Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ancaman hoaks akan meningkat menjelang Pemilu 2024 dan diperparah oleh penggunaan artificial intelligence.
Cara paling jitu menangkal disinformasi adalah lewat cek fakta, yang banyak tersedia di Indonesia.
Sayangnya, 78 persen masyarakat tidak pernah melakukan cek fakta.
Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 sudah di depan mata. Sejumlah partai politik telah mengumumkan bakal calon presiden (capres) yang akan diusung. Beberapa tokoh yang muncul sebagai capres potensial mendapat respons beragam dari masyarakat di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun satu hal yang menyertai perhelatan Pemilu 2024 dan tak bisa dielakkan adalah disinformasi yang bertebaran di media sosial. Sejak era digital, di seluruh belahan dunia, pemilu menjadi peristiwa politik yang paling rentan terpapar penyebaran disinformasi dan berita palsu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu 2015-2020 menemukan jumlah disinformasi paling banyak berkaitan dengan peristiwa politik yang terjadi di Indonesia. Kurvanya cenderung meningkat menjelang tahun politik.
Misalnya, penyebaran disinformasi politik pada 2019—baik yang berkaitan dengan kandidat, partai politik (parpol), maupun hal lain tentang penyelenggaraan pemilu—lebih banyak dibanding pada tahun sebelumnya. Sebab, pada tahun tersebut, Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden (pilpres).
Pemetaan yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada Agustus 2018 hingga September 2019, atau selama masa kampanye Pemilu 2019 hingga selesainya penetapan pemenang pemilu, menemukan lebih dari 3.300 disinformasi berupa hoaks dan berita palsu yang tersebar di media sosial.
Pada Pemilu 2024, yang sekarang tahapannya sudah berlangsung, fenomena yang sama besar kemungkinan akan kembali terjadi. Parpol, politikus, pendukung kandidat, dan masyarakat berpotensi terpapar ataupun ikut memproduksi disinformasi untuk beragam tujuan. Hal ini seperti menyerang kandidat tertentu, kredibilitas penyelenggara pemilu, atau proses pemilu itu sendiri.
Deklarasi Pemilu Damai Tahun 2024 di Polresta Bogor Kota, Kapten Muslihat, Kota Bogor, Jawa Barat, 15 Agustus 2023. ANTARA/Arif Firmansyah
Ragam Disinformasi Politik di Masa Pemilu
Dari riset yang sedang kami lakukan terhadap konten disinformasi politik yang dipublikasikan pada 1 Maret-17 April 2019 di Turnbackhoax.id, kami menemukan lima topik yang paling sering ditemukan pada disinformasi politik semasa pilpres.
Kelimanya adalah “dukungan kepada kandidat” (20,29 persen), “kecurangan pemilu” (17,39 persen), “kandidat” (17,39 persen), “pendukung dari kandidat” (8,7 persen), dan “ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu” (7,25 persen).
Disinformasi politik tersebut tersebar dalam beragam format, seperti teks, foto, video, dan campuran. Facebook menjadi media yang paling banyak digunakan dalam distribusi pesan.
Topik “dukungan kepada kandidat” membangun narasi bahwa kandidat mendapat dukungan dari tokoh agama atau sebagian besar masyarakat.
Disinformasi ini sengaja disebarkan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat bahwa kandidat merupakan calon yang tepat karena mereka mendapat dukungan dari beragam kalangan, terutama tokoh agama yang memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia.
Sementara itu, topik “kecurangan pemilu” dan “ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu” merupakan topik yang perlu diwaspadai karena kedua topik ini kerap berisi disinformasi perihal sabotase surat suara atau hasil pemilu oleh pihak tertentu. Ini semua merupakan isu sensitif di tengah pemilu.
Rentan Terpapar Disinformasi
Peneliti, aktivis, dan pemerintah yakin literasi digital merupakan salah satu alat yang penting dalam melawan disinformasi. Karena itu, pemerintah rutin menyelenggarakan pelatihan yang bertujuan meningkatkan literasi digital masyarakat sejak 2021.
Pelatihan tersebut, meskipun tidak signifikan, mampu menaikkan indeks literasi digital masyarakat menjadi 3,55 pada 2022 dari 3,49 pada tahun sebelumnya. Skor tersebut termasuk kategori sedang, mengingat skala yang digunakan adalah 1-5.
Meski demikian, keterampilan yang dibutuhkan untuk menghindari diri dari paparan disinformasi masih belum mencukupi.
Survei yang dilakukan Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi) pada 2023 ihwal indeks literasi digital dalam konteks politik menemukan generasi muda (17-21 tahun) memiliki skor literasi sedang, yaitu sebesar 3,75.
Survei ini juga menemukan sebagian besar kaum muda jarang mengikuti sumber informasi politik/pemilu tepercaya, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Akibatnya, mereka menjadi kelompok yang rentan terhadap disinformasi politik.
Maskot Pemilu 2024 Sura dan Sulu bersama para Paskibraka yang membawa bendera partai politik mengikuti Kirab Pemilu 2024 di Badung, Bali, 13 Agustus 2023. ANTARA/Fikri Yusuf
Perilaku Cek Fakta
Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk melawan disinformasi adalah melakukan cek fakta.
Indonesia memiliki beberapa lembaga cek fakta yang rutin memverifikasi kebenaran informasi. Ada “Laporan Isu Hoaks” milik Kementerian Kominfo, situs web cek fakta milik media Liputan6 dan Kompas, serta ada yang dijalankan oleh komunitas atau organisasi nirlaba, contohnya Turnbackhoax.id, Cekfakta.com, dan chatbot Kalimasada. Namun lembaga-lembaga tersebut ternyata tidak terlalu populer di masyarakat, setidaknya bagi responden yang menjadi penelitian kami di 13 provinsi.
Kami menemukan 56 persen responden tidak familier dengan lembaga cek fakta. Bahkan sebanyak 77,9 persen responden mengaku tidak pernah memeriksa fakta. Temuan ini tentu mengkhawatirkan, terutama di tengah banjirnya disinformasi politik menjelang Pemilu 2024.
Sementara itu, responden yang mengaku rutin atau pernah mengecek fakta memiliki persepsi yang positif perihal lembaga cek fakta. Misalnya, mereka yakin lembaga cek fakta cenderung akurat dalam mengidentifikasi disinformasi dan memberikan penjelasan yang mudah dimengerti perihal informasi yang diverifikasi.
Lebih lanjut, mereka menyatakan, apabila menerima informasi yang sudah diverifikasi dari lembaga cek fakta, mereka akan membagikan dan mendiskusikannya dengan keluarga ataupun kolega. Ini tentu langkah yang baik. Dengan membagikan konten yang sudah terverifikasi kebenarannya, akan semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi meminimalkan penyebaran disinformasi.
Penelitian kami juga menemukan lembaga cek fakta milik media dan organisasi nirlaba lebih populer dibanding lembaga cek fakta milik pemerintah. Sebagai contoh, lembaga cek fakta yang dikelola oleh media Liputan6 dan Kompas lebih dikenal publik dibanding lembaga milik Kementerian Kominfo.
Hal ini terjadi karena lembaga cek fakta milik media dan organisasi nirlaba terafiliasi dengan portal berita masing-masing media sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengetahui keberadaannya.
Masyarakat Belum Siap
Berdasarkan hasil riset kami dan survei lainnya, dapat disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang ternyata belum siap menghadapi banjir disinformasi politik pada tahun Pemilu 2024.
Sebab, keterampilan masyarakat dalam mengevaluasi informasi cenderung masih rendah dan perilaku cek fakta secara rutin belum cukup populer.
Pada Pemilu 2024, tantangan akan semakin sengit karena besar kemungkinan disinformasi akan semakin sulit diidentifikasi oleh masyarakat. Sebab, banyak pelaku pembuat dan penyebar disinformasi mulai menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam proses produksi dan penyebarannya. Disinformasi ini dikenal dengan istilah deep fake news, yaitu berita bohong berupa foto atau video yang diproduksi menggunakan kecerdasan buatan sehingga terlihat nyata.
Mau tidak mau, masyarakat harus lebih kritis dan tanggap. Kita semua sebaiknya mulai membiasakan diri untuk “mencurigai” informasi yang kita dapat agar kemudian kita meresponsnya dengan melakukan perbandingan dengan sumber lain atau melakukan verifikasi pada sumber informasi tepercaya.
Sebisa mungkin hindari pengecekan fakta dengan bertanya kepada keluarga/teman karena mereka belum tentu memiliki keterampilan dalam mengidentifikasi disinformasi. Gunakan lembaga cek fakta resmi dan kredibel untuk memverifikasi informasi.
---
Artikel ini ditulis oleh Putri Limilia, Lintang R. Rahmiaji, dan Ni Made Ras Amanda dari Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi). Terbit pertama kali di The Conversation.