Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hobi cerutu tak lagi eksklusif milik kalangan senior, banyak anak-anak muda yang juga menggemarinya.
Sejumlah anak muda juga mengoleksi ratusan hingga ribuan batang cerutu dari berbagai negara.
Hobi cerutu menjadi jembatan relasi banyak anak muda dengan tokoh publik dan rekan bisnis.
JUAN Aprilliano Chandra, 26 tahun, mengambil sebatang cerutu berbentuk torpedo dari travel humidor—penyimpanan portabel yang dapat menjaga suhu dan kelembapan produk sigaret—pribadinya saat bersantai di Castro Lounge and Cigar Bar, JHL Solitaire, Gading Serpong, Tangerang, Banten. Dia kemudian memotong salah satu ujungnya dengan cigar cutter dan menyalakannya dengan korek khusus berjenis torch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada bagian cincin label, cerutu tersebut tercatat sebagai produk murni atau puro asal Nikaragua, Amerika Tengah. Sigar dengan panjang 4,75 inci tersebut memiliki jenama Joya Antano Gran Reserva Gran Consul. Ini salah satu produk lintingan tangan atau handmade dengan karakter kuat karena menggunakan daun tembakau yang telah melalui proses penuaan lebih dari dua tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sekarang sudah banyak lounge atau kafe untuk sigar. Peminat, komunitas, dan pasarnya memang sudah sangat berkembang," kata Juan, co-founder Plastic for Nature atau Plana, kepada Tempo, Selasa, 30 Agustus lalu.
Juan mengatakan minatnya terhadap cerutu muncul secara kebetulan. Dia besar dalam keluarga dan lingkungan yang jauh dari budaya konsumsi sigar. Dia baru berkenalan dengan salah satu produk olahan daun tembakau tersebut saat berlibur di Singapura, tiga tahun lalu.
Saat itu Juan mengunjungi sebuah toko duty free untuk membeli minuman beralkohol cognac. Dia penasaran pada sebuah ruangan di salah satu sudut toko. Di dalamnya terdapat ratusan boks produk cerutu dari berbagai negara. Dia pun mulai tertarik ingin mengetahui, mempelajari, dan mencoba produk yang dijajakan secara eksklusif tersebut.
Lulusan Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta, itu memulai pengalamannya dengan mencari dan membeli berbagai produk cerutu buatan Kuba dan New World—negara-negara produsen sigar selain Kuba, termasuk Indonesia—secara satuan. Dengan dana terbatas, dia memilih mencoba banyak merek dan tipe hingga menemukan produk yang sesuai dengan selera. Saat itu, Juan menambahkan, dia sempat mencoba lebih dari 100 cerutu berbeda dengan harga ratusan ribu per batang.
Koleksi cerutu milik Juan Aprilliano Chandra di Tangerang Selatan, Banten, 30 Agustus 2022/TEMPO/M Taufan Rengganis
Menurut Juan, cerutu lokal memiliki karakter yang sangat ringan dan lembut dengan harga termurah Rp 50 ribu per batang. Produk cerutu Kuba memiliki kualitas tinggi dengan cita rasa nutty, woody, grassy, dan fruity. Harga terendahnya sekitar Rp 300 ribu per batang. Sedangkan sigar New World di luar Indonesia memiliki tekstur pekat, kuat, dan banyak cita rasa cokelat. Harga entry level-nya berkisar Rp 100-300 ribu per batang.
Cerutu, Juan menambahkan, adalah bentuk penghargaan diri atas kerja keras dalam pekerjaan sepanjang hari. Berbeda dengan rokok, durasi konsumsi satu batang cerutu berkisar satu-dua jam. Hal ini yang membuat pehobi cerutu memang menyediakan waktu khusus untuk menjalani minat tersebut.
"Saya harus memastikan ada waktu kosong dua jam. Jangan ada yang mencari, menelepon, atau mengganggu. Sigar ketika dibakar kan harus habis," ucap pemilik koleksi ratusan batang cerutu ini.
Selain menikmati rasanya, Juan tak menampik jika hobi barunya ini disebut memberikan pengaruh pada perkembangan relasi bisnis dan sosial. Menurut dia, banyak penikmat cerutu memiliki profil dan latar belakang finansial serta pengaruh besar di masyarakat.
Juan mengaku bisa berkenalan dengan banyak tokoh publik, padahal ia masih berusia muda dan minim pengalaman. Dia pun bukan satu-satunya orang muda dari generasi milenial atau generasi Z yang menyukai cerutu.
"Kan, kalau dipikir, saya itu bukan siapa-siapa. Tapi ini menariknya. Cerutu itu gaya hidup. Mereka yang penting (menikmati) sigar bareng saja. Tak peduli itu siapa," ujar Juan.
Senada, Aldy Kusuma, 43 tahun, mengatakan hobi menikmati cerutu bukanlah kegiatan adiktif atau menimbulkan ketergantungan. Hobi ini adalah salah satu pilihan gaya hidup yang kemudian membangun jembatan relasi yang kuat antarpehobi. Menurut Aldy, banyak pembicaraan kerja sama bisa lebih cair saat mereka menikmati cerutu bersama. Pembicaraan tentang jenis cerutu yang dikonsumsi pun kerap menyetarakan posisi para pehobi yang berasal dari berbagai kalangan dalam komunikasi.
"Biasanya akan dimulai dengan pertanyaan suka sigar apa? Setiap sigar kan pasti punya cerita dari asal, bentuk, karakter, cita rasa, aroma, hingga pairing yang cocok," kata Direktur PT Tembakau International—distributor resmi semua cerutu asal Kuba—tersebut.
Aldy pun tak berasal dari keluarga yang biasa mengkonsumsi produk tembakau. Dia mengenal cerutu dari pergaulan dengan sejumlah rekannya pada 2007. Tapi dia baru mulai menge-puff sebatang cerutu saat mencoba Montecristo No. 2—salah satu produk unggulan Kuba—setahun kemudian. Dia menemukan rasa nikmat karena menyandingkan cerutu beraroma kopi dan cokelat tersebut dengan wiski.
Aldy menjelaskan, ia tak sekadar menjadi penikmat dan pehobi cerutu. Pengalamannya tersebut mendorong dia mulai berjualan produk sigar dari Kuba dalam skala kecil. Dia pun membangun sebuah perusahaan distributor yang kemudian berhasil bekerja sama dengan perusahaan distributor cerutu ke luar negeri milik pemerintah Kuba, Habanos. Saat ini dia bahkan sudah mengantongi 27 merek cerutu racikan tangan dari negeri asal Fidel Castro tersebut.
"Saya juga mengambil program sertifikasi keahlian cerutu asal Kuba langsung di sana," kata penyandang gelar Senior Cigar Trainer Habanos tersebut.
Selain memiliki cerutu sebagai barang dagangan, Aldy punya ribuan cerutu pribadi yang berasal dari sejumlah merek, tipe, dan tahun produksi. Di antaranya brand wahid Kuba, seperti Cohiba, Montecristo, Partagas, dan Romeo Y Julieta. Semua koleksinya ini disimpan di sebuah humidor berbentuk kabinet elektrik yang mampu mengatur tingkat kelembapan dan suhu ruangan.
Menurut Aldy, tanpa proses penyimpanan yang tepat, sigar akan berubah warna, aroma, dan rasa. Bahkan tak jarang jamur tumbuh pada badan cerutu yang terbuat dari gulungan daun tua tersebut.
Meski menggemari cerutu Kuba, dia tetap menyimpan cerutu produksi New World. Sebagian besar berasal dari pergaulan dengan sesama pehobi sigar. Salah satu kebiasaannya adalah bertukar koleksi atau stok cerutu. Dengan begitu, dia menambahkan, setiap cerutu tersebut memiliki cerita atau sejarah masing-masing.
"Hobi sigar itu mencari experience. Setiap batang cerutu pairing dengan minuman atau makanan tertentu akan memunculkan sensasi berbeda. Hal ini yang kami cari," tutur Aldy.
Penikmat Cerutu, Juan Aprilliano Chandra dengan koleksi cerutu miliknya di kawasan Gading Serpong, Tangerang, Banten, 30 Agustus 2022/TEMPO/M Taufan Rengganis
Aldy mengatakan rata-rata koleksinya dibeli dengan harga maksimal sekitar Rp 1 juta per batang. Namun beberapa cerutunya kini memiliki harga yang lebih tinggi karena terbatas dan banyak diminati. Di antaranya Cohiba edisi spesial 55 tahun yang kini dicari dengan harga Rp 5 juta per batang. Selain itu, Ramones Alones Silver Jubilee 2017—limited edition dengan produksi 2.000 boks—yang harga awalnya hanya sekitar Rp 1 juta tapi kini bisa dihargai pemegangnya sesuka hati.
"Cerutu itu seperti wine, harganya bisa tinggi kalau banyak yang mencari. Bisa karena produksi khusus dan terbatas atau berumur tua atau vintage (di atas 10 tahun)," dia menerangkan.
Aldy mengaku tak memiliki ritual atau agenda khusus untuk menikmati cerutu. Meski demikian, dia biasanya membakar sigar Montecristo saat bermain golf bersama teman-temannya pada pagi. Dia juga bisa menikmati cerutu dengan karakter ringan saat menemui klien atau teman pada siang. Sedangkan pada malam, sebelum beristirahat, dia akan menikmati cerutu dengan karakter kuat seperti Cohiba.
"Bagi tubuh saya, cerutu memberikan efek rileks. Jadi jangan yang kuat pada siang hari," kata penyuka tipe Montecristo Edmundo ini.
Komunitas pehobi cerutu pun mulai berkembang. Aldy bercerita, jumlah pehobi yang datang ke sebuah acara pertemuan sigaret kurang dari 10 orang pada 2007-2008. Saat ini sebuah acara kumpul-kumpul penikmat cerutu bisa dihadiri 80-100 orang. Pehobi yang hadir juga mulai bervariasi, tak lagi didominasi pebisnis dan tokoh tua. Sebagian besar berasal dari generasi milenial, bahkan di antaranya masih berusia 20-an tahun.
Hobi cerutu yang bernuansa maskulin pun mulai digemari kelompok perempuan. Beberapa dari mereka justru menggemari produk sigar yang memiliki karakter kuat. Mereka juga tak lagi enggan berada di dalam ruangan yang penuh dengan asap tembakau.
Aldy mengklaim hobi cerutu tak menyebabkan kecanduan. Dia bisa tak mengkonsumsi sigar dalam waktu lama jika memang tak ada waktu dan kondisi yang sesuai. Meski demikian, dia menilai konsumsi cerutu tetap memiliki dampak pada kesehatan tubuh, terutama dalam intensitas yang berlebihan.
Lily Po, 42 tahun, pun tak menafikan adanya risiko dari gaya hidup yang dijalaninya mulai awal 2019 tersebut. Tapi dia bukan pehobi yang pasti membakar satu batang cerutu setiap hari. Dia juga bukan perokok aktif. Dalam kegiatan harian, perempuan kelahiran Surabaya ini mengaku selalu menghindari paparan asap atau menjadi perokok pasif.
"Saya tidak punya waktu khusus untuk mengisap cerutu. Tidak mencari-cari waktu juga," ucap penyuka produk cerutu Cohiba tersebut.
Lily mulai mengenal cerutu saat merintis sebuah perusahaan distributor sigar Kuba pada 2008. Meski demikian, dia belum memiliki minat untuk mencoba sendiri barang dagangannya tersebut. Dia menutupi kelemahannya tersebut dengan belajar dan mencari informasi melalui Internet, para pehobi, dan dokumen produk dari produsen. "Kadang memang kesulitan kalau ditanyai ini rasa atau aromanya apa," ujarnya.
Minatnya mencoba cerutu muncul saat dia berkumpul dengan sejumlah pehobi cerutu profesional asal Prancis pada akhir 2018. Dalam pertemuan tersebut, beberapa rekannya mengusulkan Lily mencoba sigar sebagai capaian atau resolusi pada tahun baru. Dia menerima usul tersebut.
Namun Lily lupa detail merek dan tipe sigar yang ia coba dalam kesempatan tersebut. Dia hanya memastikan cerutu tersebut berasal dari Habanos karena komunitas pehobi tersebut penggemar produk Kuba.
"Pas coba ternyata enak juga cerutu itu. Tentu saja saya tak langsung sanggup habis satu batang. Hanya beberapa kali puh, lalu berhenti," tutur Lily.
Hingga kini Lily tak rutin mengkonsumsi cerutu. Dia hanya membakar batang cerutu jika berada di tengah komunitas pehobi, bertemu dengan klien, dan dalam sosialisasi. Dia juga tak memiliki produk favorit yang spesifik. Namun dia merasa cocok dengan cita rasa dua brand, yaitu Cohiba dan Trinidad.
Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey 2021, Kementerian Kesehatan mencatat penurunan angka prevalensi merokok di Indonesia dari 1,8 persen menjadi 1,6 persen. Meski demikian, jumlah perokok justru meningkat hingga 8,8 juta menjadi 69,1 juta orang dalam satu dekade terakhir. Pengeluaran untuk membeli rokok rata-rata per bulan sebesar Rp 382 ribu.
Lily Po. Dok. Pribadi.
Faktor pemicunya adalah peningkatan jumlah iklan rokok di media sosial dan penggunaan rokok elektrik yang angkanya melonjak hingga 10 kali lipat pada periode yang sama. Di sisi lain, dampak penambahan label peringatan bahaya merokok dan produk tembakau lain tak signifikan, yaitu 0,4 persen atau dari 77,2 persen menjadi 77,6 persen.
Dokter spesialis paru-paru, Komisaris Besar Polisi (Purnawirawan) Yahya, menilai semua produk tembakau mengandung risiko sejumlah penyakit. Dia mencatat, pengguna cerutu justru harus lebih berhati-hati dan bijaksana karena kandungan nikotin dalam setiap batangnya bisa mencapai 100-200 miligram. Potensi masuknya asap ke tubuh dan organ tetap tinggi meski teknik mengisap sigar hanya menge-puff.
"Bukan hanya perokok atau penikmat cerutu, tapi juga mereka yang berada di sekitar atau dalam posisi pasif," kata mantan Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Raden Said Sukanto, Jakarta, tersebut.
Yahya menilai hobi menikmati cerutu adalah gaya hidup yang hanya dipraktikkan sekelompok orang atau bersifat elite dan eksklusif. Data pengguna cerutu yang terkena penyakit serius masih minim karena jumlahnya terbatas dibanding pengguna rokok kretek atau filter. Meski demikian, menurut Yahya, secara umum rentang usia penderita kanker organ pernapasan dan mulut sudah bergeser dari di atas 50-an tahun menjadi sekitar 35 tahun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo