Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menimbang Detoks Media Sosial

Penelitian menunjukkan betapa sedikitnya partisipan yang merindukan media sosial setelah diminta mengurangi penggunaannya.

7 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat usia kerja yang memiliki akses Internet menghabiskan lebih dari 2,5 jam per hari di media sosial.

  • Sedikitnya partisipan penelitian yang merindukan media sosial setelah diminta menguranginya.

  • Ada penurunan emosi negatif ketika partisipan mengurangi penggunaan media sosial.

Tak jadi soal apakah kamu seorang influencer, pengunggah konten berkala, ataupun sekadar pengintai, kemungkinan besar kamu menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang kamu inginkan di media sosial. Secara global, masyarakat usia kerja yang memiliki akses Internet kini menghabiskan lebih dari 2,5 jam per hari di platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, ataupun X (Twitter).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penggunaan media sosial bisa menjadi berlebihan dan menimbulkan masalah jika mengganggu sekolah atau pekerjaan, menyebabkan konflik dalam hubungan, atau membahayakan kesehatan mental. Meskipun tidak secara resmi diakui sebagai gangguan kesehatan mental, beberapa ilmuwan bahkan berpendapat bahwa penggunaan media sosial yang bermasalah merupakan sebuah “kecanduan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat kamu mendapati dirimu mengecek medsos secara berlebihan, kamu mungkin memutuskan sudah waktunya untuk melakukan “diet” atau “detoks” digital—mengurangi penggunaan secara drastis atau bahkan menghindari media sosial sepenuhnya selama beberapa hari. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian baru kami, pendekatan ini tak hanya dapat mengurangi dampak negatif, tapi juga dampak positif media sosial.

Faktanya, kami terkejut melihat betapa sedikitnya partisipan penelitian kami yang merindukan media sosial ketika kami meminta mereka mengurangi penggunaannya.

Ilustrasi menghapus soial media. Shutterstock


Dalam studi terbaru, kami meminta peserta melakukan diet media sosial. Sebanyak 51 orang mencoba untuk tidak menggunakan media sosial selama satu pekan. Kami melacak perilaku dan pengalaman mereka melalui survei yang dikirim ke telepon seluler mereka sepanjang hari serta tugas komputer dalam lingkungan yang terkendali.

Kami menemukan bahwa hanya sebagian kecil peserta yang abstain sepenuhnya. Namun sebagian besar mampu mengurangi penggunaan media sosial secara signifikan, dari rata-rata tiga hingga empat jam sehari sebelum penelitian menjadi hanya setengah jam. Bahkan setelah periode pantang, penggunaan media sosial sehari-hari para partisipan masih jauh di bawah tingkat sebelum penelitian.

Dampak pembatasan penggunaan media sosial


Namun berbeda dengan beberapa studi detoks digital sebelumnya, kami tidak melihat adanya kenaikan tingkat wellbeing atau kesejahteraan peserta studi kami. Sebaliknya, mereka melaporkan penurunan emosi positif selama periode pantang.

Media sosial memberikan imbalan sosial yang kuat dan terukur melalui tombol suka, berbagi, dan mendapatkan pengikut. Meskipun juga menawarkan hiburan serta kesenangan singkat, penelitian menunjukkan sering kali penghargaan sosial inilah yang mendorong pengecekan media sosial secara kompulsif.

Manusia adalah makhluk sosial—merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, diterima, dan menerima pujian adalah kebutuhan universal. Media sosial adalah alat yang mudah digunakan dan dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan ini kapan pun serta di mana pun kita mau. Selain itu, media sosial menyediakan koneksi yang mungkin tidak ada di dunia kerja jarak jauh.

Namun imbalan sosial ini dapat dengan cepat berubah menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Menerima likes bisa berubah menjadi mengejar likes dan ada perasaan kecewa jika performa unggahanmu lebih buruk daripada yang diharapkan. Melihat kehidupan orang lain dapat menimbulkan fomo (takut ketinggalan) atau rasa iri, dan dalam kasus terburuk, pengguna mungkin menjadi korban komentar yang tidak menyenangkan atau penuh kebencian.

Karena itu, kami juga mengamati adanya penurunan emosi negatif ketika partisipan mengurangi penggunaan media sosial. Perasaan sengsara, sedih, dan marah mereka berkurang selama penelitian.

Secara keseluruhan, tidak menggunakan media sosial tampaknya menghilangkan emosi positif dan negatif—bagi sebagian orang, dampak keseluruhannya terhadap wellbeing mungkin nol.

Ilustrasi detoks sosial media. Shutterstock

Bisakah kita kecanduan media sosial?

Temuan yang mungkin paling mencerahkan adalah betapa sedikitnya peserta kami yang merindukan media sosial. Mereka tidak melaporkan adanya peningkatan keinginan, desakan, ataupun hasrat untuk mengecek akun mereka selama masa penelitian, meskipun waktu penggunaan perangkat mereka berkurang secara drastis.

Tampaknya pembatasan penggunaan media sosial tidak menimbulkan gejala “putus asa” seperti yang sering terlihat ketika menghentikan penggunaan narkoba. Karena itu, kami mengimbau untuk berhati-hati dalam menggunakan istilah seperti “kecanduan” ketika membicarakan penggunaan media sosial.

Pembingkaian penggunaan media sosial dalam istilah kecanduan berisiko menjelek-jelekkan teknologi dan membuat perilaku normal menjadi patologis. Pelabelan pengguna sebagai “pecandu” dapat menimbulkan stigma dan mengabaikan masalah psikologis lain yang mungkin mendasari perilaku penggunaan berlebihan. Dalam pandangan kami, istilah kecanduan seharusnya digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit, yang melibatkan perubahan jangka panjang dalam sistem penghargaan otak.

Pada akhirnya, media sosial memiliki aspek positif dan negatif, serta mungkin saja bagian negatifnya membuat orang merasa perlu melakukan detoksifikasi.

Mungkin cara berpikir yang lebih baik untuk meningkatkan hubunganmu dengan media sosial serupa dengan caramu berpikir untuk memperbaiki pola makan. Baik makanan maupun media sosial memuaskan hasrat alami—energi dan kontak sosial bagi manusia.

Dalam kedua kasus tersebut, kamu perlu mengetahui batasanmu dan memprioritaskan imbalan sosial yang sehat. Ini mungkin berarti mengubah pandanganmu tentang seberapa terhubung atau disukainya eksistensimu di media sosial dan berhenti mengikuti akun atau menghapus aplikasi yang membuatmu merasa buruk. (*)
 

Artikel ini ditulis oleh Niklas Ihssen, Associate professor di Durham University dan Michael Wadsley, mahasiswa PhD, Durham University. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus