Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berkarya dari Pulau Dewata

Maraknya tren bekerja dari luar kantor selama pandemi Covid-19 membuat Pulau Bali diminati banyak pekerja dari luar daerah. Suasana santai dan fasilitas menginap yang murah membuat mereka betah bekerja seraya melepas penat dengan berwisata.

 

15 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir membuat sebagian orang masih bekerja dari Bali.

  • Bali menjadi destinasi paling favorit bagi karyawan untuk bekerja dari luar kantor.

  • Kegiatan work from Bali turut membantu menghidupkan kembali pariwisata di Pulau Dewata.

JUNIATI Gunawan tinggal seorang diri di sebuah homestay di kawasan Nusa Dua, Bali. Dosen dan konsultan asal Jakarta itu menetap selama lima pekan untuk bekerja jarak jauh sejak Desember 2021. “Ini pengalaman pertama tinggal lama. Biasanya hanya beberapa hari,” ucap perempuan 49 tahun itu kepada Tempo, Jumat, 7 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Momen pandemi memberinya kesempatan menikmati penginapan dengan harga lebih terjangkau. Sebelum masa pandemi Covid-19, pengunjung mesti membayar Rp 380 ribu semalam. Kali ini Juniati cukup merogoh kocek Rp 5 juta untuk satu bulan lebih. Padahal homestay yang ditempatinya memiliki fasilitas kolam renang, pusat kebugaran, kebun hidroponik, serta bioskop mini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama tinggal di Bali, Juniati tidak begitu banyak mengunjungi obyek wisata. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tinggalnya dan sesekali jalan-jalan ke pusat belanja. Ia juga lebih banyak bekerja dan mengisi beberapa pelatihan.

Sebulan lebih tinggal di Bali, Juniati melihat Pulau Dewata perlu meningkatkan infrastruktur jaringan Internet sampai ke desa-desa. "Agar working from Bali bisa benar-benar nyaman dengan homestay yang mempunyai fasilitas kerja memadai," ujar dia.

Juniati Gunawan melakukan rutinitas pekerjaannya di sebuah homestay di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali/Dok Pribadi

Sekitar 30 kilometer di utara tempat Juniati menginap, Dewi Suci Rahayu memutuskan tinggal sementara di Canggu, Kabupaten Badung, sejak September 2021. Berawal dari ajakan teman, jurnalis yang berkantor di Surabaya itu menjalani work from Bali seorang diri. Musababnya, kawan yang semula mengajaknya justru urung berangkat. Meski begitu, ia tetap menikmati suasana bekerja dari pulau seribu pura itu. “Teman yang ngajak terus menunda, akhirnya saya berangkat sendiri,” kata Dewi, 30 tahun.

Terletak sekitar 13 kilometer sebelah barat Kota Denpasar, Canggu adalah salah satu destinasi populer untuk work from Bali. Selama tinggal di sana, Dewi sudah dua kali berpindah tempat menginap. Awalnya ia menyewa penginapan seharga Rp 1,8 juta per bulan. Kemudian ia berpindah ke lokasi kedua berupa guest house berukuran 4 x 4 meter dengan tarif Rp 1,5 juta sebulan. Ia mendapat fasilitas cukup lengkap, seperti kulkas, pendingin ruangan, dan jasa kebersihan kamar dua kali sepekan.

Menurut Dewi, lokasi tempat tinggalnya yang sekarang lebih nyaman dari sebelumnya. Selain fasilitas yang lumayan lengkap, ia lebih gampang menuju pantai ataupun kafe untuk bekerja. Sedangkan penginapan sebelumnya terletak dekat jalan raya, sehingga suasananya kurang tenang untuk menulis berita. Saking nyamannya tempat menginapnya saat ini, beberapa pekan terakhir Dewi sudah jarang bekerja di kafe dan memilih sepenuhnya menggarap tugas dari kantor di guest house. “Karena ada balkon dan ruang keluarga,” ujarnya.

Kegiatan bekerja dari Bali marak sepanjang tahun lalu ketika banyak perusahaan masih membatasi karyawannya masuk kantor untuk mencegah penularan Covid-19. Kebijakan pemerintah menggalakkan work from Bali turut memantik para pegawai kantoran dan pekerja lepas dari Ibu Kota ataupun kota-kota lain, termasuk aparatur sipil negara, hijrah sementara ke Pulau Dewata. Dengan membayar harga sewa penginapan yang umumnya jauh lebih murah, mereka bisa bekerja jarak jauh seraya pelesiran untuk mengurangi penat setelah berbulan-bulan bekerja dari rumah.

Dewi Suci Rahayu bekerja dari guest house di kawasan Canggu, Kabupaten Badung, Bali, Sabtu, 8 Januari 2021/Dok Pribadi

Bagi Dewi, bekerja dari Bali tak ubahnya seperti yang dilakoninya saat masih tinggal di Surabaya. Namun suasana Pulau Dewata membuatnya merasa lebih nyaman. “Tidak terlalu macet dan bisa sering ke pantai,” katanya.

Selain itu, banyaknya pilihan tempat berwisata membuat Dewi makin betah tinggal di Bali. Selama empat bulan di sana, ia sudah bepergian ke Nusa Penida, Ubud, hingga melihat kebun anggur di Buleleng. Semua dilakukannya dengan biaya sendiri.

Dengan waktu kerja yang fleksibel, kantornya tidak mempermasalahkan Dewi bekerja dari Bali untuk waktu lumayan lama. Ia cukup mengatur waktu untuk menyunting dan mengunggah artikel. Dengan pagebluk yang belum diketahui kapan berakhir, Dewi masih akan bekerja dari Bali selama belum ada panggilan untuk kembali ngantor. “Tapi belum terpikir untuk tinggal jangka panjang,” ucapnya.

Berbeda dengan Juniati dan Dewi, Harir Hakim memilih pergi-pulang ke Bali sejak awal 2021. Sekali datang ia bisa menginap selama satu bulan, lalu kembali ke Jakarta beberapa hari. Harga sewa homestay yang miring membetot perhatian pria 36 tahun yang bekerja di bidang event organizer ini. Ia cukup membayar Rp 3 juta per bulan. Padahal harga sewa sebelum masa pandemi bisa mencapai Rp 9 juta. Selain lebih hemat, ia punya alasan lain bekerja dari Bali. “Di Bali itu ritmenya berbeda, ya. Lebih santai dibanding Jakarta,” ujarnya.

Selama di Ibu Kota, ia selalu terjebak kemacetan lalu lintas ketika pulang kerja. Berjam-jam berada di jalan membuatnya lelah. Di Bali, ia masih merasa segar meskipun bekerja dan harus pulang larut malam.

Pria asal Bandung ini sempat terjangkit Covid-19 varian Delta saat tinggal di Bali tahun lalu. Ia mesti menjalani karantina mandiri selama 14 hari dan dilanjutkan tinggal di homestay selama sebulan. Padahal saat itu ia seharusnya kembali ke Jakarta. Harir menduga kelalaian menerapkan protokol kesehatan sebagai penyebabnya. Menurut dia, turis di Bali cenderung tidak terlalu peduli akan protokol kesehatan ketimbang masyarakat lokal. “Lihat bule tidak pakai masker jadi ikut terbawa,” katanya.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Badung I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya mengatakan work from Bali telah menghidupkan kembali kawasan Canggu dan Ubud. Ratusan orang yang bekerja dari Bali membuat pariwisata di sana menggeliat. “Belum kembali pulih, tapi sudah ada perubahan,” tutur Agung Rai saat dihubungi pada Sabtu, 8 Januari lalu. Selain Canggu dan Ubud, destinasi favorit untuk bekerja dari Bali adalah Nusa Dua, Sanur, dan Uluwatu.

Kegiatan bekerja dari Bali masih didominasi oleh turis lokal karena pembatasan penerbangan antarnegara. Karena itu, Agung Rai meminta pemerintah pusat mempertimbangkan visa khusus bagi pelancong mancanegara jika penerbangan internasional ke Bali kembali normal. Perihal visa work from Bali ini, kata dia, bisa diberlakukan maksimal selama satu tahun. “Bisa ada biaya sekitar US$ 100 setiap bulan dari visa khusus tersebut,” ujarnya.

Menurut Yoga Segara, antropolog Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Denpasar, kebijakan work form Bali merupakan kepentingan pemerintah untuk menyelamatkan sektor pariwisata yang dimulai dari Bali. Ia juga menilai program tersebut sebagai politik pariwisata. “Pemerintah ingin menunjukkan pariwisata, khususnya di Bali, aman untuk dikunjungi dan ditinggali,” ucapnya.

Yoga Segara menambahkan, work from Bali merupakan propaganda seksi yang membawa imajinasi banyak orang tentang keindahan alam, keramahan warga, serta kekayaan adat dan budaya Bali. Romantisisme itulah yang menurutnya telah menguatkan gaung work from Bali.

MAHARDIKA SATRIA HADI, MADE ARGAWA (DENPASAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus