Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK semua orang beruntung, lahir sebagai anak orang gedean.
Tapi orang kata, tidak semua orang besar bisa mengenyam bahagia.
Kita tidak bisa benar-benar tahu apakah anak-anak almarhum Bung
Karno -- misalnya -- bahagia atau tidak.
"Dulu setiap perayaan 17 Agustus di istana saya jadi primadona,"
kata Rachmawati mengenang masa jayanya, Puteri kedua bung Karno
dengan Fatmawati itu yang kini 29 tahun, sekarang jadi Nyonya
Dicky Suprapto. Ia dekat sekali dengan BK justru karena sakit
asma. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah ia dapat sun pipi
kanan-kiri. Kalau bengeknya kumat, malam sekalipun, BK selalu
repot mencarikan dokter. Sekali peristiwa di Wisma Yaso
(sekarang Museum Satria Mandala) dalam keadaan sakit parah, BK
masih sempat bangun dengan sempoyongan, mencarikan obat, ketika
bengek puterinya kumat.
Rachmawati sering makan siang dengan ayahnya. Ia juga mendapat
perhatian khusus, tatkala nyonya Fatmawati tidak lagi tinggal di
istana. Waktu itu usianya 7 tahun. "Kepada pengasuh kami Bu
Hadi, bapak pesan anak-anak yang lain kalau mau tinggal sama
ibunya boleh, asal jangan Rachma," kata Rachmawati dengan
terharu.
Pemitosan
Sedemikian intimnya Rachmawati dengan sang ayah, sehingga dapat
dibayangkan, betapa galau pikirannya ketika almarhum dikarantina
di Istana Bogor. Meskipun hal tersebut justru mengakrabkan BK
dengan keluarga. Tiap hari anak-anaknya bergantian menengok ke
Bogor. Tetapi situasi yang gawat itu sering dibumbui oleh
ketakutan. Pada awal tahun 1967 misalnya, Rachmawati mendengar
ayahnya tertembak. Ia terkejut setengah mati. "Baru itu dalam
hidup saya merasakan shock. Sebelumnya beberapa kali bapak
pernah mau dibunuh, saya tidak begitu terpukul, karena waktu itu
masih dikelilingi banyak aparat keamanan. Tapi setelah tahun
1966 tidak, jadi saya panik," kata Rachma.
Tergopoh-gopoh ia berangkat ke Bogor. Ternyata bapaknya masih
segar, didampingi Hartini. "Bapak senyum haru sambil mengatakan
itu isu perbuatan Nekolim," kata Rachma. Ia makin rajin menemani
ayahnya, juga tatkala dipindahkan ke Batutulis. Dari
anak-anaknyalah kemudian, Bung Karno itu mendengar banyak berita
dari luar negeri, seperti halnya kejatuhan Norodom Sihanouk di
Kamboja.
Pada tahun 1969 Rachma diminta ayahnya menghadap Presiden
Soeharto di Cendana, supaya bisa pindah dari Batutulis yang
kemudian terlalu dingin buatnya. Rachma berhasil. Setahun
kemudian, BK memintanya lagi ke Cendana, supaya diizinkan
jalan-jalan keliling Jakarta, plus ingin omong-omong dengan Pak
Harto secara pribadi, biarpun dengan tangan diborgol. Tapi
Rachma tidak bisa melakukan itu. "Saya agak kecewa tidak sempat
melaksanakan pesan terakhir," kata Rachma sambil berurai air
mata.
Kini Rachma bersama Dicky tinggal di sebuah rumah mungil di
Tebet dan hidup dari sebuah percetakan. Melihat mobil Mercy
abu-abu yang nangkring dl rumahnya, tampaknya keuangan keluarga
anak bekas presiden ini lumayan juga. Ia sering mengadakan
arisan dengan bekas-bekas sobat BK, seperti Mardanus (bekas
Menteri Perhubungan Maritim), Oey Tju Tat, Nyonya Tumbakaka yang
disebutnya ibu-ibu Beta (bekas tahanan). Sedangkan hubungannya
dengan isteri muda BK tetap ada. "Kita baik-baik saja, tapi
tetap formil seperti ada semacam barier," ujarnya.
Rachmawati mengaku tertarik sekali dengan politik. Ia memperoleh
pengetahuan dasar dalam bidang itu ketika menjadi aktivis GSNI
(Gerakan Siswa Nasional Indonesia) tahun 1964. "Tapi sekarang
ini momentnya belum tiba untuk terjun dalam dunia itu," ujarnya.
Ia tidak melihat kemungkinan untuk terjun ke PDI "Banyak orang
PNI yang di PDI vested interest, harus ada kader pelopor baru
lagi yang harus dilahirkan," katanya lebih lanjut.
Che Guevara
Adanya angin baru buat mengenang Bung Karno akhir-akhir ini bagi
Rachma sesuatu yang wajar. "Pemitosan BK masih dalam taraf
wajar. Tidak usah BK, Mahatma Gandhi pun orang mitoskan. Juga
Elvis Presley, sama saja," tuturnya.
Lebih terkenal dari Rachmawati, adalah adiknya Sukmawati, puteri
keempat BK yang sekarang resminya adalah Nyonya Pangeran Sudjiwo
(Solo). Sebelum Guruh terkenal sebagai pencipta lagu, Sukma
pernah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi penari. Ia tampil
dalam sebuah pertunjukan almarhum Huriah Adam. Kemudian ia
muncul di TIM bersama I Kakul mempersembahkan tari klasik Bali.
Setelah itu ia hampir saja ikut rombongan Dongeng Dari Dirahnya
Sardono ke Paris.
Tapi kini Sukma tak mengambil peranan apa-apa lagi. Ia hanya
selalu kelihatan kalau Guruh mempersembahkan sesuatu. Belakangan
ini minatnya terdengar ia lagi tertarik kepada apa-apa yang
Amerika Latin. Ia mengaku sebagai pemuja Che Guevara dan Fiedel
Castro. "Saya seorang pengikut Castroisme," ujarnya. Ah, nyonya
pangeran yang banyak melamun ini ada-ada saja -- kata seorang
kenalan Sukma ketika diminta komentarnya.
Sekarang Sukma tinggal di Jalan Sriwijaya ditemani oleh sebuah
lukisan Lenin dan Che. Ia sering tampak agak aneh dan sulit
dimengerti. Tapi sementara itu ia telah menterjemahkan beberapa
sajak tentang Che, di samping menulis sajaksajaknya sendiri.
"Ide Castro dan Che ini semacam ide Bung Karno, sangat indah,"
katanya memuji. Dalam waktu dekat ada rencananya untuk belajar
balet di Cuba, sambil mengajarkan gamelan Jawa dan Bali. Tak
jelas itu sekedar main ceplos atau memang serius.
Dengan Pangeran Sudjiwo, Sukma memperoleh seorang anak.
Belakangan ada yang mengatakan hubungan mereka retak. Tetapi
Sukma membantah dengan singkat. "Ah biasa-biasa saja," ujarnya.
Ia sendiri sering tampak di TIM dikawal oleh orang lain. Hidup
sehari-harinya, ia akui dapat sokongan dana dari Guntur.
Terhadap soal pemugaran makam ia punya pendapat tersendiri.
"Kalau saya tidak kesal makam dipugar," katanya, "Itu suatu
gagasan yang baik. Memang sudah seharusnya begitu, yaitu
bagaimana caranya menghormati pejuang, pemimpin bangsa. Saya
mengucapkan terima kasih kepada pemerintah." Tapi ia sendiri tak
hadir dalam upacara pembukaan -- karena itu sudah merupakan
keputusan keluarga.
Naik Delman
Berbeda dengan Sukmawati yang menggebu-gebu bicara sebagai orang
revolusioner, Bayu Soekarnoputera, purera kedua BK dengan
Hartini diam-diam mempersiapkan dirinya untuk terjun ke politik.
Pemuda berkumis tipis (1,72 cm) itu berusia 21 tahun, masih
kuliah di FIS-UI tingkat II. Ia menghilangkan kepedihan hati
kehilangan bapak, dengan banyak membaca. Ia suka cerita
detektip dan berita-berita pergolakan dunia. Aktip dalam grup
diskusi UI dan gemar berbincang-bincang mengadu argumentasi.
"Saya ingin meneruskan cita-cita bapak dan juga mengembangkan
kesenangan politik," ujarnya. Ia satu-satunya anak lelaki BK
yang tidak pernah masuk band, meskipun juga mencintai seni.
Hidup di istana Bogor yang dihuni BK setiap Jum'at, Sabtu dan
Minggu, bagi Bayu itu kenangan yang biasa saja. Di SD Bogor,
guru dan kawan-kawannya dulu memperlakukan ia dengan wajar.
Hanya kalau berkelahi ia baru merasakan sebagai anak Presiden.
Seorang anak lain pasti akan datang melerai sambil bilang kepada
lawannya: "Jangan, nanti dibilangin sama bapaknya. Bapaknya kan
Presiden!"
Bayu juga tak bebas untuk jajan es di pinggir jalan seperti
anak-anak lain. Kalau dilanggar dan ketahuan, pengawalnya yang
dipanggil komandan lalu disemprot. Karena itu, pada waktu keluar
dari Istana sogor tahun 1968 dan pindah ke Jalan Achmad Yani, ia
mendapat pengalaman baru. Hidup biasa sebagai warga kota lain,
tanpa kawal-kawalan. Ia dapat ngeloyor sesukanya, nyebur ke
radio amatir, atau ke rumah kawan cuma pakai celana pendek lalu
naik delman. "Itu nostalgia yang indah," kata Bayu. Meskipun
harus diakuinya sejak itu ia tak bisa lagi naik helikopter. Bung
Karno dulu selalu mengajak Bayu, Taufan dan Hartini putar-putar
untuk mencoba kalau ada heli baru.
Setelah BK tersingkir, Bayu kadang kala tak enak kalau membaca
koran-koran. Tetapi di sekolah ia tidak menerima perlakuan yang
menyebabkan ia merasa terkucil. Kawan-kawannya tetap bisa diajak
berkawan, tidak kemasukan sentimen politik. Hanya waktu di SMP
ada yang pernah bilang "Bapak kamu PKI!" Itupun tidak dengan
berhadapan langsung. Kalau sudah begitu, Bayu hanya diam. Sikap
itu merupakan kesimpulan dari segala wejangan-wejangan yang
diterimanya dari saudara maupun sahabat-sahabat BK. "Semua
dipendam, diam adalah lebih baik" kata Bayu.
Megawati, puteri pertama BK, adik Guntur, juga lebih banyak
memendam diri. Ia tinggal dengan suaminya Taufik Kiemas di Jalan
Cempaka Putih dengan tiga orang anak. Rumahnya besar, penuh
dengan barang-barang antik. Ia menjalankan sebuah toko bunga.
Tetapi agaknya ekonomi keluarga juga merupakan masalah. "Kita
juga bingung masa-masa kritis bisa hidup, agak sungsang sumbel
juga, tapi yah, pokoknya ada," tuturnya.
Dari masa lalunya terbayang bahwa anak seorang Presiden ternyata
tidak sekaya yang disangka orang. Soekarno sangat memperhatikan
keluarga dan anak-anaknya, tetapi tidak sempat melimpahinya
dengan duit. Pada 1962-1963, misalnya, Megawati dan
saudara-saudaranya memperoleh uang saku Rp 5000 setiap bulan
untuk keperluan tetek bengek sekolah -- di luar pakaian seragam.
Tiga bulan sekali BK memeriksa buku tabungan mereka, lalu kasih
hadiah buat yang paling banyak menabung.
Tetapi lebih beruntung dari Bayu, Megawati bersama Guntur
sering dibawa jalanjalan kaki oleh BK, ke desa melihat kehidupan
rakyat. Berhubungan dengan para petani di sekitar pasanggrahan
Tampak Siring, Bali. Malah makan bersama mereka. Atau naik jip
dengan satu-dua orang pengawal berpakaian preman, mengunjungi
rumah penduduk yang lain. Kenang-kenangan yang intim dan indah
itu tentu saja sekarang selalu membuat ia jadi sedih.
"Yang paling pedih rasanya waktu bapak ditahan, statusnya tidak
jelas," kata Mega. Waktu itu tentu ia baru tahu bagaimana
rasanya jadi anggota keluarga yang orang tuanya ditahan -- suatu
nasib yang banyak terjadi baik semasa ataupun sesudah Bung
Karno. Ia juga putus kuliah di Fakultas Pertanian Unpad (1965).
Karena sebagai anggota GMNI ia konon tidak boleh meneruskan.
"Sekarang ada ketidak wajaran dalam mengangkat nama BK Ini
sesuai dengan dasar-dasar yang bapak ajarkan permainan politik,"
kata Mega menilai naiknya kembali nama BK.
Bapakku, Guruku
Guntur (34 tahun) putera sulung BK yang pernah disangka dan
diharapkan orang akan meneruskan tapak kaki bapaknya, juga
sampai sekarang belum berhasil. Ia malah memasuki dunia usaha
dan kemudian menulis buku dengan judul Bung Karno -- Bapakku,
Guruku, Kawanku. Buku itu menjelaskan bahwa anak Presiden
pertama RI tetap dapat mengenyam situasi keluarga yang normal,
kadangkala juga "gilagilaan" sedikit sebagaimana orang biasa.
Satu-satunya putera BK yang sedang menanjak sekarang adalah
Guruh. Ia pemusik yang berbakat dan punya cita-cita. Di samping
ia juga punya cita-cita untuk satu ketika terjun ke bidang
politik. Bayang-bayang bapaknya terasa pada Guruh -- bahkan
tanda tangannya saja mirip. Menjadi putera orang besar agaknya
seperti memikul beban moril yang berat. "Karena masyarakat
selalu mengharapkan dari kita, tindakan-tindakan yang besar,"
kata Guruh pada satu kesempatan, sebelum bermain di Senayan
dengan Swara Mahardhika-nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo