Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bandul Si Bernhard Dipukul Dokter

Pastor bernhard yang melakukan pengobatan dengan bandul (di klinik santo mihael, sibolga) mendapat serangan dari dokter-dokter di sibolga, karena disamping menggunakan bandul ia juga menulis resep. (ksh)

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERNHARD Gotte, 41, menghampiri si pasien. Ia mengeluarkan 2 buah tongkat yang terbuat dari kuningan. Panjangnya 40 cm. Bagaikan seorang dirijen sebuah orkestra dia mengayun-ayunkan tongkat itu dekat tubuh si pasien. Lantas ia komat-kamit menyebutkan nama berbagai macam obat-obatan yang kemudian dicatat oleh pembantu yang berdiri di dekatnya. Catatan obat-obatan itu kemudian diperlakukan sebagai resep yang ditukarkan di apotik yang terletak di sebelah. Di luar ruangan praktek Bernhard Gotte yang bermata biru itu masih menunggu 100, 200 atau terkadang 300 pasien. Tidak semuanya mereka penduduk Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Sumatera Utara. Banyak yang datang dari kota-kota kecil Tapanuli Utara, Tengah maupun Selatan. Terkadang malahan dari Medan dan Tanjung Balai yang terletak di pantai timur, menempuh jarak 500 km, berombongan menggunakan bis. Tak jarang 5 sampai 6 bis kelihatan parkir di depan ruangan praktek di Jalan Ade Irma Suryani di Kota Sibolga itu. Bernhard Gotte yang berjanggut pirang ini sekarang menjadi buah bibir di Sumatera Utara, terutama di Sibolga. Semula ia hanya praktek akupunktur tahun 1976. Pasiennya satu-dua orang. Maklum sebagai seorang rohaniawan yang datang dari Jerman, ia memang tidak bertujuan mengumpulkan kekayaan dari praktek itu. Pekerjaan utamanya mengabdi gereja. Di samping itu ia duduk sebagai tenaga ahli pada Lembaga Pendidikan Teknik Katolik Santo Yusuf Mela, 5 km di luar Sibolga. Sore hari ia meluang waktu untuk menolong orang sakit. Diberondong Belakangan ini pasiennya memang penuh. Maka dinas kesehatan setempat ketika menganjurkan sang pastor untuk mengajukan permohonan izin mendirikan klinik kepada gubernur Sumatera Utara, menjatuhkan syarat praktek hanya sore hari. "Agar tidak menyaingi rumah sakit umum maupun puskesmas milik pemerintah," ucap Sianipar dari Dinas Kesehatan Sibolga kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Tanggal 15 Mei 1980 tempat praktek Bernhard Gotte diresmikan menjadi Klinik Santo Mikael, berada di bawah Yayasan Katolik Sibolga. Konon ramainya pasien yang datang ke situ bukan semata-mata karena akupunktur. Tapi berkat 2 tongkat kuningan yang dipergunakan si pastor sebagai alat diagnosa. Berbagi kecaman dari kalangan dokter pun terlontar. Ada yang mencap praktek Bernhard tak dapat dipertanggungjawabkan. Ada pula yang mengungkit kedudukan Bernhard sebagai tenaga medis di klinik itu melanggar peraturan keimigrasian dan bertentangan dengan SK Menteri Agama tentang bantuan asing atas lembaga keagamaan. Para dokter memusatkan kecamannya terhadap resep yang dibuat oleh Bernhard. Di antara mereka ada pula yang mengeluh telah menerima pasien bekas dari si pastor yang penyakitnya bersumber pada efek samping dari obat yang terlalu banyak diberikan Bernhard. "Coba pikir masak untuk penderita maag diberondong 8 sampai 10 jenis obat. Termasuk obat TBC dan penyakit jantung untuk kebutuhan selama seminggu," keluh seorang dokter yang beken di Kota Sibolga tapi tak berkenan disebut namanya. Kalau Bernhard memang benar menuliskan resep untuk obat yang hanya boleh diberikan berdasarkan tandatangan dokter, kedudukannya memang agak sulit. Sebab dokter pengawas di Klinik Santo Mikael itu, dr. Sukiastowo Isman tidak mengaku pemah membuat resep. "Bila hal itu masih berlangsung jelas pelanggaran," katanya tegas. Ia berjanji akan menarik diri dari klinik itu kalau masih saja terjadi pelanggaran dalam bentuk penulisan resep. Bernhard sendiri tak mau memberi keterangan kecuali sorotan mata yang tajam. "Tak perlu. Wartawan tanggapannya bisa macam-macam, " cuma itu jawabnya. Tentang khasiatnya? Ya, biasa. Ada yang mengatakan menolong ada pula yang tidak. "Saya pernah dikatakan bruder itu punya paru-paru kotor. Tapi setelah saya ronsen di rumah sakit ternyata normal saja," kata seorang pasien asal Sibolga. Tapi M.T.R. Silaban yang terserang sendi seperti mau copot dan badan panas sebelah, merasa lebih enteng seminggu setelah berobat. Tak jelas apakah pastor di Sibolga itu murid atau teman sealiran Romo H. Loogman Msc. yang juga menjalankan praktek di Purworejo, Jawa Tengah. Loogman sudah lama dikenal menggunakan bandul untuk diagnosa penyakit. Ia juga pernah meramalkan tempat jatuhnya pesawat Twin Otter di Tinombala beberapa tahun yang lalu, sekalipun tempat kecelakaan yang ditunjuknya kurang tepat. Loogman yang juga menghindari publikasi pers menurut asistennya terkadang juga menggunakan obat-obat resep. Tapi resep itu ia tuliskan di atas blanko resep dokter yang sudah menjadi asistennya di Yogyakarta ataupun Wates. Ia juga memiliki beberapa orang dokter di Jakarta yang menjadi asistennya. Mendeteksi dengan bandul yang dibuat dari berbagai bahan, seperti peluru yang diikat benang, cincin, kancing, kristal ataupun gabus bukanlah hal baru. "llmu ini sudah dikenal 2000 tahun sebelum Masehi. Semua orang bisa mempelajarinya. Tapi seperti halnya musik, yang bisa menguasai dan mengembangkan diri adalah yang berbakat," urai dr. Nyonya Dien Tan, ahli gizi yang menjadi murid Loogman sejak 1978. Anggota tubuh yang sakit, menurut Dien Tan, akan mengirimkan sinyal-sinyal yang mampu menggerakkan bandul untuk menunjuk sasaran di diagram. Katakanlah yang ditunjuk bandul bagian perut. Berarti si pasien menderita sakit perut. Untuk mengetahui penyakit perut apa, bandul masih bisa ditanya apakah sakit perut karena amuba misalnya jawabannya bisa diatur, umpamanya kalau "ya" bandul akan berputar ke kiri dan "tidak" berputar ke kanan. Begitulah caranya sesuatu penyakit didiagnosa. Ilmu kedokteran modern sebagaimana yang jadi dasar serangan para dokter di Sibolga itu memang tidak mencakup metode ini. Tapi dalam sebuah simposium obat tradisioanl 2 tahun lalu di Jakarta metode bandul ini ikut dibicarakan. Dan tak dilarang selama tidak menggunakan peralatan kedokteran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus