Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berladang Di Atas Panggung

Penghibur keliling, dari panggung ke panggung menjelajahi berbagai kota. Pemain yang top sering dibajak grup lain. Tak ada perbedaan honor.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA dilahirkan di panggung, dibesarkan di panggung. Bahkan berpacaran dan mendapat jodoh di panggung. Ini bukan sekedar cerita sandiwara. Tapi kisah nyata Susefi, 24 tahun, putri satu-satunya pemilik sandiwara keliling "Maharani". Susefi yang lebih akrab dengan panggilan Susy itu dilahirkan ketika "Maharani" manggung di Jakarta. Ayahnya, A.K. Susanto, adalah pemilik, sutradara dan pemain sandiwara di grup itu. Ibunya, Evy Lely mnjadi primadona di atas pentas. "Saya bisa main sandiwara karena tiap hari melihatnya," kau Susy yang berkulit sawo matang itu. Ia tampil pertama kali di panggung ketika berumur 12 tahun. "Rampung pementasan, ada beberapa penonton mendatanginya memeluk dan memujinya," katanya di rumah kontrakannya di Sala. Sejak itu ia yakin panggunglah tempat bernapas. Kebetulan "Maharani" kelompok sandiwara ayahnya, juga menampilkan tari, nyanyi dan lawak. Maka ia pun menyanyi--selain main sandiwara. Penampilannya di depan penonton dari kota ke kota membuatnya semakin matang bergaya di atas pentas. Hampir semua kota besar di Indonesia pernah dikunjunginya. "Tidur di penus berselimut kain dekor itu biasa," katanya. Juga kehidupan pindah tempat bukan hal yang asing baginya. Pada usia 13 tahun, Susy si anak panggung itu tampak lebih matang dari umurnya. Perannya dalam sandiwara juga beranjak, bukan lagi sebagai anak-anak. Dengan cepat ia bisa menyisihkan ibunya--seorang wanita blasteran Jawa-Belanda--sebagai primadona "Maharani". Ia pun menjadi incaran remaja yang mengagumi kelompok sandiwara itu. Bocah Angon Dari sekian pemuda yang mencintainya, ternyata hanya Daryanto yang berhasil menggaetnya. Pemuda ini adalah pemain gitar band "Guntur Buana" yang sering mengiringi Susy kalau main di Sala. "Saya nyanyi, Mas Dar yang pegang gitar. Dari action di atas panggung itu, cinta kami tumbuh subur," katanya tersenyum lebar. Belum genap setahun berkenalan, mereka kawin. Malang, masa jaya "Maharani" tidak terlalu lama. Tahun 1972 kelompok sandiwara keliling itu bangkrut. Banyak pemain top kabur. Riwayatnya tamat. "Seperti sawah telah berubah menjadi batu. Saya nganggur, kata Susy. Untung suaminya memboyongnya ke Sala, tinggal serumah dengan mertuanya. Karena hanya mempunyai keahlian di atas panggung, Susy yang cuma tamat SMP itu, berusaha mencari penghasilan dengan sesekali ikut menyanyi dangdut. Suaminya tidak memetik gitar lagi, tapi berdagang lotere buntut. Hampir 6 tahun bekas primadona "Maharani" ini tenggelam di Kota Sala. Nasibnya terkatrol lagi ketika kelompok ludruk "Srimulat" mentas di Sala, 1978. Ia bergabung dengan kelompok dari Surabaya ini tanpa mengalami kesulitan. "Bedanya, dulu main melodrama, sekarang lebih banyak main banyolan," katanya. Baru setahun mentas, Susy berhasil meraih kedudukan primadona. Kebetulan ia memang cantik, berpengalaman dan pintar main di atas panggung. Peng hasilannya sebagai primadona waktu itu termasuk paling tinggi, Rp 850 semalam. Berkat namanya yang melambung lewat "Srimulat", sering ia dipanggil untuk menyanyi di luar kota. Tarif main panggilan Rp 15 ribu sekali manggung. Sementara itu suaminya juga terpakai sebagai pemain musik. "Karena Srimulat, nama saya tidak lenyap dari panggung," katanya. Hidupnya lumayan lagi, bisa menghidupi keempat anaknya. Tapi hidup di "ladang" baru itu hanya berlangsung 2 tahun. Terjadi bentrok dengan pimpinannya. Pasalnya, Susy terlalu laris main di luar kota. Ia putuskan mundur dan membentuk kelompok baru, "Susy Group". Dengan kelompok yang dipimpinnya sendiri itu, Susy mulai mengelilingi Kota Surabaya, Semarang dan kota-kota lain. Kesulitan yang dihadapi sama: pemain yang ngetop karena asuhannya "dibajak" kelompok lain. Masih ada satu angan-angan di benaknya. "Saya ingin main film," katanya. Ia memang pernah membantu Elvy Sukaesih, si "putri duyung" dangdut itu bergaya di depan kamera. Yang diincarnya sederhana agar punya rumah sendiri. Berjoget dan goyang pinggul seperti Elvy Sukaesih menjadi ciri khas kelompok sandiwara gambus "Eko Santoso". Kelompok ini sudah mempunyai penggemar di daerah pesisir utara Ja-Teng. Menurut Sakiran, 56 tahun, pimpinannya, EkO Santoso" didirikan 1956 di Kudus, Ja-Teng dengan peralatan sederhana: bas dari tempayan dengan tali petikan karet ban sepeda, gendang, kencer dan melodi dimainkan dengan alat aluminium bersuara seperti organ. "Pemainnya semula bocab angon (penggembala dari desa," kata Sakiran. Setelah beranjak beberapa tahun, Sakiran mampu membeli alat lebih sempurna, satu set instrumen listrik. "Saya memakai alat-alat listrik itu sejak 1966," katanya. Awak pendukung pementasan sekitar 30 orang. Peran utama untuk memikat penonton adalah biduanita. Untuk itu, ia memilih cewek yang berparas cantik, bisa bergoyang merangsang dan potongan tubuh aduhai. Suara? "Lumayan saja sudah cukup," katanya. Nama "Eko Santoso" mulai melambung lewat pertunjukan keliling dari kota ke kota. Saking banyaknya permintaan dari berbagai tempat, "tontonan untuk umum dengan dipungut bayaran praktis hanya bulan Desember dan Maret," kata Sakiran. Sebab pada Desember dan Maret jarang orang mengadakan hajatan. Tarif panggilan rata-rata Rp 150 ribu sekali main. Pertunjukan antara pukul 21.00 sampai 4.30 dengan menampilkan nyanyian, lawak dan tentu saja dirangkai dalam suatu cerita. Sakiran membagi-bagi penghasilan untuk awaknya: pemain inti Rp 7.500, penyanyi Rp 6.000 dan pemegang alat musik Rp 2500 sampai Rp 4.000. Kalau sedang laris, praktis seluruh anggota tidak pernah istirahat. "Pernah 7 bulan cuma kosong 2 hari," kata Sakiran. Karena itu pemilik hajatan yang mau mengundangnya mesti booking beberapa bulan sebelumnya. Ninik Nirwana adalah primadona "Eko Santoso". Gadis cantik dan lincah berumur 19 tahun itu selalu menarik penonton karena tingginya cuma 100 cm. Banyak kelompok sandiwara berupaya menggaet "penglaris" ini. Tapi tak berhasil. "Saya terjun di panggung sejak berumur 12 tahun," kata Ninik, keturunan Indonesia-Belanda itu. Bayarannya tergolong tinggi, Rp 15.000 sekali main. "Tapi uang saya habis untuk pakaian dan jajan," katanya polos. Walau menjadi primadona, nasibnya tidak selalu untung. Banyak pemuda terpikat pada penampilannya di panggung--tentu saja dengan sepatu hak tinggi hampir 20 cm--dan ingin memacarinya. Tapi setelah tahu perawakan mini, mereka mundur teratur. Kawin Cerai Kisah rombongan ketoprak Sakti Budoyo dari Kediri agak lain. Setiap kali mangkal untuk mengadakan pertunjukan banyak orang datang untuk ikut ambil bagian. "Mereka sekedar numpang hidup," kata Ki Anom Prayitno, pemimpin rombongan itu. Malam hari mereka ikut main, menabuh gametan, mengerek layar dan mengatur penonton. Siang hari mereka bekerja sebagai kuli bangunan, makelar atau tukang bordir. Tapi secara tetap, ketoprak yang beroperasi di daerah Ja-Tim ini mempunyai sekitar 60 pemain inti. "Mereka sudah punya anak istri. Kalau boyong, ya sekalian keluarganya," katanya. Penghasilan bagi anggota rombongan memang sekedar cukup untuk makan. Pemain inti yang menentukan mati hidupnya rombongan ketoprak itu mendapat bayaran Rp 1.500 sekali main. Anggota lainnya rata-rata Rp 500 seorang sekali main. Honor dibagikan seminggu sekali. Kalau sedang nganggur, tidak main karena sakit atau belum mendapat tempat mentas, mereka mendapat uang makan Rp 200 sehari. Untuk tetap memikat penonton, pimpinan rombongan memang harus tajam membaca kegemaran masyarakat. Lakon yang dipilih disesuaikan dengan situasi. Kadang lakon kekerasan, cinta atau sejarah. Lakon top yang paling disukai penonton ialah: Nogososro Sabruk Inten, Damarwulan, Ario Penangsang, dan Romeo-Juliet. Berjubelnya penonton ternyata tidak selalu menggembirakan pemain. "Honor yang kami terima tetap," kata salah seorang pemain. Tiap malam, bagian kas harus menyisihkan Rp 60 ribu untuk kas grup. Pajak tontonan sebesar 13% tidak bisa ditawar lagi. "Padahal kami juga mendapat titipan dari pemerintah setempat untuk menjelaskan P-4," kata Sardjuno, asisten sutradara. Yang agak susah pula ialah harus menerangkan soal ABRI masuk desa, atau jaksa masuk desa. "Nah kalau sulit, saya konsultasi dulu dengan yang titip pesan." Bermain di atas panggung dan mengasuh anak merupakan acara rutin Haryani, 29 tahun. Ibu 4 orang anak ini tidak beda dengan ibu rumah tangga lainnya. "Bedanya, kami tidak mempunyai rumah," katanya. Sudah 10 tahun hidup menggelandang, pindah dari desa satu ke desa lain bersama rombongan "Ketoprak Warga Mulyo". Rombongan beranggota 40 orang itu lebih banyak beroperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Main ketoprak merupakan pekerjaan Haryani sejak kecil. Bahkan kedua suaminya--ia pernah kawin dua kali -- ditemuinya di atas panggung. Suaminya yang sekarang ialah Sismadi, sutradara "Warga Mulyo", telah memberikan 4 orang anak. "Semuanya anak saya belum masuk sekolah," katanya. Yang terbesar kini sudah menginjak umur 7 tahun. Sekali mentas Haryani mendapat bayaran Rp 200 plus seperempat kilo beras. Demikian pula suaminya sebagai sutradara mendapat "tunjangan" Rp 200 dan honor pemain Rp 200. Masa paceklik bagi rombongan ketoprak itu terutama pada musim hujan atau kalau belum mendapat tempat untuk manggung. Bila tidak main, tiap kepala cuma kebagian honor Rp 100 sehari. Warga Mulyo Sebagai pemain punya "nama", tentu saja Haryani sering mendapat gangguan. "Sering mendapat surat simpatik atau diajak kencan," kata Haryani yang berkulit kuning, semampai dan ayu itu. Tentu saja ia buru-buru melapor kepada suaminya dan diselesaikan berdua. Hidup di sekitar panggung memang cukup bebas. Kawin cerai merupakan ciri kehidupan rombongan kesenian itu. "Di sini, 90% menganut paham free sex," kata Rianto, 26 tahun, salah seorang pemain. Sejak usia 11 tahun ia mengikuti rombongan ketoprak dan baru 5 tahun terakhir tekun dalam rombongan "Warga Mulyo". Ia tak menjelaskan maksud free sex, tapi ia menyebut begitu mungkin karena pengalamannya sendiri. Rianto menikah pada usia 21 tahun, dengan teman main ketoprak. Pernikahan cuma berumur 2 tahun. "Istri saya bermain cinta dengan teman pemain lain," kata Rianto yang waktu itu baru mempunyai seorang anak. Ia tidak menyesal istrinya diserobot temannya. Bahkan tidak mendendam temannya yang mengambil istrinya. Rianto mempersunting wanita lain. Tapi baru 6 bulan, terjadi gara-gara. "Suatu ketika, selesai saya ikut main pentas gabungan, saya lihat istri saya main cinta dengan orang lain di kamar saya," katanya. Ia tidak dendam karena pemandangan semacam itu sering dilihatnya di antara pemain ketoprak. "Sekarang saya kapok mengambil istri yang cantik," katanya. Nah, kini ia mengincar gadis desa yang mengaguminya. Namanya Lasiyem. Tidak cantik. "Daripada diserobot orang melulu," katanya ketawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus