Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Diperkenalkan pada 2018, semakin banyak e-commerce dan bank menawarkan opsi paylater.
Paylater menawarkan kemudahan berupa belanja sekarang bayar belakangan, tapi banyak konsumen abai akan perhitungan bunga dan cicilannya.
Tiga perencana keuangan mewanti-wanti bahaya jeratan utang bagi pengguna paylater.
Soal keuangan, Yuznia punya andalan. Sejak 2019, karyawan toko di Surabaya ini kerap memanfaatkan paylater saat belanja di e-commerce. "Setiap bulan pasti ada pemakaiannya, sekali atau dua kali," ujar perempuan 25 tahun ini kepada Tempo, Jumat, 10 November lalu. "Rata-rata Rp 300 ribu per transaksi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frekuensi penggunaan layanan penundaan pembayaran Yuznia beberapa bulan belakangan ini telah jauh berkurang. Sebelumnya, dalam sebulan dia bisa 10-15 kali berutang di pasar online. Kebanyakan pesanannya itu untuk memenuhi kebutuhan adiknya di Malang. Kini, adiknya tinggal bersama Yuznia di Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski volume dan frekuensi utangnya berkurang, Yuznia tetap merasa terbebani. Sebab, uang gajinya banyak tersedot pelunasan utang. Secara keseluruhan, dana pinjaman dia sejak 2019 tak kurang dari Rp 20 juta. "Seperti kecanduan. Susah berhenti," kata dia.
Ade Ridwan di Jakarta juga jadi langganan paylater. Bedanya, ayah satu anak ini lebih sering berutang untuk kebutuhan bulanan, biaya transportasi, iuran listrik, sampai membeli susu anak. Dia beralasan gajinya di perusahaan swasta tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Berapa banyak utangnya? Sebagai gambaran, batasan paylater Ade di sebuah marketplace adalah Rp 700 ribu. "Sisanya tinggal Rp 40 ribu," ujarnya. Padahal wawancara berlangsung di awal bulan. Itu baru di marketplace. Dia juga menunda pembayaran transportasi online rata-rata Rp 300 ribu per bulan.
Paylater adalah cara transaksi yang memungkinkan konsumen menerima barang atau jasa saat itu juga, tapi pembayaran belakangan. Ligwina Hananto, pendiri sekaligus financial trainer QM Financial, mengatakan cikal bakal paylater berawal saat toko serba ada di Amerika Serikat memberikan kesempatan bagi konsumen untuk mencicil barang—biasanya kado Natal. Jadi, konsumen bisa mendapatkan hadiah impian meski uang belum mencukupi. Bedanya, barang hanya dapat diambil jika telah lunas. "Jadi, seperti booking produk di awal," kata Ligwina kepada Tempo.
Ilustrasi Pay Later. TEMPO/Ijar Karim
Di Indonesia, paylater pertama kali dikenalkan oleh Traveloka, pelayanan tiket online, pada 2018. Berikutnya, pengguna jasa ojek dan taksi online di Gojek juga bisa menunda pembayarannya, diikuti Shopee. Perusahaan kredit instan, seperti Krevido dan Home Credit, pun ikut menyediakan pilihan bayar belakangan alias paylater. Belakangan, perbankan turut masuk segmen buy now pay later (BNPL) ini. Ada BCA, Allobank, Bank DBS, dan Bank Mandiri.
Banyaknya penyedia jasa menunjukkan lakunya bentuk utang baru ini. Ligwina mengatakan masyarakat Indonesia memang terbiasa berutang sejak generasi terdahulu. Sebagian dari kita merasa tidak cukup disiplin dalam menabung untuk membeli suatu barang sehingga memilih mencicilnya. "Hanya, paylater bersifat digital sehingga memungkinkan terjadinya pola yang masif untuk berutang," kata Ligwina.
Kemudahan berutang ini berisiko tinggi, wabilkhusus bagi masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah yang tidak memiliki penghasilan tetap. "Risiko terbesar adalah gagal bayar," ujar Ligwina.
Dia menyatakan konsumen perlu membuat batasan pemakaian paylater. "Besaran total semua cicilan bulanan adalah maksimal 30 persen dari penghasilan," ujarnya. Ligwina menyebutkan rumus pengelolaan keuangan 1-2-3-4. Artinya, 10 persen penghasilan bulanan untuk ditabung, 20 persen untuk pengeluaran gaya hidup, 30 persen untuk cicilan utang, dan 40 persen untuk kebutuhan sehari-hari. "Namun, umumnya, komposisi 30 persen itu sudah habis untuk cicilan rumah dan kendaraan bermotor," katanya.
Masalahnya, seperti contoh di atas, dia mendapati banyak pengguna paylater di Indonesia yang berutang untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk uang makan dan transportasi. Hal itu menunjukkan keuangan mereka bermasalah. "Paylater seolah-olah menjadi solusi, tapi jika digunakan dalam jangka panjang akan berdampak sangat buruk," kata Ligwina.
Ilustrasi pengguna Pay Later. TEMPO/Ijar Karim
Umi Kalsum, warga Bojonegoro, mengaku kapok menggunakan paylater. Sejak akhir 2021, dia kerap memilih bayar belakangan saat berbelanja online. Dia baru sadar belakangan bahwa harga yang dia bayarkan jadi jauh lebih besar akibat beban bunga. "Saat simulasi angsuran terkesan murah karena pakai harga produk asli," kata dia. Makin besar rentang tenor, selisih biaya makin besar. Umi, 25 tahun, pun putus hubungan dengan paylater mulai akhir tahun lalu.
Perencana keuangan dari Financial Consulting, Eko Indarto, mengatakan kemudahan mendapat penundaan pembayaran lewat paylater perlu diimbangi kebijaksanaan. Dia memberi batasan berupa hanya untuk membeli barang yang bersifat wajib, tak dapat ditunda, dan bernilai lebih tinggi dari banderolnya. Sama seperti Ligwina, dia menekankan cicilan paylater, termasuk utang lain, tak melebihi 30 persen pendapatan bulanan.
Adapun Prita Hapsari Ghozie, pendiri sekaligus perencana keuangan ZAP Finance, mengkhawatirkan tingginya penggunaan paylater untuk kebutuhan konsumtif. Hal ini menunjukkan gejala rendahnya kesabaran dalam memperoleh sesuatu. "Sering kali mereka juga tidak menghitung jumlah cicilan paylater sehingga berpotensi terjadi lonjakan pengeluaran," ujarnya.
Agar Tak Tertimbun Utang
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo