Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang Berhenti di Tengah Jalan

Direktur Program dan Pemberitaan TVRI dinonaktifkan. Api konflik masih membara di stasiun milik pemerintah itu.

2 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini ibarat ”kutukan” dan berulang kembali di TVRI. Baru tujuh bulan menjadi direktur, Rully Charmeianto Iswahyudi sudah mengalami nasib seperti para pendahulunya: dipaksa mundur di tengah jalan. Pelengseran Rully diawali tuntutan sejumlah karyawan TVRI ke DPR agar bekas wartawan itu dipecat.

Untuk meredam keadaan, Dewan Pengawas TVRI tak bisa berbuat lain kecuali menonaktifkannya dari posisi direktur program dan pemberitaan, dua pekan lalu. Posisinya untuk sementara dirangkap Direktur Umum Farhat Syukri. ”Biar situasi tenang dulu,” kata Ketua Dewan Pengawas Hazairin Sitepu seperti dikutip Tempo Interaktif.

Para karyawan merasa terusik oleh sikap dan kebijakan Rully yang dinilai kontroversial. Ia, misalnya, tak lagi mem-perpanjang kontrak 15 dari 32 penyiar yang selama ini menjadi pembaca berita di stasiun televisi yang telah menjadi lembaga penyiaran publik itu. Rully menilai TVRI hanya perlu delapan penyiar tetap. Untuk itu mereka harus bersedia piket delapan jam sehari di kantor.

Kekecewaan merembet ke karyawan lapisan bawah lantaran uang Satuan Kerabat Kerja sebesar Rp 10–20 ribu yang biasa diterima tiap hari tiba-tiba lenyap dari daftar gaji. Mereka juga menilai Rully tidak becus bekerja karena selama dua bulan terakhir, 80 persen program TVRI hanya diisi tayangan ulang (rerun).

Hampir tidak ada produksi siaran baru, sesuatu yang mestinya dikerjakan Rully. ”Karyawan jadi nganggur. Tidak ada perbaikan sama sekali,” kata Effendy Musa, juru bicara Forum Komunikasi Karyawan TVRI.

Rully, yang dulu dikenal sebagai aktivis Blora Center dan dekat dengan Tim Kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tentu saja menampik semua tuduhan itu. Dia balik menuding kelompok karyawan yang menuntut pemecatannya adalah mereka yang suka ”mengail” di tengah buruknya manajemen TVRI. ”Mereka ini kecil, tapi suaranya kenceng,” katanya. Jumlah keseluruhan karyawan TVRI sendiri sekitar 6.000 orang.

Banyak potensi pemasukan, menurut Rully, yang nyangkut di kelompok itu. Dia menyodorkan segepok bukti. Saat alih jabatan dari direksi lama pada 24 Agustus 2006, uang kas cuma tersisa Rp 1,7 miliar. Itu pun hanya Rp 700 juta yang boleh dipakai direksi karena sisanya akan digunakan Dewan Pengawas.

Padahal, Lebaran sudah dekat dan tunjangan hari raya minimal membutuhkan Rp 2 miliar. Agar pemasukan lebih tertib, diputuskan semua transaksi hanya boleh lewat satu pintu: direktur program dan direktur pengembangan usaha. Hasilnya? Bulan berikutnya dana yang masuk kas Rp 4,5 miliar. Hingga akhir 2006, uang kas membengkak jadi Rp 24 miliar. ”Artinya kan selama ini banyak pemasukan yang tidak pernah sampai di kas.”

Ihwal kewajiban piket, pemutusan kontrak penyiar, maupun tayangan ulang, Rully mengatakan semua itu dilakukan demi penghematan. Tayangan ulang dilakukan karena anggaran 2007 dari pemerintah untuk siaran dan berita hanya Rp 2,5 miliar plus dana non-APBN Rp 22,2 miliar. ”Itu hanya cukup untuk enam bulan,” katanya. Persentase tayangan ulang periode Januari–Februari 2007, menurut dia, berkisar 50 persen. Sedangkan pada Agustus-Desember 2006, 22-25 persen. ”Dulu juga biasa sebesar itu,” katanya.

Karena itu, Rully mempertanyakan dasar penonaktifannya. ”Secara kinerja, saya kan tidak ada persoalan,” kata Rully lagi. Sebaliknya, karyawan tetap meminta ia hengkang selamanya. ”Dia satu-satunya sumber masalah,” kata penyiar Tiya Diran yang mengundurkan diri sebagai tanda solidaritas dengan rekan-rekannya yang kontraknya diputus. Api konflik masih membara dalam sekam TVRI.

Sapto Pradityo

Bongkar-Pasang Direksi

22 Juni 2001, Sumita Tobing dilantik menjadi Direktur Utama TVRI menggantikan Chairul Zen.

17 April 2002, Status TVRI berubah dari perusahaan jawatan menjadi persero.

15 April 2003, Setelah terjadi keributan antardirektur, Sumita dicopot dan diganti Hari Sulistyono.

9 Februari 2004, Hari dituding melanggar anggaran dasar TVRI . Dia dicopot dan digantikan Yasirwan Uyun.

April 2005, TVRI berubah status menjadi lembaga penyiaran publik.

24 Agustus 2006, I Gde Nyoman Arsana diangkat menggantikan Yasirwan Uyun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus