Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan mengurangi dan memilah sampah kian mudah dengan kehadiran berbagai aplikasi pengelolaan sampah rumah tangga.
Tanpa pemilahan, beban TPA makin menggunung.
Target pemerintah mengurangi 30 persen volume sampah lewat pemilahan belum tercapai.
Tingkah laku perempuan itu tak lazim. Rampung makan nasi kotak, Lailatul Annisa, 25 tahun, tidak menuju tempat sampah. Dia melipat rapi boks karton putih tersebut, lalu memasukkannya ke ransel. “Sampah ini kan bisa dipilah, jadi saya bawa pulang,” katanya kepada Tempo, Senin, 4 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ella—sapaan Lailatul—memang terbiasa membawa pulang sampah kering sisa aktivitas hariannya. Dari karton susu sampai bon belanja. Tujuannya, mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA). TPA Bantargebang di Bekasi kedatangan 7.500 ton sampah dari Jakarta setiap hari dan tingkat keterisiannya sudah melampaui 80 persen dari total kapasitasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demi tujuan itu, Ella memanfaatkan aplikasi pengolahan sampah, Rekosistem dan Octopus. Ella menjadi pengguna Octopus sejak 27 Mei 2023. Total sampah yang dia daur ulang sebanyak 15,9 kilogram. Angka itu, menurut Octopus, setara dengan penghematan 41,75 kg karbon dioksida.
Tidak hanya memilah, Ella juga memastikan kebersihan sampahnya. Kemasan pasta gigi, misalnya, selalu dia gunting dan pastikan semua isinya habis terpakai. Baru kemudian kemasannya ia cuci dan keringkan. Perlakuan serupa ia lakukan untuk jenis sampah lain, termasuk kemasan produk perawatan kulitnya.
Pelestari Octopus yang mengangkut sampah yang dipilah Lailatul Annisa. Dok. Pribadi
Bersih dan kering adalah persyaratan agar sampah bisa diangkut oleh pengelola Octopus. “Nanti mereka ambil ke tempat kita,” ujar perempuan asal Banyuwangi yang bekerja di perusahaan swasta di Jakarta Pusat itu.
Sudah enam kali Ella memanfaatkan jasa Octopus untuk mengambil sampah yang ia pilah. Sayangnya, karena alasan perbaikan sistem, aplikasi itu tidak beroperasi sejak akhir tahun lalu.
Ella pun beralih ke Rekosistem. Hampir semua mekanismenya sama. Bedanya cuma satu, kita yang mengantarkan sampah ke waste station Rekosistem. “Baru pekan lalu saya antar ke drop point mereka di Blok M,” katanya.
Ella aktif memilah sampah sejak masa kuliah di Universitas Jember. Dalam mata kuliah sosiologi lingkungan, dosennya mengajak para mahasiswa menyaksikan gunungan sampah di TPA. “Itu cukup menampar saya,” ujarnya.
Sejak saat itu, dia mulai mengelola limbah sekaligus menekan perilaku konsumtifnya, terutama penggunaan produk sekali pakai. Dia juga mengerem kebiasaan berbelanja online dan memilih membeli kebutuhan secara langsung di toko. Alasannya, mengurangi sampah kemasan pengiriman barang belanjaan online.
Lailatul Annisa menunjukkan kardus nasi kotak yang ia lipat dan hendak dibawa pulang untuk dipilah di Jakarta, 5 Maret 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Sampah memang masih terus menjadi masalah. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menyatakan jumlah timbunan sampah pada tahun lalu mencapai 18 juta ton dan 33 persen di antaranya tidak bisa dikelola. Satu penyebabnya adalah sampah yang berakhir di TPA tidak dipilah. Semua tercampur aduk, baik sampah organik maupun anorganik.
Permasalahan pemilahan sampah diangkat oleh Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Vinda Damayanti Ansjar. “Kalau enggak ada pemilahan, plastik kan kotor. Enggak bisa didaur ulang. Tugas kami mengedukasi masyarakat agar mau melakukan pilah sampah,” ujarnya dalam diskusi “Bank Sampah: Solusi yang Ramah di Kantong, Ramah di Lingkungan” di kantor Kelurahan Menteng Atas, Jakarta Pusat, pada Senin, 4 Maret 2024.
Sejatinya, ada pengaturan pengelolaan sampah dan bank sampah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2021. Serupa dengan aplikasi daur ulang di atas, bank sampah memiliki tugas memilah sampah yang bisa digunakan kembali. Warga yang terdaftar sebagai anggota hanya perlu memilah sampah dan menyerahkannya ke bank sampah terdekat.
Berdasarkan peraturan, tiap rukun warga membentuk bank sampah. Namun belum seluruh wilayah berhasil menerapkannya. “Di DKI Jakarta, alhamdulillah, 50 persen RW ada bank sampahnya,” kata Vinda. Menurut dia, upaya pengurangan sampah memang belum mencapai target, yakni 30 persen di tiap daerah. Maka perlu kerja sama baik dari sisi pemerintah, masyarakat, maupun swasta.
Satu langkah besar, dia melanjutkan, adalah makin banyaknya perusahaan rintisan kewirausahaan sosial di bidang pengelolaan sampah. “Tingkat kesadaran anak muda makin baik. Ada 200 social entrepreneur yang muncul dari kesadaran atas pengelolaan sampah,” ujar Vinda.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo