Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Vaginismus, Jangan Salahkan Perempuan

Gangguan pada organ seksual perempuan ini bisa menyebabkan dampak psikis bagi penderitanya. Jangan didiamkan dan segera cari pertolongan.

19 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Vaginismus merupakan gangguan fungsi seksual pada perempuan sehingga kesulitan saat penetrasi seksual.

  • Penderitanya sering disalahkan dan distigma, sehingga menyebabkan dampak psikologis.

  • Penyakit ini belum diketahui penyebabnya, tapi bisa disembuhkan.

"Tunggu saja. Entar tiga tahun pasti dicerai sama suami," ujar seorang perempuan, menirukan pernyataan kawannya dalam sebuah video pendek yang menjadi pengantar webinar mengenai vaginismus. Perempuan yang "digunjingkan" itu mengalami vaginismus, yakni gangguan fungsi organ seksual pada perempuan yang menyebabkan penderitanya tidak bisa bercinta secara normal. Otot-otot vaginanya kaku, sehingga kesulitan saat penetrasi seksual dan kesakitan ketika berhubungan intim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan lain dalam video itu mengaku sudah bertahun-tahun mengalami vaginismus dan merasa sangat menderita. Ada pula beberapa perempuan yang menyampaikan keluhan dan isi hati mereka sebagai sesama pasien vaginismus. Sebab, mereka menjadi orang yang tertuduh bersalah atas kondisi itu. Misalnya dituding kurang rileks, tidak mau melayani suami, hingga takut mempunyai anak. "Atau sakit. Ya, ditahan saja itu. Sudah kodratnya perempuan sakit."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fakta miris juga disampaikan ginekolog dari RSIA Limijati, Bandung, Robbi Asri Wicaksono, dalam webinar bertajuk "Vaginismus: Tetap Bersama atau Berpisah" yang diadakan tepat pada hari kesadaran tentang vaginismus, Rabu, 15 September 2021. Ia bercerita, beberapa hari lalu kedatangan pasien perempuan penderita vaginismus. Ekspresinya pasrah, frustrasi, tak berdaya, dan tak percaya diri. Ia baru menjalani pernikahan selama tiga bulan.

Perempuan tersebut didampingi suami dan ayahnya. "Tapi kedua laki-laki ini datang dengan tangan bersedekap seperti kesal, tak mau tahu, dan tidak peduli," ujar Robbi.

Ilustrasi Vaginismus. Shutterstock

Robbi menjelaskan, vaginismus merupakan penyakit fisik pada bagian organ reproduksi dan saluran kemih yang berupa kekakuan otot-otot dinding vagina. Dalam teori lama, menurut dia, disfungsi seksual perempuan dibagi dalam lima kategori. Namun kemudian dikelompokkan menjadi tiga, yakni gangguan minat dan rangsang,  gangguan orgasme, serta nyeri saat berhubungan seksual dan hambatan penetrasi. "Vaginismus termasuk dalam kelompok ketiga."

Data penderita kelompok pertama tidak diketahui. Adapun kelompok gangguan orgasme sekitar 42 persen dan kelompok vaginismus mencapai 15 persen. Sejauh ini penyebabnya belum diketahui secara ilmiah. Namun penyakitnya bisa dideteksi dengan menjalani Q tip test.

Robbi, yang sejak awal menangani masalah vagisnismus, mengungkapkan bahwa hampir semua pasiennya datang dengan kondisi psikis rusak berat dan selalu menangis. Situasi psikis ini diperparah oleh stigma dari orang-orang sekitarnya, terutama perempuan. Mengutip sebuah data, ia menuturkan para penderita vaginismus lebih banyak disalahkan. Padahal, "Ini bukan salah perempuan." Jadi, menurut dia, jangan menyalahkan dan memberikan stigma buruk kepada pasien vaginismus.

Sebanyak 93 persen pasien mendapat respons buruk, seperti ditertawakan, dihakimi, dianggap berbohong, dan diperiksa medis secara paksa. "Dituduh tidak mau (berhubungan seksual), padahal memang tidak bisa bisa," ujar Robbi. Ia juga menjelaskan bahwa respons pasien pada awalnya normal dan rileks, tapi kemudian gagal saat penetrasi seksual.

Vaginismus membuat penderitanya sangat tidak berdaya, tidak menghargai diri sendiri, dan bisa sangat frustrasi. Mereka mengalami gangguan psikologis, seperti cemas, depresi, relasi buruk, dan gangguan keharmonisan dengan pasangan. "Penyakit ini tidak merenggut nyawa, tapi seluruh kehidupannya terenggut," tutur Robbi. Ia juga menegaskan bahwa vaginismus tidak terkait dengan pikiran atau regulasi pikiran.

Robbi mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, jumlah kasus vaginismus naik berkali-kali lipat. Kasus terlama yang dialami pasien vaginismus adalah 28 tahun, sementara yang tercepat tiga minggu. Mengutip sebuah data, ia menuturkan bahwa 7-17 persen perempuan di dunia diprediksi berisiko mengalami vaginismus. Sebanyak 88 persen di antaranya menderita vaginismus level 4 alias cukup parah. Vaginismus memiliki lima tingkat keparahan, level 1 paling ringan dan level 5 paling parah.

Vaginismus bisa disembuhkan. Robbi menyarankan pasien menjalani pengobatan organ reproduksi, terutama pada bagian otot vagina. Penyembuhan bisa dilakukan dengan banyak terapi. Adapun terapi penyembuhan yang dilakukan Robbi adalah metode dilatasi, yakni peregangan otot vagina yang mengalami kekakuan dengan bantuan alat. Metode atau terapi dilatasi ini menunjukkan angka kesembuhan yang cukup tinggi.

Robbi juga mendorong perempuan tidak menyiksa diri lebih lama jika mengalami vaginismus. Penderita penyakit ini harus bisa membicarakan kondisinya dengan pasangan. "Para pasien bisa mandiri, berkarya, dan berpisah dari semua keburukan."

DIAN YULIASTUTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus