Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Barito I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tampak sibuk pada Rabu sore, 8 Mei 2024. Jalanan dipadati kendaraan dan jalur pedestrian dipenuhi puluhan orang yang mengerumuni berbagai tempat makan di tepi Taman Langsat. Di seberang keramaian itulah berdiri kedai kopi Sunyi Coffee. Sesuai dengan namanya, kedai ini menawarkan ketenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan kedai ini luas dan terang. Temboknya putih dengan aksen elemen kayu berkelir cokelat. Lantunan lagu-lagu populer mengalir pelan. Beberapa pengunjung tampak duduk dan menikmati kopi mereka di kursi dan meja kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti Difabis Coffee and Tea di Jalan Kendal, kedai kopi difabel ini juga dikelola para penyandang disabilitas. Mayoritas karyawan dan baristanya tuli. Di dekat pintu masuk kedai sudah terpampang sebuah papan informasi mengenai bagaimana cara memesan kopi dengan bahasa isyarat.
Di balik meja kasir berdiri Andrew E.Z. Sihombing, lelaki tuli 36 tahun yang bertugas menerima dan melayani pesanan tamu. Ada beberapa kartu seukuran kartu nama yang berisi catatan khusus untuk pesanan pelanggan, seperti “kurangi gula” atau “kurangi es”. Bagi Andrew, kedai kopi itu sudah menjadi rumah keduanya. “Karena komunikasi setara semua,” kata dia dalam wawancara tertulis kepada Tempo pada Rabu, 8 Mei 2024.
Andrew sudah piawai melayani konsumen. Hanya dari gerakan telunjuk tangan pengunjung, dia sudah bisa mencatat pesanan dengan tepat. Dia juga cekatan membuat kopi sesuai dengan pesanan dan bahkan mengerjakan beberapa pesanan sekali jalan.
Andrew sudah bekerja di sana sejak 2019. Sebelumnya, pria berkacamata dan berjenggot itu bekerja di sebuah perusahaan teknologi di Jakarta Pusat. Andrew mengaku betah bekerja di kedai ini dan merasa puas jika bisa memberikan pelayanan yang ramah, membuatkan pesanan minuman dengan benar, dan tentu dengan rasa yang nikmat. “Kalau pembeli, ada yang baik, ada juga yang merepotkan dan menyebalkan. Tapi kami tetap profesional melayani dengan lapang dada,” kata Andrew.
Suasana Sunyi Coffee cabang Barito di Kebayoran Baru, Jakarta, 8 Mei 2024. TEMPO/ Nita Dian
Sunyi Coffee berdiri lima tahun lalu di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Kafe ini didirikan oleh Mario Gultom dan lima kawannya. Perjalanan bisnis mereka tidak mudah. Baru sepuluh bulan berdiri, kafe itu terpaksa ditutup akibat pandemi Covid-19 dan omzet yang menurun drastis. Setelah pandemi berlalu, usaha mereka justru berkembang. Kini Sunyi Coffee sudah punya empat cabang, yakni di Jalan Barito I, Bekasi, Tangerang Selatan, dan Yogyakarta. Sunyi Coffee tercatat mempekerjakan 40 penyandang tunarungu.
Mira Larasati, salah seorang pengunjung, mengaku betah berlama-lama di Sunyi Coffee cabang Jalan Barito I. Selain lokasinya yang strategis, kehadiran para pekerja difabel membuatnya semakin nyaman. “Saya bisa empat kali dalam seminggu ke sini. Ini bentuk dukungan saya untuk mereka,” kata perempuan yang bekerja sebagai freelancer itu.
Lidah Mira juga sudah merasa cocok dengan aneka minuman dan makanan yang disajikan kafe ini. “Untuk harga sih bersaing, ya, dibanding kafe lain. Tapi di sini lebih nyaman,” ujarnya.
Sekitar 12 kilometer ke arah tenggara Sunyi Coffee, berdiri kafe yang mengangkat konsep serupa. Kafe di Jalan Sepat Nomor 22, Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu bernama DignityKu. Dari luar, kedai kopi ini tampak kecil dan menjorok ke dalam gang. Suasananya redup dan tenang. Interior kafe ini dihiasi dengan sejumlah lukisan surealisme warna-warni.
Soal menu makanan dan minuman, DignityKu lebih komplet. Mereka menyediakan aneka kopi, cokelat, dan teh. Ada pula menu spesial jamu modern, seperti Yellow Pink Velvet, minuman campuran kunyit, asam jawa, potongan buah peach, yoghurt, dan madu yang saya pesan. Minuman tersebut diracik oleh Olivia, seorang difabel tuli. Perempuan 26 tahun berperawakan kurus itu tampak sibuk membaca lembaran resep sembari mengerjakan pesanan minuman saya. Rupanya, Olivia baru sebulan bekerja di sana. Dia masih magang sembari menjalani pelatihan barista di kedai ini. Olivia menyiapkan minuman itu dengan ditemani seorang pendamping.
Bagi Olivia, bekerja sebagai barista memang berat. Karena itu, ia masih berupaya belajar sebaik mungkin selama masa magang. “Jika saya betah, saya lanjut bekerja di sini,” kata Olivia.
Perempuan yang pernah bekerja di sebuah sekolah salon terkemuka itu mulanya sedikit malu saat menerima tamu dan mencatat pesanan. Kekurangan pada pendengarannya menjadi alasan utama. Ia takut kalau salah mencatat pesanan pelanggan. Namun, berkat banyak latihan, Olivia kini berani menerima pesanan tamu. Jika merasa tak yakin, ia akan meminta tamu itu menulis lengkap pesanannya.
Pekerja Difabel Tuli (kanan) Jeannie berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dengan supervisornya di Dignityku Cafe, Pasar Minggu, Jakarta, 8 Mei 2024. TEMPO/ Nita Dian
Kesulitan komunikasi juga sempat dikhawatirkan Jeannie, yang kini bekerja sebagai staf dapur di DignityKu setelah bertugas sebagai barista kopi dan jamu serta pelayan. Jeannie sebenarnya bisa membaca gerakan bibir, tapi akan kesulitan jika pembeli berbicara terlalu cepat. “Kalau saya sudah enggak mengerti, saya langsung meminta mereka untuk menulis saja. Bersyukur selama ini tidak ada masalah,” kata perempuan berusia 36 tahun itu.
Jeannie mengaku betah bekerja di sana dan merasa lebih cocok bekerja di dapur. Apalagi sebelumnya ia sudah punya pengalaman sebagai staf dapur di sebuah restoran martabak di Sarinah, Jakarta Pusat. Selama bekerja, Jeannie selalu berusaha membantu kawan-kawannya sesama tuli yang merasa minder atau terhambat saat berkomunikasi dengan orang lain. Ia selalu mendorong mereka untuk berani, mandiri, dan tak lelah belajar. “Saya juga meminta orang non-disabilitas untuk memahami kami,” kata Jeannie.
Pemilik DignityKu, Hendra Warsita, mengatakan kedai ini didirikan empat tahun lalu dan memang punya misi untuk memberikan ruang dan kesempatan bagi para penyandang disabilitas agar mendapat ilmu dan pekerjaan. Selain kedai, Hendra membuka pendidikan memasak bagi kaum difabel dengan pengajar dari kalangan profesional.
Sekolah masak itu menjadi satu dengan kedai. Ruang kelasnya tembus pandang dengan sekat berupa jendela dan pintu kaca. Ruang kelas itu dilengkapi dengan peralatan dapur modern, seperti tungku dan oven berukuran besar. Ada pula ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi.
Saat ini Hendra sudah menggelar tiga kali pelatihan dengan sekitar 15 peserta di tiap angkatan. Setelah 20 kali belajar di kelas, Hendra mewajibkan peserta magang ke berbagai hotel bintang lima yang sudah menjalin kerja sama dengan DignityKu. “Di kelas, saya siapkan peralatan yang terbaik agar mereka enggak kaget ketika magang di hotel. Jadi, di hotel, mereka langsung kerja tanpa perlu tanya-tanya lagi bagaimana menggunakan peralatan dapur,” kata pensiunan pengusaha berusia 70 tahun itu.
Pemilik DignityKu, Hendra Warsita, di Dignityku Cafe di Pasar Minggu, Jakarta, 8 Mei 2024. TEMPO/ Nita Dian
Menurut Hendra, biaya pelatihan untuk setiap peserta didik sebenarnya bisa mencapai Rp 15 juta per orang. Hingga kini dia masih membebaskan biayanya karena bisnisnya ini memang berorientasi sosial untuk mendukung para penyandang disabilitas agar menjadi wirausahawan mandiri. Setelah magang, sebagian peserta biasanya bekerja di hotel-hotel jaringan DignityKu. Sebagian lagi akan diserap Hendra sebagai barista dan koki di restorannya.
Hendra mengaku tak pernah memperlakukan para penyandang disabilitas secara khusus. Bahkan ia memperlakukan mereka layaknya orang pada umumnya, termasuk memarahi mereka jika melakukan kesalahan saat magang dan bekerja. Alasannya, ia ingin menempa mental dan kepercayaan diri mereka sekuat mungkin. “Biar mereka tidak kaget ketika bekerja di dunia nyata. Kepercayaan diri itu sangat penting untuk mereka,” kata Hendra.
Meski begitu, Hendra mengakui bahwa para difabel yang bekerja di restorannya cenderung memiliki fokus dan dedikasi lebih tinggi ketimbang karyawan biasa. Contohnya, mereka lebih berfokus dalam mengerjakan berbagai tugas sampai tak buru-buru pulang meskipun jam kerja sudah selesai. Menurut Hendra, pekerja difabel punya kepedulian kepada tempat kerja yang lebih kuat dibanding orang normal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo