar bersama jajaran direksi BNI di Jakarta, 29 Januari 2021. ANTARA /Hafidz Mubarak A

Bagamana Anda melihat banyaknya entitas digital yang masuk bisnis perbankan?

Bukan berarti kami menutup diri dengan masuknya Gojek, OVO, dan fintech lain. Mungkin pada akhirnya bisa terjadi konsolidasi. Mungkin kami bisa masuk ke segmen retail dan kredit yang kecil-kecil seperti yang levelnya hanya Rp 10-15 juta. Kami mungkin akan kerja sama. Karena, jika harus bayar officer utk lending segitu, tentu kemahalan. Harus pakai sistem.

Seperti apa rencana BNI menerbitkan global bond?

Kami butuh penguatan modal. Kalau mau ekspansi, butuh otot. Modal kan ada tier 2 atau modal pelengkap dan tier 1 atau modal inti. Sekarang kami kuatkan modal pelengkap. Nilai (target penerbitan bond) US$ 500 juta itu cukup untuk menguatkan itu. Lebih bagus lagi kalau tier 1 kuat, tapi untuk itu harus rights issue. Kami sudah ada rencana dan sedang dalam pembahasan. Ini kan harus melibatkan pemegang saham. Kami sudah ajukan, dan keinginannya sih bisa tahun ini. Jika belum diberi, ya, awal tahun depan. Pemerintah memiliki 60 persen share. Jadi, ada opsi, mau share tetap di atas 50 persen atau berkurang. Itu pilihan pemerintah dan harus masuk ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dulu, karena ini anggaran yang menyangkut postur anggaran negara. Sejauh ini, semua mendukung. Pengembaliannya nanti jelas dalam bentuk dividen, pajak, dan sebagainya.

Berapa kebutuhan modal yang dipenuhi dengan rights issue?

Supaya kami sama dengan bank lain, mungkin butuh sekitar Rp 20 triliun

Artinya, negara perlu berapa?

Negara butuh Rp 12-13 triliun untuk memegang saham 60 persen. Kalau mau turun tapi tetap mayoritas, bisa kurang dari itu. Kami juga masih melihat cara lain untuk menguatkan modal tier 1. Saya paham situasi Covid-19 dan tak ingin membebani anggaran negara. Opsi lain kami, kita diskusikan dengan investor, juga dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kami cari model penyetoran modal yang agak berbeda dengan skema tertentu agar bisa dianggap equity, tapi keuangan pemerintah tak terganggu. Beberapa bank di luar, seperti DBS dan bank di Singapura, sudah melakukan ini. Jadi, mereka tak men-delusi pemegang saham existing, karena kami tetap harus hati-hati memperhatikan risiko. Pemerintah juga punya kepentingan untuk mengalokasikan anggaran ke BUMN (badan usaha milik negara) lain yang butuh modal. Tapi kami juga butuh agar bisa bersaing.

Ada peluang akuisisi?

Kalau tak ada modal, kami tak berani. Saya lihat terkadang ada peluang di market. Mungkin kalau ada penggabungan, ada value added lebih tinggi. Orang bisnis selalu berusaha berkembang secara organik dan anorganik. Kalau ada kesempatan itu, ya, kami ambil.

Bank apa yang menurut Anda bisa menambah value BNI?

Kami harus strict dengan apa yang dikejar. Orientasi kami ekspor atau go global. Bisa jadi juga ambil bank dari luar. Daripada buka cabang, kami ambil saja bank di sana. Kami melihat potensi. Misalnya, saat ini kami tak punya cabang di Timur Tengah, padahal potensinya bagus jadi tempat transit orang-orang Eropa. Kami juga punya cabang di London. Tapi, sejak Brexit, orang keluar dari Inggris. Di Asia, kami sudah masuk ke Singapura dan Hong Kong. Sekarang kami lihat di Myanmar yang sedang ribut, di Vietnam, atau Kamboja, bank asing yang masuk mulai bagus. Kami bisa buka di sana atau ambil alih. Kan ada pilihannya. Itu akan pakai hasil rights issue nanti.

Seperti apa langkah Anda mengakomodasi penugasan pemerintah?

Ada penugasan pemulihan ekonomi nasional, ada juga DP (down payment kredit) 0 persen. Tapi itu kan sifatnya business to business. Jadi, terserah banknya, tak ada keharusan. Kalau kami ingin DP 10-20 persen, tak ada masalah. Dengan kemampuan customer, kalau DP perumahan 0 persen, kan bunga atau utangnya makin besar. Mampukah dia bayar cicilan? Lagi-lagi kembali ke kemampuan nasabah. Kebijakan soal PPnBM (pajak penjualan barang mewah) mobil pun agar barang cepat keluar dan produksi lagi. Di segmen rumah juga sama, agar stoknya laku dan developer bangun lagi. Setelahnya, ada dampak lanjutan saat orang beli pasir dan bahan baku. Makanya kami harap program itu agak panjang masa berlakunya.

Anda sudah memberi masukan itu kepada pemerintah?

Ada kesempatan saat presiden memanggil para bankir, kalau tak salah tiga pekan lalu. Menteri Koordinator Ekonomi juga pekan lalu memanggil kami, juga OJK. Kalau dengan Pak Erick Thohir, sih, rutin. Kadang virtual, kadang tatap muka. Satu jam saja cukup, agar ada feedback. Saya pernah sampaikan masukan soal bunga yang terus turun tapi tak ada orang yang mengajukan pinjaman. Yang harus didorong adalah stimulus agar orang mau berproduksi, misalnya dalam bentuk kemudahan impor-ekspor atau penguatan penjaminan.

Masukan apa lagi yang diberikan? Sektor mana yang diperhatikan?

Ada soal sektor wisata yang ingin kita hidupkan kembali, tapi banyak hotel yang berutang dan macet. Kalau ditambah utang lagi, bagaimana bayarnya? Sektor UMKM juga bagaimana mau bayar utang jika kena Covid-19? Saya sempat usulkan agar utang itu jadi beban pemerintah, kan bukan salah pelaku usaha tak bisa bayar utangnya. Kami juga ngobrol dengan stakeholder, kalau dulu perusahaan besar dapat tax amnesty, mungkin yang kecil kenapa tak diberi kesempatan sama, biar bisa menjalankan usaha lagi.

Apa pandangan bapak soal dominasi bankir Bank Mandiri, yang memimpin BUMN dan pemerintahan?

Itu kebetulan saja, nanti kan bisa juga ada bankir BNI yang mendominasi. Saya senang kalau banyak yang merebut anak buah saya. Selain membangun bisnis, kami membangun talent agar bisa masuk segmen mana saja. Dilatih jadi leader agar bisa cepat mengelaborasi masalah, agar punya suatu visi jangka panjang. Sekarang kebetulan ada dua wakil menteri pernah di Bank Mandiri, ada juga yang jadi menteri. Bank Mandiri melatih orang menjadi leader bagus. Proses pembelajaran yang dibangun berhasil.

Banyak yang bilang BNI skalanya lebih kecil dari Mandiri, kenapa Anda bersedia pindah?

Ini tantangan, saya tak boleh hanya jago di situ. Saya harus bisa mengaplikasikan kemampuan di institusi berbeda. Saya sudah 32 tahun di Bank Mandiri, dan masuk jajaran direksi selama  9 tahun. Saya senang melakukan perubahan. Saya ngomong di tim saya bahwa profesional harus selalu siap untuk tugas lain. Direksi BUMN itu bisa saja dalam setahun-dua tahun sudah dianggap tak mampu memimpin, tergantung situasi, sehingga mentalnya harus siap. Saya siap, kadang saat rapat umum pemegang saham, saya sudah beres-beres meja. Tidak boleh merasa ini bank kita, semua punya kesempatan untuk jadi CEO (chief executive officer).

Apa kegiatan Anda di luar kesibukan memimpin BNI?

Hobi saya bersepeda. Itu kegiatan yang menyenangkan karena bisa melihat pemandangan, mencari tempat berbeda. Fisik juga harus dijaga. Saya juga rutin main golf karena main di outdoor. Yang penting refreshing, bukan untuk menjadi pro.



BIODATA

Nama lengkap: Royke Tumilaar

Tempat dan tanggal lahir: Manado, 21 Maret 1964

Pendidikan

Sarjana Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti (1987)

Master of Business Finance, University of Technology Sydney, Australia (1999)

Karier

Bank Dagang Negara

Bank Mandiri (1999)

Group Head Regional Commercial Sales I Bank Mandiri (2007-2010)

Group Head of Commercial Sales Jakarta Bank Mandiri (2010-2011)

Komisaris Mandiri Sekuritas (2009)

Managing Director Treasury, Financial Institutions and Special Asset Management Bank Mandiri (2011-2015)

Direktur Corporate Banking Bank Mandiri (2015-2017)

Direktur Wholesale Banking Bank Mandiri (2017-2018)

Direktur Corporate Banking Bank Mandiri (2018-2019)

Direktur Utama Bank Mandiri (Desember 2019-September 2020)

Direktur Utama BNI (September 2020-saat ini)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus