Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERNHARD Gotte, 41, menghampiri si pasien. Ia mengeluarkan 2
buah tongkat yang terbuat dari kuningan. Panjangnya 40 cm.
Bagaikan seorang dirijen sebuah orkestra dia mengayun-ayunkan
tongkat itu dekat tubuh si pasien. Lantas ia komat-kamit
menyebutkan nama berbagai macam obat-obatan yang kemudian
dicatat oleh pembantu yang berdiri di dekatnya. Catatan
obat-obatan itu kemudian diperlakukan sebagai resep yang
ditukarkan di apotik yang terletak di sebelah.
Di luar ruangan praktek Bernhard Gotte yang bermata biru itu
masih menunggu 100, 200 atau terkadang 300 pasien. Tidak
semuanya mereka penduduk Kota Sibolga yang terletak di pantai
barat Sumatera Utara. Banyak yang datang dari kota-kota kecil
Tapanuli Utara, Tengah maupun Selatan. Terkadang malahan dari
Medan dan Tanjung Balai yang terletak di pantai timur, menempuh
jarak 500 km, berombongan menggunakan bis. Tak jarang 5 sampai 6
bis kelihatan parkir di depan ruangan praktek di Jalan Ade Irma
Suryani di Kota Sibolga itu.
Bernhard Gotte yang berjanggut pirang ini sekarang menjadi buah
bibir di Sumatera Utara, terutama di Sibolga. Semula ia hanya
praktek akupunktur tahun 1976. Pasiennya satu-dua orang. Maklum
sebagai seorang rohaniawan yang datang dari Jerman, ia memang
tidak bertujuan mengumpulkan kekayaan dari praktek itu.
Pekerjaan utamanya mengabdi gereja. Di samping itu ia duduk
sebagai tenaga ahli pada Lembaga Pendidikan Teknik Katolik Santo
Yusuf Mela, 5 km di luar Sibolga. Sore hari ia meluang waktu
untuk menolong orang sakit.
Diberondong
Belakangan ini pasiennya memang penuh. Maka dinas kesehatan
setempat ketika menganjurkan sang pastor untuk mengajukan
permohonan izin mendirikan klinik kepada gubernur Sumatera
Utara, menjatuhkan syarat praktek hanya sore hari. "Agar tidak
menyaingi rumah sakit umum maupun puskesmas milik pemerintah,"
ucap Sianipar dari Dinas Kesehatan Sibolga kepada Bersihar Lubis
dari TEMPO.
Tanggal 15 Mei 1980 tempat praktek Bernhard Gotte diresmikan
menjadi Klinik Santo Mikael, berada di bawah Yayasan Katolik
Sibolga. Konon ramainya pasien yang datang ke situ bukan
semata-mata karena akupunktur. Tapi berkat 2 tongkat kuningan
yang dipergunakan si pastor sebagai alat diagnosa.
Berbagi kecaman dari kalangan dokter pun terlontar. Ada yang
mencap praktek Bernhard tak dapat dipertanggungjawabkan. Ada
pula yang mengungkit kedudukan Bernhard sebagai tenaga medis di
klinik itu melanggar peraturan keimigrasian dan bertentangan
dengan SK Menteri Agama tentang bantuan asing atas lembaga
keagamaan. Para dokter memusatkan kecamannya terhadap resep yang
dibuat oleh Bernhard.
Di antara mereka ada pula yang mengeluh telah menerima pasien
bekas dari si pastor yang penyakitnya bersumber pada efek
samping dari obat yang terlalu banyak diberikan Bernhard. "Coba
pikir masak untuk penderita maag diberondong 8 sampai 10 jenis
obat. Termasuk obat TBC dan penyakit jantung untuk kebutuhan
selama seminggu," keluh seorang dokter yang beken di Kota
Sibolga tapi tak berkenan disebut namanya.
Kalau Bernhard memang benar menuliskan resep untuk obat yang
hanya boleh diberikan berdasarkan tandatangan dokter,
kedudukannya memang agak sulit. Sebab dokter pengawas di Klinik
Santo Mikael itu, dr. Sukiastowo Isman tidak mengaku pemah
membuat resep. "Bila hal itu masih berlangsung jelas
pelanggaran," katanya tegas. Ia berjanji akan menarik diri dari
klinik itu kalau masih saja terjadi pelanggaran dalam bentuk
penulisan resep. Bernhard sendiri tak mau memberi keterangan
kecuali sorotan mata yang tajam. "Tak perlu. Wartawan
tanggapannya bisa macam-macam, " cuma itu jawabnya.
Tentang khasiatnya? Ya, biasa. Ada yang mengatakan menolong ada
pula yang tidak. "Saya pernah dikatakan bruder itu punya
paru-paru kotor. Tapi setelah saya ronsen di rumah sakit
ternyata normal saja," kata seorang pasien asal Sibolga. Tapi
M.T.R. Silaban yang terserang sendi seperti mau copot dan badan
panas sebelah, merasa lebih enteng seminggu setelah berobat.
Tak jelas apakah pastor di Sibolga itu murid atau teman sealiran
Romo H. Loogman Msc. yang juga menjalankan praktek di Purworejo,
Jawa Tengah. Loogman sudah lama dikenal menggunakan bandul untuk
diagnosa penyakit. Ia juga pernah meramalkan tempat jatuhnya
pesawat Twin Otter di Tinombala beberapa tahun yang lalu,
sekalipun tempat kecelakaan yang ditunjuknya kurang tepat.
Loogman yang juga menghindari publikasi pers menurut asistennya
terkadang juga menggunakan obat-obat resep. Tapi resep itu ia
tuliskan di atas blanko resep dokter yang sudah menjadi
asistennya di Yogyakarta ataupun Wates. Ia juga memiliki
beberapa orang dokter di Jakarta yang menjadi asistennya.
Mendeteksi dengan bandul yang dibuat dari berbagai bahan,
seperti peluru yang diikat benang, cincin, kancing, kristal
ataupun gabus bukanlah hal baru. "llmu ini sudah dikenal 2000
tahun sebelum Masehi. Semua orang bisa mempelajarinya. Tapi
seperti halnya musik, yang bisa menguasai dan mengembangkan diri
adalah yang berbakat," urai dr. Nyonya Dien Tan, ahli gizi yang
menjadi murid Loogman sejak 1978.
Anggota tubuh yang sakit, menurut Dien Tan, akan mengirimkan
sinyal-sinyal yang mampu menggerakkan bandul untuk menunjuk
sasaran di diagram. Katakanlah yang ditunjuk bandul bagian
perut. Berarti si pasien menderita sakit perut.
Untuk mengetahui penyakit perut apa, bandul masih bisa ditanya
apakah sakit perut karena amuba misalnya jawabannya bisa diatur,
umpamanya kalau "ya" bandul akan berputar ke kiri dan "tidak"
berputar ke kanan. Begitulah caranya sesuatu penyakit
didiagnosa.
Ilmu kedokteran modern sebagaimana yang jadi dasar serangan para
dokter di Sibolga itu memang tidak mencakup metode ini. Tapi
dalam sebuah simposium obat tradisioanl 2 tahun lalu di Jakarta
metode bandul ini ikut dibicarakan. Dan tak dilarang selama
tidak menggunakan peralatan kedokteran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo