Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bersiap ke Sekolah bagi Anak Difabel

Meski senang anaknya kembali ke sekolah, orang tua anak-anak berkebutuhan khusus masih khawatir anaknya tidak mendapat layanan memadai karena berbagai keterbatasan di sekolah.

6 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Wacana kembali belajar secara tatap muka di sekolah disambut gembira oleh orang tua dan siswa berkebutuhan khusus.

  • Tapi ada kekhawatiran anak-anak berkebutuhan khusus tidak mendapat layanan maksimal.

  • Selain itu, mereka perlu disiapkan untuk kembali beradaptasi di sekolah.

Darti, 45 tahun, warga Bandung, gembira dengan rencana pembelajaran tatap muka yang akan dijalankan Juli mendatang. Ia senang karena anaknya, siswa sebuah sekolah SMP yang penyandang autisme, punya kesempatan lebih besar belajar lebih baik di sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegembiraan serupa diungkapkan penyandang disabilitas fisik, Ranti, 16 tahun. Selama ini ia merasa kesulitan belajar secara daring sendiri di rumah. Ia harus mengerjakan latihan soal dan harus dicatat di buku tulis. “Padahal saya mengalami keterbatasan fisik untuk menulis,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan pembelajaran tatap muka dimulai pada Juli mendatang. Meski senang dengan rencana kembali belajar secara tatap muka, Darti masih merasa khawatir anaknya tidak mendapat layanan pembelajaran memadai karena keterbatasan guru dan kapasitas sekolah.

Kegelisahan Darti dan berapa orang tua lain yang anaknya berkebutuhan khusus disampaikan kepada Dewi Sri Sumanah dari Save The Children baru-baru ini.  Selain keterbatasan guru dan sarana, sekolah untuk anak berkebutuhan khusus pun masih terbatas. Mereka berharap seorang guru lebih fokus pada murid dalam jumlah terbatas. “Jika tadinya satu guru mendampingi 10 murid, mungkin nanti bisa satu guru untuk dua murid,” kata Dewi Sri. Selain agar lebih fokus, hal itu untuk menghindari risiko penularan Covid-19.

Kekhawatiran para orang tua ini sama seperti kekhawatiran para orang tua anak-anak penyandang disabilitas lain di berbagai dunia. Menurut data Save the Children, di 46 negara pada Juli 2020, sebanyak 85 persen orang tua, terutama ibu, khawatir anak-anak mereka tidak bisa kembali ke sekolah. Bahkan orang tua anak perempuan penyandang disabilitas hampir tiga kali lebih cenderung tidak yakin anak mereka dapat kembali ke sekolah.

Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children Indonesia, mengatakan kekhawatiran mereka sangat dapat dipahami karena tantangan yang dihadapi anak-anak penyandang disabilitas sangatlah besar. Faktor kesetaraan akses dan minimnya pemahaman warga sekolah menjadi isu utama. “Selain itu, terbatasnya pengetahuan dan keterampilan para tenaga pendidik dalam memberikan layanan inklusi masih menjadi tantangan besar,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Tempo.

Selina juga menegaskan risiko learning loss terhadap anak difabel juga berimbas pada tumbuh kembang anak tersebut. “Jika anak disabilitas tidak mendapatkan hak pendidikan, hal ini dapat berdampak pada kondisi kesehatan mental dan fisik anak.” Karena itu, kata Selina, masalah ini penting segera ditangani serentak oleh pemerintah, organisasi, dan masyarakat dengan memprioritaskan layanan pendidikan inklusi berkualitas.

Selain faktor-faktor di atas, anak-anak itu perlu disiapkan untuk kembali ke sekolah. Psikolog konselor  untuk grup Sekolah Global Compassion  School  Lazuardi  dan Mitra (sekolah inklusi) Viera Adella, mengatakan salah satu hal yang perlu disiapkan bagi anak-anak difabel itu adalah proses adaptasi. Selama lebih dari setahun mereka belajar secara daring. Mereka berjuang untuk belajar sendiri tanpa pendampingan guru secara intensif.

Ada fakta menarik yang ditemukan pada anak-anak penyandang disabilitas mental, seperti autis, ADHD, sindrom Down, kata Adella, yang mempunyai dampak positif ketika belajar di rumah.  “Beberapa klien, orang tua mengakui prestasi dan performance anak mereka lebih positif saat belajar di rumah,” ujar Della kepada Tempo, kemarin.

Nah, ketika mereka akan kembali ke sekolah, mereka harus bersiap kembali ke situasi "normal", harus berinteraksi dengan banyak kawan, ada kebisingan atau berinteraksi dengan kawan lain yang mengganggu konsentrasinya. “Ini harus ada masa transisi dulu, penyesuaian baru setidaknya dua minggu,” ujarnya. Proses dua minggu ini untuk menyiapkan kembali dan mengenalkan kembali anak-anak pada kondisi baru. Secara bertahap pula, dengan penerapan pembelajaran hybrid, dengan murid terbatas, juga akan sangat membantu.  

Selain itu, kata dia, sekolah seharusnya menyiapkan protokol kesehatan yang memadai, kapasitas siswa, dan aturan-aturan di ruang pertemuan, seperti arena bermain dan kantin. “Siapkan kebijakan, SOP, misalnya penanda untuk antre, jaga jarak, apa yang boleh dan tidak boleh.”  

Penting pula agar orang tua dan pihak sekolah saling berkolaborasi, berbagi ide dan masukan untuk memperlakukan anak-anak di sekolah saat pandemi ini. Orang tua bisa berbagi tip untuk efektivitas belajar dari pengalaman selama lebih dari setahun mendampingi belajar jarak jauh. Pihak sekolah pun sebaiknya bisa memberikan apresiasi kepada orang tua yang mendampingi pembelajaran dan memelihara komunikasi intens yang selama ini terjalin.

DIAN YULIASTUTI

 

 

 

 

 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus