Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gundah hati melanda Marshela, perempuan berusia 33 tahun yang berdomisili di Yogyakarta. Tiga bulan lalu, ia melahirkan anak pertama berjenis kelamin perempuan di salah satu rumah sakit di Kota Pelajar tersebut. Untuk mengurus putri kecilnya, Shela—sapaan Marshela—dibantu mertua. Namun Shela waswas lantaran ibu mertuanya itu kerap memakaikan bedak bayi pada anaknya. “Alasannya, biar tidak mudah berkeringat dan selalu wangi bayi,” kata Shela ketika dihubungi, Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbekal sejumlah artikel berita dan konten di media sosial, Shela mendapat informasi bahwa penggunaan bedak bayi tak selalu aman untuk bayi. Shela terhenyak saat mengetahui soal risiko kanker jika tak bijak menggunakan bedak bayi. Dia sudah beberapa kali membujuk ibu mertuanya untuk mengurangi penggunaan bedak bayi. “Inginnya sih minta enggak pakai bedak bayi lagi. Tapi saya tahu itu sulit. Jadi, setidaknya dikurangi saja.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita yang sama dialami Adhita. Perempuan yang menetap di wilayah Kabupaten Semarang itu mengaku sering berantem dengan ibunya gara-gara bedak bayi. Menurut perempuan berusia 35 tahun itu, ibunya sangat kolot. Ibu Dhita—sapaan Adhita—menganggap bedak bayi sangat bermanfaat untuk anak. “Bedak bayi dianggap menyehatkan kulit bayi. Padahal cuma bikin wangi,” tutur Dhita.
Ia mengatakan sangat sulit memberi tahu ibunya bahwa bedak bayi menyimpan risiko gangguan kesehatan pada anak. Minimal, akan berbahaya jika sampai terhirup atau tertelan. “Gemas rasanya melihat pipi dan leher anak saya diberi bedak tebal.”
Kabar risiko gangguan kesehatan akibat penggunaan bedak bayi memang ramai beberapa tahun terakhir. Salah satu kabar terbesar terkuak pada 2019, saat salah satu produsen perlengkapan bayi asal Amerika Serikat, Johnson & Johnson, digugat lebih dari 19 ribu orang.
Para penggugat menyatakan bedak bayi merek tersebut mengandung bahan asbestos atau asbes yang dianggap sebagai salah satu varian karsinogen. Zat tersebut berpotensi menyebabkan kanker.
Ilustrasi bedak bayi. TEMPO/Nita Dian
Kasus bedak bayi Johnson & Johnson pertama kali terangkat ke permukaan pada 2018. Pada saat itu, kantor berita Reuters menerjunkan laporan investigasi, yang pada intinya mengungkapkan bahwa Johnson & Johnson dengan sengaja menjual produk yang mengandung asbestos.
Hal tersebut diperkuat oleh dokumen penelitian internal Johnson & Johnson yang bocor ke media. Dalam uji coba produk yang berlangsung sejak 1971 hingga 2000-an, beberapa tes menunjukkan bahwa bedak bayi Johnson & Johnson mengandung asbesol. Namun Johnson & Johnson tetap membiarkan produk bedak bayi mereka dijual ke publik.
Imbas dari temuan itu, nilai saham Johnson & Johnson anjlok di pasar saham. Valuasi senilai US$ 40 miliar lenyap dalam sehari. Di satu sisi, Johnson & Johnson dihajar berbagai pertanyaan publik soal kebenaran kandungan bedak bayi mereka yang kadung ikonik.
Dua pekan lalu, Johnson & Johnson mengumumkan tahun depan akan berhenti menjual produk bedak bayi, terutama yang berbahan dasar talc, secara global. Berdasarkan data terakhir, mereka telah menerima 38 ribu gugatan hukum dari konsumen dan penyintas kanker yang menyebut produk tersebut memicu kanker.
Bedak sejatinya berasal dari bahan talc atau talk. Namun mengapa talk disebut bisa menimbulkan asbes? Talk adalah mineral pada tanah liat yang diambil dari endapan bawah tanah. Talk merupakan mineral paling lembut yang diketahui manusia dan membuatnya berguna untuk berbagai produk konsumen dan industri.
Asbes juga ditemukan di bawah tanah dan lapisannya bisa ditemukan pada endapan talk. Sejumlah ahli geologi menyatakan talk rentan terkontaminasi asbes. Jika sampai asbes masuk ke dalam tubuh, jelas berbahaya.
Sejatinya talk dimasukkan ke bahan pembuat kosmetik untuk menciptakan sensasi selembut sutra dan menyerap kelembapan. Sebagian merek kosmetik mengeluarkan produk-produk bebas talk. Talk juga digunakan dalam pengolahan makanan serta untuk membuat beberapa suplemen, pil farmasi, dan permen karet. Zat itu juga ditemukan dalam krayon dan mainan anak-anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun mengambil sikap tentang polemik keamanan bedak bayi. Ketua IDAI, Piprim Basarah Yanuarso, mengatakan pihaknya tak pernah merekomendasikan penggunaan bedak bayi.
Menurut Piprim, terlepas dari polemik risiko kanker dari kandungan asbes, faktanya bedak bayi tetap berbahaya jika sampai terhirup oleh bayi. “Nanti malah jadi masalah pernapasan pada bayi,” kata Piprim ketika dihubungi, kemarin.
Piprim mengatakan risiko terhirupnya bedak oleh bayi tak boleh dianggap remeh. Sebab, saluran pernapasan bayi jauh lebih kecil daripada anak-anak dan remaja. “Singkatnya, mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya.”
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo