Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada 30 juta anak pengguna Internet di Indonesia.
Di ranah digital, anak merupakan kelompok paling rentan, termasuk media sosial.
Media sosial kerap menjadi tempat pelaku dan korban kejahatan berkenalan.
Ancaman itu ada di tangan kita. Dari telepon seluler—juga tablet dan gawai (gadget) lain yang terkoneksi Internet—turun ke mata. Anak merupakan kelompok paling rentan terpapar berbagai bahaya, dari pornografi sampai kekerasan yang berujung pada kematian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasusnya sudah kelewat banyak. Misalnya, anak penjabat Gubernur Papua Pegunungan yang berusia 16 tahun, yang tewas di tangan temannya hasil berkenalan di Instagram pada Mei lalu. Ada juga siswi SMP di Padang yang pergi bersama kenalan online-nya, lalu diperkosa dan dibunuh. Terbaru, murid kelas VI SD di Bandung yang hilang enam pekan dan dijual ke pria hidung belang. Semua kejahatan itu bermula dari perkenalan korban dan pelaku di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyuarakan bahaya media sosial untuk anak-anak. "Anak mudah terbujuk karena belum memiliki sikap yang ajek," kata Kawiyan, Komisioner KPAI, Jumat, 29 Desember 2023.
Ilustrasi anak-anak membuka aplikasi media sosial. Pexels
Merujuk pada data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ada 30 juta anak pengguna Internet di Indonesia. Semuanya berada dalam zona waspada karena rentan terpapar konten negatif.
Data APJII menyebutkan 60 persen dari anak pengguna Internet di Indonesia pernah menyaksikan sedikitnya satu konten pornografi di Internet, termasuk dari media sosial. Dari sisi usia, kelompok umur 11-13 dan 7-10 yang paling banyak menjadi korban, masing-masing 30 persen.
Sejumlah media sosial, termasuk Instagram, Facebook, dan TikTok, memberi batas minimal 13 tahun sebagai syarat keanggotaan. Hanya, syarat itu bisa mudah diakali dengan mengganti tahun kelahiran. Jadilah media-media sosial itu disemuti anak-anak.
KPAI yakin batas umur merupakan cara ampuh untuk melindungi anak dari sebaran konten negatif di Internet. Mereka menyarankan batas umur itu ditingkatkan menjadi 17 tahun, saat anak mulai belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak asal tiru seperti anak-anak yang lebih muda.
Batas usia 17 sebagai syarat pendaftaran media sosial sempat masuk Rancangan UU Pelindungan Data Pribadi. Usulan tersebut juga menyarankan pentingnya persetujuan orang tua saat anak mendaftar media sosial. Namun UU Pelindungan Data Pribadi, yang disahkan DPR pada September 2022, tidak menyertakan usulan-usulan tersebut.
Pakar psikologi dari Universitas Indonesia Dicky C. Peluppessy mengatakan, untuk mencegah paparan konten negatif dan kejahatan anak lewat media sosial, perlu pengawasan langsung dari orang tua. Dia membaginya menjadi tiga lapis. Pertama, kesadaran kapan anak baru bisa memiliki akun media sosial. Hal itu tidak lepas dari pertimbangan bahwa, di usia anak, mereka gampang terpengaruh dan belum bisa membuat keputusan yang tepat.
Menurut Dicky, tidak ada rumus pasti soal pada usia berapa anak boleh memiliki akun media sosial. Usia 13 merupakan batas umur minimal yang banyak diterapkan berbagai media sosial besar di luar negeri. Aturan Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA) melarang pengelola platform media sosial membiarkan anak usia di bawah 13 tahun membuat akun atau berinteraksi dengan pengguna lain.
Meski demikian, Dicky melanjutkan, angka itu bukan harga mati. Sebab, perlu juga menghitung kematangan mental si anak.
Jika si anak telah aktif di media sosial, orang tua bisa memberi tenggat bermain gawai. Tugas orang tua selanjutnya, kata Dicky, adalah membangun obrolan dengan anak. "Tentu pendekatannya bukan seperti interogasi. Kita bisa mulai dengan obrolan ringan," kata Dicky.
Ilustrasi orang tua terlibat aktif dalam aktivitas daring anak-anaknya. PEXELS
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menekankan pentingnya keterlibatan aktif orang tua untuk menangkal dampak media sosial untuk anak. Di antaranya, membicarakan aturan dan etika penggunaan media sosial, berdiskusi secara terbuka dengan anak tentang aturan, dan konsekuensi jika melanggar. “Beri pemahaman kepada anak bahwa aturan tersebut dibuat untuk melindungi mereka,” katanya.
Ariani, ibu dari anak laki-laki 14 tahun, mengaku khawatir akan paparan konten negatif dan para pelaku kejahatan yang mengincar anak-anak. Sebagai upaya mencegahnya, warga Jakarta Timur itu rajin mengajak anaknya mengobrol soal banyaknya pelaku kejahatan di media sosial. "Biar enggak terlalu lama main medsos,” ujarnya.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo