Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA dilahirkan di panggung, dibesarkan di panggung. Bahkan
berpacaran dan mendapat jodoh di panggung. Ini bukan sekedar
cerita sandiwara. Tapi kisah nyata Susefi, 24 tahun, putri
satu-satunya pemilik sandiwara keliling "Maharani".
Susefi yang lebih akrab dengan panggilan Susy itu dilahirkan
ketika "Maharani" manggung di Jakarta. Ayahnya, A.K. Susanto,
adalah pemilik, sutradara dan pemain sandiwara di grup itu.
Ibunya, Evy Lely mnjadi primadona di atas pentas. "Saya bisa
main sandiwara karena tiap hari melihatnya," kau Susy yang
berkulit sawo matang itu. Ia tampil pertama kali di panggung
ketika berumur 12 tahun. "Rampung pementasan, ada beberapa
penonton mendatanginya memeluk dan memujinya," katanya di rumah
kontrakannya di Sala.
Sejak itu ia yakin panggunglah tempat bernapas. Kebetulan
"Maharani" kelompok sandiwara ayahnya, juga menampilkan tari,
nyanyi dan lawak. Maka ia pun menyanyi--selain main sandiwara.
Penampilannya di depan penonton dari kota ke kota membuatnya
semakin matang bergaya di atas pentas. Hampir semua kota besar
di Indonesia pernah dikunjunginya. "Tidur di penus berselimut
kain dekor itu biasa," katanya. Juga kehidupan pindah tempat
bukan hal yang asing baginya.
Pada usia 13 tahun, Susy si anak panggung itu tampak lebih
matang dari umurnya. Perannya dalam sandiwara juga beranjak,
bukan lagi sebagai anak-anak. Dengan cepat ia bisa menyisihkan
ibunya--seorang wanita blasteran Jawa-Belanda--sebagai primadona
"Maharani". Ia pun menjadi incaran remaja yang mengagumi
kelompok sandiwara itu.
Bocah Angon
Dari sekian pemuda yang mencintainya, ternyata hanya Daryanto
yang berhasil menggaetnya. Pemuda ini adalah pemain gitar band
"Guntur Buana" yang sering mengiringi Susy kalau main di Sala.
"Saya nyanyi, Mas Dar yang pegang gitar. Dari action di atas
panggung itu, cinta kami tumbuh subur," katanya tersenyum lebar.
Belum genap setahun berkenalan, mereka kawin.
Malang, masa jaya "Maharani" tidak terlalu lama. Tahun 1972
kelompok sandiwara keliling itu bangkrut. Banyak pemain top
kabur. Riwayatnya tamat. "Seperti sawah telah berubah menjadi
batu. Saya nganggur, kata Susy. Untung suaminya memboyongnya ke
Sala, tinggal serumah dengan mertuanya. Karena hanya mempunyai
keahlian di atas panggung, Susy yang cuma tamat SMP itu,
berusaha mencari penghasilan dengan sesekali ikut menyanyi
dangdut. Suaminya tidak memetik gitar lagi, tapi berdagang
lotere buntut.
Hampir 6 tahun bekas primadona "Maharani" ini tenggelam di Kota
Sala. Nasibnya terkatrol lagi ketika kelompok ludruk "Srimulat"
mentas di Sala, 1978. Ia bergabung dengan kelompok dari Surabaya
ini tanpa mengalami kesulitan. "Bedanya, dulu main melodrama,
sekarang lebih banyak main banyolan," katanya. Baru setahun
mentas, Susy berhasil meraih kedudukan primadona. Kebetulan ia
memang cantik, berpengalaman dan pintar main di atas panggung.
Peng hasilannya sebagai primadona waktu itu termasuk paling
tinggi, Rp 850 semalam.
Berkat namanya yang melambung lewat "Srimulat", sering ia
dipanggil untuk menyanyi di luar kota. Tarif main panggilan Rp
15 ribu sekali manggung.
Sementara itu suaminya juga terpakai sebagai pemain musik.
"Karena Srimulat, nama saya tidak lenyap dari panggung,"
katanya. Hidupnya lumayan lagi, bisa menghidupi keempat anaknya.
Tapi hidup di "ladang" baru itu hanya berlangsung 2 tahun.
Terjadi bentrok dengan pimpinannya. Pasalnya, Susy terlalu laris
main di luar kota. Ia putuskan mundur dan membentuk kelompok
baru, "Susy Group". Dengan kelompok yang dipimpinnya sendiri
itu, Susy mulai mengelilingi Kota Surabaya, Semarang dan
kota-kota lain. Kesulitan yang dihadapi sama: pemain yang ngetop
karena asuhannya "dibajak" kelompok lain.
Masih ada satu angan-angan di benaknya. "Saya ingin main film,"
katanya. Ia memang pernah membantu Elvy Sukaesih, si "putri
duyung" dangdut itu bergaya di depan kamera. Yang diincarnya
sederhana agar punya rumah sendiri.
Berjoget dan goyang pinggul seperti Elvy Sukaesih menjadi ciri
khas kelompok sandiwara gambus "Eko Santoso". Kelompok ini sudah
mempunyai penggemar di daerah pesisir utara Ja-Teng. Menurut
Sakiran, 56 tahun, pimpinannya, EkO Santoso" didirikan 1956 di
Kudus, Ja-Teng dengan peralatan sederhana: bas dari tempayan
dengan tali petikan karet ban sepeda, gendang, kencer dan melodi
dimainkan dengan alat aluminium bersuara seperti organ.
"Pemainnya semula bocab angon (penggembala dari desa," kata
Sakiran.
Setelah beranjak beberapa tahun, Sakiran mampu membeli alat
lebih sempurna, satu set instrumen listrik. "Saya memakai
alat-alat listrik itu sejak 1966," katanya. Awak pendukung
pementasan sekitar 30 orang. Peran utama untuk memikat penonton
adalah biduanita. Untuk itu, ia memilih cewek yang berparas
cantik, bisa bergoyang merangsang dan potongan tubuh aduhai.
Suara? "Lumayan saja sudah cukup," katanya.
Nama "Eko Santoso" mulai melambung lewat pertunjukan keliling
dari kota ke kota. Saking banyaknya permintaan dari berbagai
tempat, "tontonan untuk umum dengan dipungut bayaran praktis
hanya bulan Desember dan Maret," kata Sakiran. Sebab pada
Desember dan Maret jarang orang mengadakan hajatan. Tarif
panggilan rata-rata Rp 150 ribu sekali main. Pertunjukan antara
pukul 21.00 sampai 4.30 dengan menampilkan nyanyian, lawak dan
tentu saja dirangkai dalam suatu cerita.
Sakiran membagi-bagi penghasilan untuk awaknya: pemain inti Rp
7.500, penyanyi Rp 6.000 dan pemegang alat musik Rp 2500 sampai
Rp 4.000. Kalau sedang laris, praktis seluruh anggota tidak
pernah istirahat. "Pernah 7 bulan cuma kosong 2 hari," kata
Sakiran. Karena itu pemilik hajatan yang mau mengundangnya mesti
booking beberapa bulan sebelumnya.
Ninik Nirwana adalah primadona "Eko Santoso". Gadis cantik dan
lincah berumur 19 tahun itu selalu menarik penonton karena
tingginya cuma 100 cm. Banyak kelompok sandiwara berupaya
menggaet "penglaris" ini. Tapi tak berhasil. "Saya terjun di
panggung sejak berumur 12 tahun," kata Ninik, keturunan
Indonesia-Belanda itu. Bayarannya tergolong tinggi, Rp 15.000
sekali main. "Tapi uang saya habis untuk pakaian dan jajan,"
katanya polos. Walau menjadi primadona, nasibnya tidak selalu
untung. Banyak pemuda terpikat pada penampilannya di
panggung--tentu saja dengan sepatu hak tinggi hampir 20 cm--dan
ingin memacarinya. Tapi setelah tahu perawakan mini, mereka
mundur teratur.
Kawin Cerai
Kisah rombongan ketoprak Sakti Budoyo dari Kediri agak lain.
Setiap kali mangkal untuk mengadakan pertunjukan banyak orang
datang untuk ikut ambil bagian. "Mereka sekedar numpang hidup,"
kata Ki Anom Prayitno, pemimpin rombongan itu. Malam hari mereka
ikut main, menabuh gametan, mengerek layar dan mengatur
penonton. Siang hari mereka bekerja sebagai kuli bangunan,
makelar atau tukang bordir. Tapi secara tetap, ketoprak yang
beroperasi di daerah Ja-Tim ini mempunyai sekitar 60 pemain
inti. "Mereka sudah punya anak istri. Kalau boyong, ya sekalian
keluarganya," katanya.
Penghasilan bagi anggota rombongan memang sekedar cukup untuk
makan. Pemain inti yang menentukan mati hidupnya rombongan
ketoprak itu mendapat bayaran Rp 1.500 sekali main. Anggota
lainnya rata-rata Rp 500 seorang sekali main. Honor dibagikan
seminggu sekali. Kalau sedang nganggur, tidak main karena sakit
atau belum mendapat tempat mentas, mereka mendapat uang makan
Rp 200 sehari.
Untuk tetap memikat penonton, pimpinan rombongan memang harus
tajam membaca kegemaran masyarakat. Lakon yang dipilih
disesuaikan dengan situasi. Kadang lakon kekerasan, cinta atau
sejarah. Lakon top yang paling disukai penonton ialah:
Nogososro Sabruk Inten, Damarwulan, Ario Penangsang, dan
Romeo-Juliet.
Berjubelnya penonton ternyata tidak selalu menggembirakan
pemain. "Honor yang kami terima tetap," kata salah seorang
pemain. Tiap malam, bagian kas harus menyisihkan Rp 60 ribu
untuk kas grup. Pajak tontonan sebesar 13% tidak bisa ditawar
lagi. "Padahal kami juga mendapat titipan dari pemerintah
setempat untuk menjelaskan P-4," kata Sardjuno, asisten
sutradara. Yang agak susah pula ialah harus menerangkan soal
ABRI masuk desa, atau jaksa masuk desa. "Nah kalau sulit, saya
konsultasi dulu dengan yang titip pesan."
Bermain di atas panggung dan mengasuh anak merupakan acara rutin
Haryani, 29 tahun. Ibu 4 orang anak ini tidak beda dengan ibu
rumah tangga lainnya.
"Bedanya, kami tidak mempunyai rumah," katanya. Sudah 10 tahun
hidup menggelandang, pindah dari desa satu ke desa lain bersama
rombongan "Ketoprak Warga Mulyo".
Rombongan beranggota 40 orang itu lebih banyak beroperasi di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Main ketoprak merupakan
pekerjaan Haryani sejak kecil. Bahkan kedua suaminya--ia pernah
kawin dua kali -- ditemuinya di atas panggung. Suaminya yang
sekarang ialah Sismadi, sutradara "Warga Mulyo", telah
memberikan 4 orang anak. "Semuanya anak saya belum masuk
sekolah," katanya. Yang terbesar kini sudah menginjak umur 7
tahun.
Sekali mentas Haryani mendapat bayaran Rp 200 plus seperempat
kilo beras. Demikian pula suaminya sebagai sutradara mendapat
"tunjangan" Rp 200 dan honor pemain Rp 200. Masa paceklik bagi
rombongan ketoprak itu terutama pada musim hujan atau kalau
belum mendapat tempat untuk manggung. Bila tidak main, tiap
kepala cuma kebagian honor Rp 100 sehari.
Warga Mulyo
Sebagai pemain punya "nama", tentu saja Haryani sering mendapat
gangguan. "Sering mendapat surat simpatik atau diajak kencan,"
kata Haryani yang berkulit kuning, semampai dan ayu itu. Tentu
saja ia buru-buru melapor kepada suaminya dan diselesaikan
berdua.
Hidup di sekitar panggung memang cukup bebas. Kawin cerai
merupakan ciri kehidupan rombongan kesenian itu. "Di sini, 90%
menganut paham free sex," kata Rianto, 26 tahun, salah seorang
pemain. Sejak usia 11 tahun ia mengikuti rombongan ketoprak dan
baru 5 tahun terakhir tekun dalam rombongan "Warga Mulyo". Ia
tak menjelaskan maksud free sex, tapi ia menyebut begitu mungkin
karena pengalamannya sendiri.
Rianto menikah pada usia 21 tahun, dengan teman main ketoprak.
Pernikahan cuma berumur 2 tahun. "Istri saya bermain cinta
dengan teman pemain lain," kata Rianto yang waktu itu baru
mempunyai seorang anak. Ia tidak menyesal istrinya diserobot
temannya. Bahkan tidak mendendam temannya yang mengambil
istrinya. Rianto mempersunting wanita lain. Tapi baru 6 bulan,
terjadi gara-gara. "Suatu ketika, selesai saya ikut main pentas
gabungan, saya lihat istri saya main cinta dengan orang lain di
kamar saya," katanya.
Ia tidak dendam karena pemandangan semacam itu sering dilihatnya
di antara pemain ketoprak. "Sekarang saya kapok mengambil istri
yang cantik," katanya. Nah, kini ia mengincar gadis desa yang
mengaguminya. Namanya Lasiyem. Tidak cantik. "Daripada diserobot
orang melulu," katanya ketawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo