MEREKA yang mengandung mungkin khawatir apakah anak yang di
tunggu-tunggu itu cacat atau sehat. Kecemasan seperti itu sudah
bisa dipendam untuk waktu-waktu mendatang. Soalnya mulai tahun
depan dokter-dokter ahli kandungan di RS Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, sudah dapat menentukan apakah janin dalam kandungan
bakal menjadi anak cacat atau tidak.
Dr.Sudraji Sumapraja, Kepala Klinik Raden Saleh, Sub-Bagian
Reproduksi Manusia, RSCM yang mengungkapkan rencana itu
menyebutkan bahwa prioritas pemeriksaan akan diberikan kepada
pasangan yang kemungkinan menurunkan penyakit kerusakan darah
(thalassemia). Pelayanan baru itu merupakan hasil kerjasama
antara dokter ahli kandungan dan dokter ahli penyakit anak.
Sebagai persiapan sekarang ini Dr. Iskandar Wahidayat sedang
memperdalam pengetahuannya mengenai analisa darah. "Tetapi
ketrampilan yang sangat kita harapkan adalah bagaimana caranya
bisa mengambil contoh darah janin dalam kandungan yang masih
berumur 16 minggu tanpa mengakibatkan keguguran," kata ahli
penyakit anak-anak yang menggondol gelar Doktor dengan disertasi
mengenai thalassemia bulan November 1979.
"Kalau menurut hasil pemeriksaan janin yang dikandung memang
akan menderita thalassemia sebaiknya digugurkan saja. Untuk
meringankan beban orang tua, masyarakat dan anak itu sendiri,"
ucap Iskandar Wahidayat. Sebab menurut penelitian yang pernah
dia lakukan selama 19 tahun, anak dengan cacat darah seperti itu
hanya akan bertahan sampai 6 atau 7 tahun. Kalaupun ada yang
bisa mencapai usia belasan tahun, mereka mengalami kemunduran
pertumbuhan fisik. Terkadang malahan kena gangguan mental.
Sudraji sendiri nampak bergairah menganjurkan semua wanita hamil
di atas 35 tahun untuk memeriksakan kandungan mereka untuk
mengetahui bakal cacat tidaknya anak yang dikandung. "Kehamilan
dalam usia lanjut mengandung berbagai risiko. Di Amerika Serikat
ada keharusan bagi wanita di atas 35 tahun memeriksakan
kandungan mereka," kata ahli kandungan yang menggondol gelar
Doktor bulan Januari 1980 itu.
Jantung Disedot
Di negara-negara maju pemeriksaan Janin secara intensif mulai
dilaksakan sejak 1975. Ketika itu teknik pemeriksaan
amniocentesis (dengan mengambil air ketuban yang menyelimuti
janin) dipraktekkan secara luas di rumah sakit. Kalau ditemukan
janin terkena Down's syndrome (akan jadi idiot) atas persetujuan
suami istri janin tadi segera digugurkan.
Terakhir para dokter di Mount Sinai Hospital and Medical School,
New York, berhasil "membunuh" salah satu dari janin kembar yang
dikandung seorang ibu yang berusia 40 tahun.
* Wanita itu bersama suaminya berada dalam pilihan yan amat
sulit. Apakah menggugurkan saja janin kembar yang dikandung dan
ternyata salah satu menurut penelitian akan cacat mental, atau
membiarkan kandungannya terus membesar," tulis Drs. Thomas D
Kerenyi dan Usha Chitkara, dua ahli dari rumah sakit tadi.
Tulisan mereka tentang itu dimuat dalam jurnal kedokteran New
England Journal of Medicine terbitan bulan Juni.
Mula-mula wanita yang sudah begitu lama menunggu kehamilan tadi
memutuskan untuk menggugurkan saja bayi kembarnya. Karena dia
tak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban untuk membesarkan
seorang anak cacat. Tetapi ketika dokter menceritakan
kemungkinan melahirkan janin yang sehat dan "membunuh" yang
cacat selagi dalam kandungan, akhirnya si ibu menyetujui rencana
dokter tersebut. Ia kemudian berangkat ke pengadilan untuk
mendapatkan izin.
Dengan menggunakan mesin penghasil suara getaran tinggi untuk
mencari posisi janin kembar yang berusia 20 minggu tadi, para
dokter dengan hatihati menusukkarl sebuah jarum ke jantung dari
janin yang cacat. Dari jantung itu disedot 25 mililiter darah,
yang menyebabkan mati. Sedangkan saudara kembarnya selamat.
Maka pada usia kandungan 40 minggu (9 bulan) wanita itu berhasil
melahirkan seorang anak normal dengan bobot 3 kg. disusul mayat
orok seberat 125 gram. Dan bayi yang ternyata sehat itu sekarang
sudah berusia 7 bulan.
"Pengguguran terpilih" ini merupakan sukses pertama buat AS dan
kedua di dunia. Tahun 1978 dokter Swedia pernah melaporkan
keberhasilan semacam itu. Belum lama ini Denmark juga
mencobanya, tapi gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini