Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Choi pan merupakan hidangan khas masyarakat Cina di Singkawang, Kalimantan Barat.
Kulitnya terbuat dari tepung beras dan diisi sayuran, biasanya bengkuang.
Akulturasi budaya membuat choi pan yang dulunya dimasak dengan minyak babi diganti dengan minyak sayur.
Gerimis membasahi aspal Pasar Hongkong, Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Pada Selasa sore, 17 Oktober 2023, itu, orang-orang berteduh di depan deretan rumah makan dan toko pakaian di kawasan pecinan tersebut. Di balik ruko-ruko pinggir Jalan Budi Utomo itu, berdiri rumah tua berbahan kayu dengan ornamen khas Tionghoa. Sebuah gapura dengan cat berwarna merah bertulisan "Gerbang Marga Tjhia" menjadi petunjuk untuk masuk ke dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hujan semakin deras saat Tempo dan beberapa media dari Jakarta tiba di sana. Dari teras paling depan rumah yang kini menjadi cagar budaya itu, tersaji kuliner khas, choi pan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Choi pan berasal dari bahasa Hakka, "choi" yang berarti "sayuran" dan "pan" yang berarti "kue". Penganan ini biasa ditemukan di komunitas Cina di Kalimantan Barat dan Bangka Belitung—terkadang juga disebut chai kue. Choi pan Singkawang mengemuka, antara lain, setelah ditampilkan dalam film Aruna & Lidahnya, yang dibintangi Dian Sastrowardoyo pada 2018.
Di Singkawang, penjual choi pan terkemuka adalah To Che, yang berlokasi di rumah tua di Jalan Budi Utomo tersebut. Kue kenyal khas Tionghoa ini tertera di daftar paling atas buku menu mereka.
Terdapat empat varian isi choi pan di To Che, yaitu bengkuang, kucai, rebung, dan talas. Setelah memutuskan menjajal dua pilihan rasa, dalam kurang dari 15 menit, sepiring penuh choi pan tersaji hangat di meja.
Pengunjung menikmati choi pan To Che, Rumah Marga Tjhia, 17 Oktober 2023. Tempo/Ilona Esterina
Choi pan milik To Che ini sangat lembut. Sampai-sampai sering robek saat dicapit sumpit. Teksturnya mirip dimsum, dengan kulit lebih tipis. Sementara kulit dimsum atau siomai menggunakan campuran tepung sagu atau maizena, kulit choi pan dari tepung beras.
Warga Singkawang memiliki cara sendiri dalam menikmati choi pan, yakni melumurinya dengan cabai yang digiling dengan bawang putih. Ada juga yang menambahkan kecap manis. Rasa pedas dan manis cocok dengan kulit choi pan yang lembut dan berbumbu. Renyahnya bengkuang dicampur ebi sebagai isian menambah kenikmatan kudapan berukuran setengah genggaman tangan itu.
Bengkuang merupakan isian yang paling populer bagi penikmat choi pan di Singkawang. Yudi, warga setempat, misalnya, menyukai choi pan bengkuang sejak kecil. “Kami menyebutnya rasa orisinal,” ujarnya di lokasi.
Menurut dia, sebelum varian lain bermunculan, choi pan, ya, isi bengkuang. “Kucai, talas, dan rebung baru saya ketahui setahun belakangan,” kata pria Melayu tersebut.
Yayuk Afdilah, pelayan resto, mengatakan isian bengkuang dan kucai mereka jual sejak awal restoran To Che berdiri pada 1979. Hanya, kucai cukup sulit tumbuh pada waktu kemarau sehingga tidak selalu ada di menu. Sementara itu, isian rebung baru ada sejak restoran tersebut dipegang pemilik baru, yang merupakan anak dari pemilik sebelumnya. “Kalau isian talas memang baru ada setahun belakangan,” kata Yayuk.
Sejak To Che berdiri lebih dari 40 tahun lalu, rasa choi pan-nya tidak berubah. Setidaknya, demikian dikatakan pengunjung dan pemilik. Menurut Yayuk, pemilik resto mempertahankan resep turun-temurun keluarga Tjhia. Untuk menikmati choi pan dengan aneka rasa, pengunjung perlu membayar Rp 2.500 per biji. Kini resto tersebut juga menyediakan choi pan beku untuk melayani pengiriman dari luar Singkawang.
Choi pan To Che menjadi salah satu tempat wisata kuliner yang direkomendasikan pemerintah setempat. Penikmatnya tak hanya warga setempat dan wisatawan lokal, tapi juga pelancong dari Malaysia. Yayuk mengatakan restoran tersebut kerap didatangi warga negara tetangga yang menempuh perjalanan darat. “Kemarin ada sepuluh orang dari Kuching, Malaysia, makan di sini,” kata dia.
Waktu tempuh dari Kuching, kota terbesar di Negara Bagian Sarawak, sekitar lima jam dengan mobil pribadi. Yudi, warga lokal yang menjadi pemandu wisata, mengaku beberapa kali mengantar turis Malaysia dan beberapa kota di luar Kalimantan untuk mencicipi kuliner di To Che. “Dianggap belum sah ke Singkawang kalau belum makan choi pan,” ujarnya, tersenyum.
Choi Pan bengkoang dan kucai di Rumah Marga Tjhia, Pasar Hongkong Singkawang, 17 Oktober 2023. Tempo/Ilona Esterina
Yudi mengatakan choi pan dulu dimasak dengan minyak babi oleh masyarakat Tionghoa setempat. Karena peminatnya mulai banyak, rumah-rumah makan di sana mulai menjual choi pan halal dengan minyak sayur. Kini warga Melayu pun terbiasa membuat choi pan, termasuk ibu dari Yudi. Ada juga restoran bernama Choi Pan Muslim milik warga Melayu di pusat Kota Singkawang.
Di kota yang secara administratif berdiri sejak 17 Oktober 2001 ini, etnis Tionghoa memang penduduk mayoritas, disusul dua suku besar lain, yakni Dayak dan Melayu. Sejumlah bangunan tua di Singkawang menjadi bukti masyarakat Tionghoa telah hadir di sana sejak lama. Seperti rumah keluarga Tjhia yang dibangun pada 1902. Sekitar 100 meter dari sana, terdapat pula Klenteng Pekong Tua yang berdiri sejak akhir abad ke-19.
Singkawang dikenal sebagai Kota Seribu Klenteng. Sebutan itu selaras dengan mencuatnya choi pan sebagai rekomendasi kudapan terdepan.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo