Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI gadis Indo-Belanda, Caroline Van Der Velde cantik.
Sayangnya sejak 13 Juni 1977 lalu tiba-tiba ia jadi gadis bisu.
Mulutnya kelihatan bergerak normal menggambarkan apa yang sedang
diucapkan, tapi yang keluar hanya suara yang mendesis.
"Kecelakaan" itu memang tidak sampai mengganggu suksesnya di
sekolah (ia baru saja naik ke kelas IV Mavo, setaraf kelas 1
SMA, dengan nilai paling rendah 7), tapi sebagai seorang gadis
yang meningkat dewasa kebisuan itu tentu memprihatinkan.
Karena itu keluarga Caroline berusaha keras mencarikan obatnya.
Mulai dari dokter spesialis THT, ahli jantung sampai ke
psikiater sudah didatanginya namun tidak memulangkan hasil.
Bahkan para dokter di rumah sakit Ropke Zweers di kota
Handenberg, meskipun sebulan penuh merawat Caroline, tetap tidak
berhasil.
O ya, Caroline ini, lahir dan dibesarkan di kota Hardenberg.
Bapaknya asli Belanda, tapi ibunya Indo Belanda yang berasal
dari Tuban (Jawa Timur). Ibunya ini memiliki 2 saudara kandung
yang semuanya masih menetap di Indonesia yang satu di Surabaya,
satunya lagi di Malang. Ibu Caroline sampai ke negeri Belanda
mengikuti neneknya yang diboyong oleh Van Der Velde ketika
Jepang memasuki Indonesia.
Bibi Dengar
Berita membisunya Caroline itu tak ayal lagi sampai ke telinga
bibinya yang di Surabaya maupun yang di Malang. Bibinya inilah
yang menyarankan agar Caroline bisa disembuhkan oleh ahli
pengobatan non medis yang banyak terdapat di Indonesia,' begitu
bibinya menulis surat.
Setelah sepuluh bulan berpindah-pindah dokter tanpa hasil,
Caroline tertarik pada tawaran bibinya itu. Apalagi dia sendiri
belum pernah melihat Indonesia -- kecuali hanya melalui cerita
dari mulut ke mulut. Neneknya, Ny. Van Der Velde sanggup
mengantarkan sambil melepaskan rasa rindu terhadap dua anaknya
yang di Jawa. Tanggal 2 Juni lalu sampailah Caroline dan
neneknya di Surabaya sebagai gadis bisu.
Sesuai dengan janji yang ditulis dalam surat, bibinya segera
membawa Caroline ke seorang ahli pengobatan non medis.
Didatanginya pastur Ploogman di Purworejo (Jawa Tengah). Di sini
Caroline dipijat, diminumi ramuan dan akhirnya diobati dengan
tusuk jarum. Menurut pastur sendiri, pengobatan itu tidak cukup
sekali, tapi harus beberapa kali. Setelah kunjungan pertama 14
Juni itu, pastur minta agar Caroline dibawa lagi 7 Agustus untuk
pengobatan kedua.
Caroline sebenarnya kepingin datang lagi 7 Agustus itu, tapi
Paus Paulus di Vatikan keburu meninggal dunia. Apa hubungannya?
"Pastur Ploogman melayat ke sana," kata bibinya yang wanti-wanti
untuk tidak disebut namanya. Maklumlah, isteri seorang yang
punya nama.
Alternatip lain segera dicari. Kini bibinya yang di Malang yang
menawarkan agar Caroline dibawa saja ke seorang ahli kebatinan
yang selama ini dikenal dengan sebutan "Aba Malang". Karena
tanggal 13 Agustus Caroline sudah harus kembali ke Belanda,
tawaran itu diterima dengan harapan penyakitnya sudah bisa
lenyap sebelum deadline.
Tengkuk Dihantam
Di rumah "Aba Malang" ini, ia diberi obat berupa jinten dan 2
lembar kertas bertuliskan Arab. Kegunaannya: jinten untuk
dimakan sedang kedua kertas itu harus dibakar. Abu dari kertas
yang satu dimasukkan dalam air yang dipersiapkan untuk mandi.
Sedang abu dari kertas satunya lagi diusap-usapkan ke jidat.
Anehnya, Caroline tidak bisa menerima cara pengobatan begitu.
Maklumlah ia selalu mendapat didikan yang serba masuk akal.
Kedua bibi dan neneknya pun putus asa. Maka mereka memutuskan
untuk kembali ke Belanda. Tiket pun dipesan sudah. Malam 13
Agustus itu diadakan perpisahan keluarga karena keesokan harinya
Caroline kembali ke Belanda. Untuk mengucapkan "selamat jalan"
itu pula, seorang kenalan lama Ny. Van Der Velde yang di
Pamekasan datang ke Surabaya. Tapi betapa terkejutnya kenalan
itu (namanya Van Lingen) melihat Caroline masih bisu. "Dari pada
pulang tanpa hasil, sebaiknya Caroline dibawa dulu ke bung
Frans," ujar Van Lingen. Yang dimaksud adalah Frans Firdaus
Idrus Tubagus yang selama ini memang dikenal bisa menyembuhkan
berbagai penyakit. Letjen Alamsyah (kini Menteri Agama) adalah
bekas pasien Frans ketika masih menderita sakit "tidak bisa
berjalan" tahun 1974. Ini kata Frans sendiri kepada TEMPO.
Setelah dipikir panjang, saran itu pun diterima. Malam "selamat
jalan" pun diganti dengan silaturrahmi biasa. Tiket Singapura
Airlines juga dibatalkan. Malam hari itu juga Caroline dibawa ke
rumah Frans di Bratajaya XIX/4 Surabaya. "Mula-mula saya hanya
dipandapgi saja oleh Oom Frans," ujar Caroline lewat penterjemah
yang tidak lain suami bibinya sendiri. "Ee, Oom Frans ternyata
menganggap enteng penyakit saya, dengan mengatakan ah, ini
penyakit gampang, bisa disembuhkan" katanya lagi. Ucapan Frans
dalam bahasa Belanda yang bisa menimbulkan efek sugestip ini
sangat berkesan di hati Caroline.
Keesokan harinya, sesuai dengan perintah Frans, Caroline mulai
menjalani pengobatan. Kakinya distoon dengan air es bergantian
dengan air panas (46 derajat C). "Supaya peredaran darah
Caroline normal kembali," ujar Frans pada TEMPO.
Besoknya lagi, cara serupa itu diulangi lagi, hanya saja derajat
air panasnya dinaikkan satu derajat. Airnya pun diganti dengan
air yang mengandung ramuan daun pisang kluthuk yang masih muda.
Kini tidak hanya kakinya yang harus distoom tapi juga
ubun-ubunnya. Hanya untuk ubun-ubun ini, airnya diberi ramuan
limau nipis. Ketika kepalanya lagi di dalam air inilah,
tiba-tiba lengan Frans yang kekar itu menghantam tengkuk
sebanyak 3 kali. Fungsi tamparan ini menurut Frans untuk
memulihkan kerja syaraf yang terganggu.
Diagnose ahli kebatinan yang pernah jadi jagoan "sirkuit Ancol"
itu penyakit Caro]ine disebabkan oleh tekanan batin, lantaran
sikap atau tindak laku ayahnya sendiri. Frans tak bersedia
menerangkan lebih terperinci, sebab "ini kan soal pribadinya."
Benar atau tidak, menurut keterangan neneknya, Caroline anak
perempuan satu-satunya dari Van Der Velde, hingga ia adalah
kesayangan sang ayah.
Dugaan neneknya, tekanan batin itu datang dari teman-teman
sekolahnya terutama sejak terjadinya aksi-aksi teror kelompok
minoritas IMS, di Nederland tahun lalu. Caroline meskipun
berkulit putih bersih, tapi di Belanda tokh berbeda dengan kulit
anak Belanda totok. Teman-temannya yang totok itu menurut
neneknya selalu "mendiamkan" Caroline ketika RMS beraksi.
Caroline sendiri mengatakan "tak pernah saya anggap besar" sikap
temannya itu. "Tapi barangkali secara tak disadari," kata Frans
menduga, "sikap teman-teman totoknya dan kasih berlebihan dari
sang ayah telah menggerogoti batinnya. Kemudian berakhir dengan
gangguan pada syaraf yang mengontrol kerja selaput suaranya."
Laos Merah
Hari Selasa itu Caroline ditanya pula oleh Frans, "malam tadi
kau mimpi apa?" Caroline masih belum juga bersuara. Hanya dari
bisikan serta gerak mulutnya bisa ditangkap, bahwa ia tidak
bermimpi apa-apa. Maka ia pun harus datang lagi esoknya. Rabu
itu "obat ditambah dengan ramuan laos merah yang diparut setiap
kali minum sebanyak 25 gram. Kepadanya diberikan 1 kg laos
merah. Sebab menurut perkiraan ahli kebatinan yang tinggi kekar
itu, penyakit Caroline bisa sembuh dalam 2 minggu. Tapi
belakangan malah ramalan dipercepat: Caroline akan sembuh hari
Jum'at lusa.
"Keyakinan saya bahwa saya akan sembuh kian hari kian besar,"
tutur Caroline. Selama ia berobat ia sempat menyaksikan seorang
pasien yang lumpuh datang digendong, tapi waktu keluar dari
tempat praktek Frans di balai RW Bratajaya sudah bisa berjalan
sendiri. "Semua itu seperti mimpi saja kelihatannya," sambung
Caroline.
Maka Rabu malam itu ia pun tidur dengan pulasnya. Ditingkahi
oleh sebuah mimpi yang begitu berkesan dalam hatinya. "Saya
berada dalam suatu ruang sunyi. Kemudian ada suara tanpa
mengetahui dari mana asalnya: 'Kamu sudah bisa bicara, bicaralah
tapi pelan saja. Dan mulailah dengan kata air'. Saya ingat
sekali," kata Caroline.
Paginya, 17 Agustus, ia pun segera menuturkan isi mimpinya
kepada bibinya. Dan tepat ketika ia mengucap water (air),
suaranya sudah terdengar jelas. "Saya sudah lebih baik," ucapnya
selanjutnya. Kalimatnya yang ke-3 "Paman Frans pintar." Dan
meledaklah kegembiraan di seantero rumah, mendengar tiga potong
kalimat bahasa Belanda itu.
Ini segera diberitahukan kepada Frans siang itu juga. Entah
bagaimana keluarga itu mengucap terima kasih kepadanya. Yang
jelas Frans tak pernah memungut biaya sepeser pun dari para
pasiennya. Tapi ia menerima bila ada seorang pasien yang
berhasil disembuhkan kemudian memberi sesuatu sebagai tanda
terimakasihnya.
Hal lain yang diperoleh Caroline selain kesembuhan tadi, ialah
anjuran Frans agar gadis itu untuk percaya kepada Tuhan. Agar
gadis yang tak terdidik agama itu selalu berdoa, dan menghormati
orang tua dan janganlah menyakiti hati orang lain.
Frans yang Indo itu memang bertolak dari ajaran tasauf-lslam. Ia
rajin bersolat dan pernah naik haji. Setiap akan mengobati
pasiennya ia akan mengucap Bismillahirohmannirrohim. Ia pun
mengaku: "Semuanya itu sesungguhnya untuk membuktikan kebesaran
agama Islam. "
"Yang menarik, ia pun sering memberikan nomor alo untuk
teman-temannya. Juga cara pengobatannya nampak bercampur dengan
unsur kejawen, misalnya dengan kembang setaman.
Kasus seperti yang dialami Caroline pernah pula ia temui pada 2
orang sebelumnya. Yang pertama ialah Candy Lilian, seorang
peragawati IMA (Indonesian Model Association) yang hilang suara
akibat terlalu banyak memakan obat anti gemuk. Yang lain seorang
lagi bekas Dan Ramil di Surabaya.
Beranak 4 orang, tapi sudah bercerai dengan isterinya yang di
Jakarta, dalam membujangnya lagi kini, Frans lebih getol dengan
hobbynya mobil balap, ayam aduan dan jual beli mobil. Di samping
itu ia sering mengadakan demonstrasi dengan pengobatan massal.
Di Madura misalnya secara demonstratif ia seketika bisa
menyembuhkan seorang yang bisu dan lumpuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo