Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Strategi Membantu Petani Kopi

Komunitas aktif membantu petani kopi. Dari melatih mereka mengolah kopi, memasarkan, hingga mengajak untuk menjaga lingkungan.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah komunitas membantu para petani kopi memasarkan produk mereka.

  • Pesan mendalam lewat syair tentang kopi Gayo.

  • Kebutuhan pupuk terjangkau untuk para petani kopi.

MEROKETNYA tren minuman kopi di masyarakat dalam beberapa tahun terakhir justru membuat Tegar Cahya Putra bingung. Kebetulan Tegar tinggal di Desa Purwosari, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, salah satu daerah di Pegunungan Menoreh yang menjadi sentra kebun kopi. Kebanyakan warga desanya memiliki kebun kopi, termasuk ayahnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun tingginya harga kopi berkat kenaikan permintaan kopi tidak dirasakan oleh warga Desa Purwosari. Tetap saja buah kopi yang dijual petani ke tengkulak dihargai sangat murah. "Sekitar Rp 2.000 per kilogram," kata Tegar. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah ia usut, pemberian harga murah itu bukan tanpa sebab. Selain masa panen yang berbarengan, komoditas yang dijual warga desa masih sangat mentah, yakni dijual dalam bentuk ceri atau buah kopi. Parahnya lagi, buah ceri kopi yang dijual tak seragam. Ada ceri kopi yang sudah berkelir merah alias sudah matang, ada pula yang masih hijau atau belum matang. 

Makin ironis ketika Tegar melihat orang tua dan tetangganya menjual ceri kopi ke tengkulak, kemudian uangnya dipakai untuk membeli kopi bubuk bungkusan. "Ini sangat menyedihkan," tutur pria 25 tahun itu. 

Pada 2020, ia mengajak teman-teman kampungnya mengolah sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pengolahan kopi. Tegar memperoleh ilmu tentang kopi saat bekerja di restoran sebagai bartender merangkap barista

Saat itulah Tegar membentuk Komunitas Muda Tumpang Sari yang membantu masyarakat mengolah panen kopi. Mulanya, Tegar mengajak warga membuat kesepakatan jual-beli. Ia bersedia membeli ceri kopi warga seharga Rp 6.000 per kilogram atau tiga kali lipat dari harga yang ditawarkan tengkulak. 

"Syaratnya harus ceri warna merah, tidak boleh dicampur dengan yang hijau."   

Ia perlahan mengedukasi masyarakat agar bersabar dan telaten dalam memanen kopi. Maklum, untuk memanen buah yang matang diperlukan waktu hingga berhari-hari. Berbeda dengan cara sebelumnya yang bisa beres dalam tempo satu hari. 

Tegar menyebutkan tak ada unsur paksaan dan menggurui saat ia mengedukasi petani kopi. Sebab, cara yang ia tempuh lebih berupa diskusi santai. 

Selanjutnya, pasokan ceri matang dari petani lantas diolah oleh Komunitas Muda Tumpang Sari menjadi biji kopi berkualitas. Dari pengupasan biji sampai roasting. Hasil biji kopi yang sudah matang pun dijual ke pasar dengan harga tinggi sesuai dengan kualitas produk. Kini, Tegar cs sudah bekerja sama dengan 40 pemilik kebun kopi dengan total buah ceri seberat 20 ton sekali panen. 

Kini Tegar dan kawan-kawan bisa berbangga ketika komoditas asli desanya bisa lebih dihargai. Terlebih, daerah di sekitar Pegunungan Menoreh memang menjadi pemasok terbesar kopi jenis robusta di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. 

Tegar berharap makin banyak petani yang sadar untuk mengolah kebun kopi mereka agar lebih berkualitas lagi. "Hingga kopi Menoreh lebih dikenal lagi di Indonesia," kata dia. 

Fikar W Eda, penyair sekaligus pendiri Komunitas Rangkaian Bunga Kopi. Dok. Pribadi

Upaya edukasi juga dilakukan Komunitas Rangkaian Bunga Kopi yang dibentuk oleh penyair Fikar W. Eda. Komunitas ini berfokus mengurus perkebunan kopi Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. 

Berbeda dengan Muda Tumpang Sari, Rangkaian Bunga Kopi justru bergerak di bidang seni. Caranya, Fikar dan kolega membuat beragam karya, seperti puisi, syair, hingga lagu, yang membawa pesan beragam tentang kopi Gayo. 

Salah satunya tentang ajakan melestarikan lingkungan. Dalam penampilannya, Fikar menyematkan kalimat ajakan kepada para petani kopi untuk menjaga lingkungan kebun kopi. Misalnya, tidak asal menggunakan racun gulma alias herbisida untuk memusnahkan tanaman pengganggu. 

Dalam syairnya, Fikar mengingatkan masyarakat di sekitar Gayo untuk tetap menjaga ekosistem yang selama ini sudah memberikan manfaat besar dalam tanaman kopi. "Mengapa kopi Gayo itu berkualitas? Karena ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser masih terjaga," katanya. 

Ada juga penggiat kopi Sumatera Selatan, Reza Fahdavi, yang mengaku sudah membantu mempromosikan kopi Sumatera Selatan sejak 2017. Berbekal kursus pengetahuan kopi, ia saat ini telah menjadi trainer barista dan pendamping petani kopi bersama Hutan Kita Institute (Haki) sebagai organisasi nirlaba yang bergerak pada pendampingan kopi di perhutanan sosial (PS).

Menurut Reza, kinerja komunitas saja tak cukup untuk menggenjot perkebunan kopi di Sumatera Selatan. Pemerintah wajib berpartisipasi, seperti menggelar pelatihan bagi para petani kopi hingga membantu memasarkan produk kopi yang dijual petani. 

Selain itu, subsidi pupuk menjadi keperluan mendesak para petani kopi. Reza berharap pemerintah bisa menjamin ketersediaan dan harga pupuk yang terjangkau untuk petani kopi. 

"Terakhir, kita ikut berkomitmen membeli hasil olahan petani kopi lokal." 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Yuni Rohmawati, wartawan Tempo di Palembang, berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus