Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAD cow merambah Nusantara? Begitulah kabar yang santer beredar. Bersama tiga negara lain?Thailand, Taiwan, dan Sri Lanka?Indonesia berpotensi menjadi wilayah penyebaran sapi gila di Asia. "Negara-negara ini punya kaitan dengan mad cow," kata Ian McGill, bekas pejabat di Kementerian Pertanian Inggris, seperti dikutip Reuters Health pekan lalu.
Pernyataan McGill bukan tanpa dasar. Keempat negara itu pada 1990-an adalah pengimpor tepung pakan ternak berbahan daging dan tulang sapi (meat and bone meal) dari Inggris. Indonesia bahkan memegang rekor pengimpor tepung pakan Inggris yang terbesar dengan total 20.060 ton pada 1993. Padahal, kala itu, wabah mad cow sedang memuncak dan menewaskan ratusan ribu sapi di Inggris?belakangan wabah ini juga meminta korban nyawa manusia.
Pada tahun-tahun itu pula, Komisi Negara-Negara Eropa melarang Inggris mengekspor sapi yang berumur lebih dari 30 bulan?batas usia yang berpotensi membawa mad cow. Celakanya, sapi-sapi "haram" ini kemudian dibunuh, diolah menjadi pakan ternak, dan dilempar ke pasar Asia. Karena itu, McGill menyerukan agar kewaspadaan kini dipasang lebih tinggi. Alasannya, masa inkubasi atau rentang waktu dari infeksi bibit penyakit sampai timbulnya gejala (1,5-8 tahun) telah berakhir. Jadi, pada tahun 2001 inilah sapi gila diduga kuat bakal menghantui Asia, terutama Indonesia.
Tapi seberapa seriuskah kemungkinan munculnya mad cow di Indonesia? Sayang, tak ada jawaban yang pasti. Namun, itu bukan pertanda negeri ini aman dari ancaman sapi gila. Sebab, penyakit ini sudah menyebar luas ke berbagai negara (lihat Berawal dari Sapi Nomor 133). Indonesia mungkin saja menjadi persinggahan sapi gila.
Bagaimana sebenarnya penyakit sapi gila itu bermula? Pemicu mad cow adalah protein "prion", yang diduga muncul gara-gara binatang dipaksa menyalahi kodrat alami. Sapi, misalnya, diciptakan dengan sifat ruminansia atau memamah biak rumput-rumputan, tapi manusia membuat binatang ini juga menyantap tepung pakan yang berbahan baku hewani. Sapi, yang aslinya herbivora (pemakan tumbuhan), pun terpaksa menjadi karnivora atau pemakan daging. Alhasil, dalam jangka panjang, tubuh sapi memproduksi prion yang destruktif.
Prion inilah yang berbiak di antara sistem saraf pusat ternak. Kumpulan prion ini membentuk gumpalan mirip spon?karena itu, mad cow juga disebut BSE atau bovine spongiform encephalopathy?yang mengacaukan kerja sel-sel otak. Seusai masa inkubasi, sapi-sapi malang ini kehilangan kendali tubuh, gemetar dahsyat, bergerak liar tak menentu, metabolisme tubuhnya berantakan, dan akhirnya mati.
Celakanya, prion tak hanya mengacaukan sapi, tapi juga manusia. Kendati bukti yang komplet belum tersedia, David Krakauer, pakar ilmu hewan dari Universitas Oxford, yakin bahwa manusia yang mengonsumsi sapi gila berisiko terkena penyakit serupa. Pada manusia, penyakit yang muncul disebut varian baru dari Creutzfeldt-Jacob disease (vCJD). Dan sejak mad cow merebak, vCJD telah mencabut nyawa lebih dari 80 orang Inggris dan dua warga Prancis.
Lalu, akankah BSE plus kerabatnya, vCJD, masuk Indonesia?
Bisa dimaklumi bila timbul kerisauan. Sebab, ada dua poin penting yang mengaitkan Indonesia dengan rantai mad cow. Pertama, seperti disebut di awal tulisan, Indonesia mengimpor pakan ternak dari Inggris. Kedua, akhir tahun lalu, Pemerintah Daerah DKI Jakarta mendatangkan seribu ton daging sapi beku dari Irlandia. Impor ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, yang datang beruntun. Kala itu, langkah impor ini dibarengi kontroversi karena banyak negara telah mengharamkan impor daging sapi dari Irlandia, yang juga potensial menyebar wabah sapi gila.
Namun, Budi Tri Akoso, Direktur Kesehatan Hewan di Departemen Pertanian, menjamin bahwa daging sapi beku asal Irlandia tadi tidak bermasalah. Persyaratan yang dipatok pemda sudah cukup ketat. Misalnya, daging impor wajib disertai sertifikat bebas BSE dan mutlak berasal dari sapi yang hanya memakan rumput. Jadi, "Daging itu bebas prion," kata Budi.
Kadar ancaman BSE yang lebih serius justru muncul pada tepung pakan ternak impor yang mengandung tulang sapi. Ini karena prion biasa mengumpul pada organ seperti otak, jeroan, dan sumsum tulang sapi.
Untunglah kita belum perlu kelewat risau. Mangku Sitepoe, pensiunan peneliti Departemen Kesehatan yang juga penulis buku Sapi Gila, Keterkaitannya dengan Berbagai Aspek, menjelaskan bahwa sapi-sapi Indonesia tidak pernah diberi makan tepung meat and bone. "Sapi kita masih setia pada kodrat," kata Mangku, "Mereka hanya makan rumput dan tepung konsentrat nabati."
Puluhan ribu ton pakan ternak dari Inggris tadi, menurut Mangku, diolah lagi untuk dijadikan makanan ternak unggas. Dan belum pernah ada bukti bahwa unggas bisa terkena BSE setelah makan daging dan tulang sapi. Jadi, sejauh ini, Indonesia relatif aman dari jangkauan mad cow.
Namun, tak ada kelirunya berhati-hati. Bila ingin lebih yakin terhindar dari mad cow, Mangku menyarankan sebisa mungkin menjauhi konsumsi daging impor. Untuk Anda yang berada di luar negeri, Mangku menganjurkan agar jangan tergiur menyantap bagian tubuh sapi yang nondaging?seperti kulit, jeroan, otak, dan tulang muda. "Anda perlu selektif. Makanlah daging yang tanpa tulang karena bagian ini yang relatif aman dari prion," katanya.
Tentu saja kewaspadaan individu belum komplet tanpa diimbangi perhatian pemerintah. Program-program khusus perlu segera diberlakukan untuk menutup segala pintu yang memungkinkan mad cow menyebar. Seperti diakui Mangku, tepung meat and bone yang kini digunakan untuk campuran pakan unggas sangat mungkin berbuah BSE puluhan tahun mendatang.
Kemungkinan semacam itu selayaknya diantisipasi pemerintah, misalnya dengan melarang impor daging sapi dari wilayah berisiko, seperti yang sudah dilakukan banyak negara. Sebab, seperti dikatakan Ralph Blanchfield, ilmuwan dari Institute of Food Science and Technology, Inggris, "Tak ada jaminan sebuah negara seratus persen aman dari mad cow."
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo