Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyakit kusta benar-benar tak lekang oleh zaman. Penyakit yang juga disebut Morbus Hansen atau lepra ini turut mewarnai sejarah, sejak masa kenabian hingga ketika orang sejagat terkoneksi dengan Facebook dan Twitter. Penderitanya tetap bertebaran di tempat-tempat yang didera kemiskinan.
Salah satunya Kecamatan Simpenan. Kamis dua pekan lalu, 38 orang penyandang kusta di daerah yang terletak di Sukabumi, Jawa Barat, itu berunjuk rasa di kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Sukabumi. Mereka, yang saat itu didampingi Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, mengeluhkan kurangnya penanganan medis bagi mereka selama lima tahun terakhir.
Kusta masih merebak. Pada 2005, penderita kusta per kecamatan di Sukabumi 25 orang, sedangkan tahun ini mencapai 36 orang. Dan 19 dari 47 kecamatan di Sukabumi masih dinyatakan sebagai daerah endemi kusta. ”Yang mengkhawatirkan, 30 persen penderitanya anak-anak,” kata Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus.
Penularan pada anak-anak inilah masalahnya. Sebab, kusta adalah penyakit yang sulit menular, dan masa perkembangan penyakitnya lama. Bila masih anak-anak sudah terkena kusta, artinya penanganan kesehatannya buruk. Anak-anak itu kemungkinan besar tertular oleh penderita yang belum tertangani optimal. ”Diduga pula, masa inkubasi bakterinya lebih cepat,” kata Program Officer Yayasan Transformasi Lepra Indonesia Krisman Pandiangan.
”Dalam lima tahun terakhir ini merebak, padahal dulu jarang,” kata Krisman. Dari temuan umum Yayasan Transformasi, penularan kusta pada anak-anak ini dijumpai juga di daerah lain, seperti Subang dan Bekasi, juga di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan daerah sepanjang pantai utara Jawa.
Laporan Badan Kesehatan Dunia tahun 2008 menunjukkan kasus kusta di Indonesia meningkat dari 12 ribu kasus baru (2002) menjadi 17 ribu kasus baru (2007). Artinya, dua sampai tiga orang setiap jam atau 40-80 orang setiap harinya tertular kusta. Jumlah penderita lepra di Indonesia lebih tinggi dari Cina, yang penduduknya lebih banyak. Bahkan dibanding negara miskin seperti Nigeria dan Ethiopia, Indonesia masih ”unggul”. Negara ini menduduki peringkat ketiga jumlah penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil.
Kecenderungan penyebaran kusta membuat heran A.B. Susanto, duta The Leprosy Mission International—organisasi nirlaba 50 negara yang aktif mencegah dan menanggulangi kusta—untuk Indonesia. Sebab, sebaran penyakit ini sekarang justru banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sebelumnya, kusta lebih banyak bersarang di Indonesia timur. ”Mungkin pembawa bakterinya tidak diobati dengan benar atau justru tak terdiagnosis,” katanya.
Kusta ditimbulkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, yang menyerang kulit dan saraf tepi (primer). Serangan menyebar kecuali ke susunan saraf otak dan sumsum tulang belakang. Jika tidak segera diobati, infeksi akan menjadi kronis, dan dapat menimbulkan bebal dan kelumpuhan otot pada daerah kaki, tangan, dan muka. Bila makin parah, bisa berlanjut hingga timbul luka, kaku sendi jari, bahkan hilangnya bagian-bagian kaki, tangan, serta muncul kebutaan.
Penampakan fisik yang buruk akibat kusta itulah yang memicu persepsi negatif masyarakat. Sang penderita dianggap pembawa aib, menjijikkan, terkutuk. Bahkan hingga di zaman modern ini penderita pun tetap merasa terkucil. ”Rasanya aku tak mau sekolah dan ke mana-mana minder,” kata Kristo, 27 tahun, penduduk Tarakan, Kalimantan Timur, seperti diungkap dalam testimoni di Yayasan Transformasi Lepra Indonesia. Ini yang membuat munculnya kampung khusus penderita kusta di berbagai daerah.
Padahal, dibanding AIDS atau tuberkulosis, kusta tergolong penyakit yang penularannya terbilang sulit. Dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pernah membuat pengamatan tentang kasus dua penderita kusta yang tinggal dalam satu rumah. Mereka memiliki genom kusta yang berbeda. Ini membuktikan tipe kusta yang menyerang individu tidak selalu sama. Studi lebih lanjut membuktikan 90 persen orang kebal dari kusta.
Penularan juga tak terjadi bila bersentuhan dengan luka atau cacat penderita. Secara umum penularan terjadi melalui udara atau saluran pernapasan. Bentuk penularannya juga belum diketahui secara pasti karena bakteri penyebab kusta memiliki masa inkubasi 2 hingga 15 tahun. Setelah pengobatan 2 x 24 jam pun penderita tidak akan menularkan penyakitnya.
Yang jelas, penularan ini erat kaitannya dengan kekebalan tubuh. Semakin baik kondisi imunitas, bakteri pun tak bisa masuk. Maka orang yang rentan kusta adalah yang tinggal di lingkungan buruk, sehingga mengakibatkan daya tahan tubuh lemah. Kusta pun identik dengan gizi buruk dan kemiskinan.
J.P. Handoko Soewono, dokter sekaligus Direktur Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang, mencontohkan, setelah ekonomi Eropa Timur membaik, penderita kusta menghilang. ”Kalau rata-rata pendapatan kita di atas standar, kusta hilang sendiri,” katanya. Di Indonesia, menurut Handoko, peningkatan kusta tak lepas dari imbas krisis sepuluh tahun silam. Anak-anak miskin yang lahir pada masa krisis memiliki ketahanan tubuh yang lebih buruk, sehingga rentan tertular penyakit apa pun.
Untuk melawan kusta, pemerintah antara lain menggelar program pembagian obat. Targetnya, Indonesia bebas kusta tahun depan, walau tidak bisa benar-benar bebas. Paling tidak, kasus kusta ditekan hingga di bawah angka satu per 10 ribu penduduk. Bila target ini tercapai, bisa untuk kado Hari Kusta Internasional, yang jatuh pada 25 Januari.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo