Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dalam bayangan bung karno

Nostalgia suka-duka putra putri bung karno sebagai anak presiden, ketika bung karno masih menjadi presiden. (sd)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK semua orang beruntung, lahir sebagai anak orang gedean. Tapi orang kata, tidak semua orang besar bisa mengenyam bahagia. Kita tidak bisa benar-benar tahu apakah anak-anak almarhum Bung Karno -- misalnya -- bahagia atau tidak. "Dulu setiap perayaan 17 Agustus di istana saya jadi primadona," kata Rachmawati mengenang masa jayanya, Puteri kedua bung Karno dengan Fatmawati itu yang kini 29 tahun, sekarang jadi Nyonya Dicky Suprapto. Ia dekat sekali dengan BK justru karena sakit asma. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah ia dapat sun pipi kanan-kiri. Kalau bengeknya kumat, malam sekalipun, BK selalu repot mencarikan dokter. Sekali peristiwa di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) dalam keadaan sakit parah, BK masih sempat bangun dengan sempoyongan, mencarikan obat, ketika bengek puterinya kumat. Rachmawati sering makan siang dengan ayahnya. Ia juga mendapat perhatian khusus, tatkala nyonya Fatmawati tidak lagi tinggal di istana. Waktu itu usianya 7 tahun. "Kepada pengasuh kami Bu Hadi, bapak pesan anak-anak yang lain kalau mau tinggal sama ibunya boleh, asal jangan Rachma," kata Rachmawati dengan terharu. Pemitosan Sedemikian intimnya Rachmawati dengan sang ayah, sehingga dapat dibayangkan, betapa galau pikirannya ketika almarhum dikarantina di Istana Bogor. Meskipun hal tersebut justru mengakrabkan BK dengan keluarga. Tiap hari anak-anaknya bergantian menengok ke Bogor. Tetapi situasi yang gawat itu sering dibumbui oleh ketakutan. Pada awal tahun 1967 misalnya, Rachmawati mendengar ayahnya tertembak. Ia terkejut setengah mati. "Baru itu dalam hidup saya merasakan shock. Sebelumnya beberapa kali bapak pernah mau dibunuh, saya tidak begitu terpukul, karena waktu itu masih dikelilingi banyak aparat keamanan. Tapi setelah tahun 1966 tidak, jadi saya panik," kata Rachma. Tergopoh-gopoh ia berangkat ke Bogor. Ternyata bapaknya masih segar, didampingi Hartini. "Bapak senyum haru sambil mengatakan itu isu perbuatan Nekolim," kata Rachma. Ia makin rajin menemani ayahnya, juga tatkala dipindahkan ke Batutulis. Dari anak-anaknyalah kemudian, Bung Karno itu mendengar banyak berita dari luar negeri, seperti halnya kejatuhan Norodom Sihanouk di Kamboja. Pada tahun 1969 Rachma diminta ayahnya menghadap Presiden Soeharto di Cendana, supaya bisa pindah dari Batutulis yang kemudian terlalu dingin buatnya. Rachma berhasil. Setahun kemudian, BK memintanya lagi ke Cendana, supaya diizinkan jalan-jalan keliling Jakarta, plus ingin omong-omong dengan Pak Harto secara pribadi, biarpun dengan tangan diborgol. Tapi Rachma tidak bisa melakukan itu. "Saya agak kecewa tidak sempat melaksanakan pesan terakhir," kata Rachma sambil berurai air mata. Kini Rachma bersama Dicky tinggal di sebuah rumah mungil di Tebet dan hidup dari sebuah percetakan. Melihat mobil Mercy abu-abu yang nangkring dl rumahnya, tampaknya keuangan keluarga anak bekas presiden ini lumayan juga. Ia sering mengadakan arisan dengan bekas-bekas sobat BK, seperti Mardanus (bekas Menteri Perhubungan Maritim), Oey Tju Tat, Nyonya Tumbakaka yang disebutnya ibu-ibu Beta (bekas tahanan). Sedangkan hubungannya dengan isteri muda BK tetap ada. "Kita baik-baik saja, tapi tetap formil seperti ada semacam barier," ujarnya. Rachmawati mengaku tertarik sekali dengan politik. Ia memperoleh pengetahuan dasar dalam bidang itu ketika menjadi aktivis GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) tahun 1964. "Tapi sekarang ini momentnya belum tiba untuk terjun dalam dunia itu," ujarnya. Ia tidak melihat kemungkinan untuk terjun ke PDI "Banyak orang PNI yang di PDI vested interest, harus ada kader pelopor baru lagi yang harus dilahirkan," katanya lebih lanjut. Che Guevara Adanya angin baru buat mengenang Bung Karno akhir-akhir ini bagi Rachma sesuatu yang wajar. "Pemitosan BK masih dalam taraf wajar. Tidak usah BK, Mahatma Gandhi pun orang mitoskan. Juga Elvis Presley, sama saja," tuturnya. Lebih terkenal dari Rachmawati, adalah adiknya Sukmawati, puteri keempat BK yang sekarang resminya adalah Nyonya Pangeran Sudjiwo (Solo). Sebelum Guruh terkenal sebagai pencipta lagu, Sukma pernah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi penari. Ia tampil dalam sebuah pertunjukan almarhum Huriah Adam. Kemudian ia muncul di TIM bersama I Kakul mempersembahkan tari klasik Bali. Setelah itu ia hampir saja ikut rombongan Dongeng Dari Dirahnya Sardono ke Paris. Tapi kini Sukma tak mengambil peranan apa-apa lagi. Ia hanya selalu kelihatan kalau Guruh mempersembahkan sesuatu. Belakangan ini minatnya terdengar ia lagi tertarik kepada apa-apa yang Amerika Latin. Ia mengaku sebagai pemuja Che Guevara dan Fiedel Castro. "Saya seorang pengikut Castroisme," ujarnya. Ah, nyonya pangeran yang banyak melamun ini ada-ada saja -- kata seorang kenalan Sukma ketika diminta komentarnya. Sekarang Sukma tinggal di Jalan Sriwijaya ditemani oleh sebuah lukisan Lenin dan Che. Ia sering tampak agak aneh dan sulit dimengerti. Tapi sementara itu ia telah menterjemahkan beberapa sajak tentang Che, di samping menulis sajaksajaknya sendiri. "Ide Castro dan Che ini semacam ide Bung Karno, sangat indah," katanya memuji. Dalam waktu dekat ada rencananya untuk belajar balet di Cuba, sambil mengajarkan gamelan Jawa dan Bali. Tak jelas itu sekedar main ceplos atau memang serius. Dengan Pangeran Sudjiwo, Sukma memperoleh seorang anak. Belakangan ada yang mengatakan hubungan mereka retak. Tetapi Sukma membantah dengan singkat. "Ah biasa-biasa saja," ujarnya. Ia sendiri sering tampak di TIM dikawal oleh orang lain. Hidup sehari-harinya, ia akui dapat sokongan dana dari Guntur. Terhadap soal pemugaran makam ia punya pendapat tersendiri. "Kalau saya tidak kesal makam dipugar," katanya, "Itu suatu gagasan yang baik. Memang sudah seharusnya begitu, yaitu bagaimana caranya menghormati pejuang, pemimpin bangsa. Saya mengucapkan terima kasih kepada pemerintah." Tapi ia sendiri tak hadir dalam upacara pembukaan -- karena itu sudah merupakan keputusan keluarga. Naik Delman Berbeda dengan Sukmawati yang menggebu-gebu bicara sebagai orang revolusioner, Bayu Soekarnoputera, purera kedua BK dengan Hartini diam-diam mempersiapkan dirinya untuk terjun ke politik. Pemuda berkumis tipis (1,72 cm) itu berusia 21 tahun, masih kuliah di FIS-UI tingkat II. Ia menghilangkan kepedihan hati kehilangan bapak, dengan banyak membaca. Ia suka cerita detektip dan berita-berita pergolakan dunia. Aktip dalam grup diskusi UI dan gemar berbincang-bincang mengadu argumentasi. "Saya ingin meneruskan cita-cita bapak dan juga mengembangkan kesenangan politik," ujarnya. Ia satu-satunya anak lelaki BK yang tidak pernah masuk band, meskipun juga mencintai seni. Hidup di istana Bogor yang dihuni BK setiap Jum'at, Sabtu dan Minggu, bagi Bayu itu kenangan yang biasa saja. Di SD Bogor, guru dan kawan-kawannya dulu memperlakukan ia dengan wajar. Hanya kalau berkelahi ia baru merasakan sebagai anak Presiden. Seorang anak lain pasti akan datang melerai sambil bilang kepada lawannya: "Jangan, nanti dibilangin sama bapaknya. Bapaknya kan Presiden!" Bayu juga tak bebas untuk jajan es di pinggir jalan seperti anak-anak lain. Kalau dilanggar dan ketahuan, pengawalnya yang dipanggil komandan lalu disemprot. Karena itu, pada waktu keluar dari Istana sogor tahun 1968 dan pindah ke Jalan Achmad Yani, ia mendapat pengalaman baru. Hidup biasa sebagai warga kota lain, tanpa kawal-kawalan. Ia dapat ngeloyor sesukanya, nyebur ke radio amatir, atau ke rumah kawan cuma pakai celana pendek lalu naik delman. "Itu nostalgia yang indah," kata Bayu. Meskipun harus diakuinya sejak itu ia tak bisa lagi naik helikopter. Bung Karno dulu selalu mengajak Bayu, Taufan dan Hartini putar-putar untuk mencoba kalau ada heli baru. Setelah BK tersingkir, Bayu kadang kala tak enak kalau membaca koran-koran. Tetapi di sekolah ia tidak menerima perlakuan yang menyebabkan ia merasa terkucil. Kawan-kawannya tetap bisa diajak berkawan, tidak kemasukan sentimen politik. Hanya waktu di SMP ada yang pernah bilang "Bapak kamu PKI!" Itupun tidak dengan berhadapan langsung. Kalau sudah begitu, Bayu hanya diam. Sikap itu merupakan kesimpulan dari segala wejangan-wejangan yang diterimanya dari saudara maupun sahabat-sahabat BK. "Semua dipendam, diam adalah lebih baik" kata Bayu. Megawati, puteri pertama BK, adik Guntur, juga lebih banyak memendam diri. Ia tinggal dengan suaminya Taufik Kiemas di Jalan Cempaka Putih dengan tiga orang anak. Rumahnya besar, penuh dengan barang-barang antik. Ia menjalankan sebuah toko bunga. Tetapi agaknya ekonomi keluarga juga merupakan masalah. "Kita juga bingung masa-masa kritis bisa hidup, agak sungsang sumbel juga, tapi yah, pokoknya ada," tuturnya. Dari masa lalunya terbayang bahwa anak seorang Presiden ternyata tidak sekaya yang disangka orang. Soekarno sangat memperhatikan keluarga dan anak-anaknya, tetapi tidak sempat melimpahinya dengan duit. Pada 1962-1963, misalnya, Megawati dan saudara-saudaranya memperoleh uang saku Rp 5000 setiap bulan untuk keperluan tetek bengek sekolah -- di luar pakaian seragam. Tiga bulan sekali BK memeriksa buku tabungan mereka, lalu kasih hadiah buat yang paling banyak menabung. Tetapi lebih beruntung dari Bayu, Megawati bersama Guntur sering dibawa jalanjalan kaki oleh BK, ke desa melihat kehidupan rakyat. Berhubungan dengan para petani di sekitar pasanggrahan Tampak Siring, Bali. Malah makan bersama mereka. Atau naik jip dengan satu-dua orang pengawal berpakaian preman, mengunjungi rumah penduduk yang lain. Kenang-kenangan yang intim dan indah itu tentu saja sekarang selalu membuat ia jadi sedih. "Yang paling pedih rasanya waktu bapak ditahan, statusnya tidak jelas," kata Mega. Waktu itu tentu ia baru tahu bagaimana rasanya jadi anggota keluarga yang orang tuanya ditahan -- suatu nasib yang banyak terjadi baik semasa ataupun sesudah Bung Karno. Ia juga putus kuliah di Fakultas Pertanian Unpad (1965). Karena sebagai anggota GMNI ia konon tidak boleh meneruskan. "Sekarang ada ketidak wajaran dalam mengangkat nama BK Ini sesuai dengan dasar-dasar yang bapak ajarkan permainan politik," kata Mega menilai naiknya kembali nama BK. Bapakku, Guruku Guntur (34 tahun) putera sulung BK yang pernah disangka dan diharapkan orang akan meneruskan tapak kaki bapaknya, juga sampai sekarang belum berhasil. Ia malah memasuki dunia usaha dan kemudian menulis buku dengan judul Bung Karno -- Bapakku, Guruku, Kawanku. Buku itu menjelaskan bahwa anak Presiden pertama RI tetap dapat mengenyam situasi keluarga yang normal, kadangkala juga "gilagilaan" sedikit sebagaimana orang biasa. Satu-satunya putera BK yang sedang menanjak sekarang adalah Guruh. Ia pemusik yang berbakat dan punya cita-cita. Di samping ia juga punya cita-cita untuk satu ketika terjun ke bidang politik. Bayang-bayang bapaknya terasa pada Guruh -- bahkan tanda tangannya saja mirip. Menjadi putera orang besar agaknya seperti memikul beban moril yang berat. "Karena masyarakat selalu mengharapkan dari kita, tindakan-tindakan yang besar," kata Guruh pada satu kesempatan, sebelum bermain di Senayan dengan Swara Mahardhika-nya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus