Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dan Gadis Itupun Sembuhlah

Pengobatan non medis dengan unsur kejawen & ajaran tasauf Islam yang dilakukan oleh Fans Firdaus Idrus Tubagus dari Surabaya dapat menyembuhkan gadis bisu Caroline dari Belanda.(ksh)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI gadis Indo-Belanda, Caroline Van Der Velde cantik. Sayangnya sejak 13 Juni 1977 lalu tiba-tiba ia jadi gadis bisu. Mulutnya kelihatan bergerak normal menggambarkan apa yang sedang diucapkan, tapi yang keluar hanya suara yang mendesis. "Kecelakaan" itu memang tidak sampai mengganggu suksesnya di sekolah (ia baru saja naik ke kelas IV Mavo, setaraf kelas 1 SMA, dengan nilai paling rendah 7), tapi sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa kebisuan itu tentu memprihatinkan. Karena itu keluarga Caroline berusaha keras mencarikan obatnya. Mulai dari dokter spesialis THT, ahli jantung sampai ke psikiater sudah didatanginya namun tidak memulangkan hasil. Bahkan para dokter di rumah sakit Ropke Zweers di kota Handenberg, meskipun sebulan penuh merawat Caroline, tetap tidak berhasil. O ya, Caroline ini, lahir dan dibesarkan di kota Hardenberg. Bapaknya asli Belanda, tapi ibunya Indo Belanda yang berasal dari Tuban (Jawa Timur). Ibunya ini memiliki 2 saudara kandung yang semuanya masih menetap di Indonesia yang satu di Surabaya, satunya lagi di Malang. Ibu Caroline sampai ke negeri Belanda mengikuti neneknya yang diboyong oleh Van Der Velde ketika Jepang memasuki Indonesia. Bibi Dengar Berita membisunya Caroline itu tak ayal lagi sampai ke telinga bibinya yang di Surabaya maupun yang di Malang. Bibinya inilah yang menyarankan agar Caroline bisa disembuhkan oleh ahli pengobatan non medis yang banyak terdapat di Indonesia,' begitu bibinya menulis surat. Setelah sepuluh bulan berpindah-pindah dokter tanpa hasil, Caroline tertarik pada tawaran bibinya itu. Apalagi dia sendiri belum pernah melihat Indonesia -- kecuali hanya melalui cerita dari mulut ke mulut. Neneknya, Ny. Van Der Velde sanggup mengantarkan sambil melepaskan rasa rindu terhadap dua anaknya yang di Jawa. Tanggal 2 Juni lalu sampailah Caroline dan neneknya di Surabaya sebagai gadis bisu. Sesuai dengan janji yang ditulis dalam surat, bibinya segera membawa Caroline ke seorang ahli pengobatan non medis. Didatanginya pastur Ploogman di Purworejo (Jawa Tengah). Di sini Caroline dipijat, diminumi ramuan dan akhirnya diobati dengan tusuk jarum. Menurut pastur sendiri, pengobatan itu tidak cukup sekali, tapi harus beberapa kali. Setelah kunjungan pertama 14 Juni itu, pastur minta agar Caroline dibawa lagi 7 Agustus untuk pengobatan kedua. Caroline sebenarnya kepingin datang lagi 7 Agustus itu, tapi Paus Paulus di Vatikan keburu meninggal dunia. Apa hubungannya? "Pastur Ploogman melayat ke sana," kata bibinya yang wanti-wanti untuk tidak disebut namanya. Maklumlah, isteri seorang yang punya nama. Alternatip lain segera dicari. Kini bibinya yang di Malang yang menawarkan agar Caroline dibawa saja ke seorang ahli kebatinan yang selama ini dikenal dengan sebutan "Aba Malang". Karena tanggal 13 Agustus Caroline sudah harus kembali ke Belanda, tawaran itu diterima dengan harapan penyakitnya sudah bisa lenyap sebelum deadline. Tengkuk Dihantam Di rumah "Aba Malang" ini, ia diberi obat berupa jinten dan 2 lembar kertas bertuliskan Arab. Kegunaannya: jinten untuk dimakan sedang kedua kertas itu harus dibakar. Abu dari kertas yang satu dimasukkan dalam air yang dipersiapkan untuk mandi. Sedang abu dari kertas satunya lagi diusap-usapkan ke jidat. Anehnya, Caroline tidak bisa menerima cara pengobatan begitu. Maklumlah ia selalu mendapat didikan yang serba masuk akal. Kedua bibi dan neneknya pun putus asa. Maka mereka memutuskan untuk kembali ke Belanda. Tiket pun dipesan sudah. Malam 13 Agustus itu diadakan perpisahan keluarga karena keesokan harinya Caroline kembali ke Belanda. Untuk mengucapkan "selamat jalan" itu pula, seorang kenalan lama Ny. Van Der Velde yang di Pamekasan datang ke Surabaya. Tapi betapa terkejutnya kenalan itu (namanya Van Lingen) melihat Caroline masih bisu. "Dari pada pulang tanpa hasil, sebaiknya Caroline dibawa dulu ke bung Frans," ujar Van Lingen. Yang dimaksud adalah Frans Firdaus Idrus Tubagus yang selama ini memang dikenal bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Letjen Alamsyah (kini Menteri Agama) adalah bekas pasien Frans ketika masih menderita sakit "tidak bisa berjalan" tahun 1974. Ini kata Frans sendiri kepada TEMPO. Setelah dipikir panjang, saran itu pun diterima. Malam "selamat jalan" pun diganti dengan silaturrahmi biasa. Tiket Singapura Airlines juga dibatalkan. Malam hari itu juga Caroline dibawa ke rumah Frans di Bratajaya XIX/4 Surabaya. "Mula-mula saya hanya dipandapgi saja oleh Oom Frans," ujar Caroline lewat penterjemah yang tidak lain suami bibinya sendiri. "Ee, Oom Frans ternyata menganggap enteng penyakit saya, dengan mengatakan ah, ini penyakit gampang, bisa disembuhkan" katanya lagi. Ucapan Frans dalam bahasa Belanda yang bisa menimbulkan efek sugestip ini sangat berkesan di hati Caroline. Keesokan harinya, sesuai dengan perintah Frans, Caroline mulai menjalani pengobatan. Kakinya distoon dengan air es bergantian dengan air panas (46 derajat C). "Supaya peredaran darah Caroline normal kembali," ujar Frans pada TEMPO. Besoknya lagi, cara serupa itu diulangi lagi, hanya saja derajat air panasnya dinaikkan satu derajat. Airnya pun diganti dengan air yang mengandung ramuan daun pisang kluthuk yang masih muda. Kini tidak hanya kakinya yang harus distoom tapi juga ubun-ubunnya. Hanya untuk ubun-ubun ini, airnya diberi ramuan limau nipis. Ketika kepalanya lagi di dalam air inilah, tiba-tiba lengan Frans yang kekar itu menghantam tengkuk sebanyak 3 kali. Fungsi tamparan ini menurut Frans untuk memulihkan kerja syaraf yang terganggu. Diagnose ahli kebatinan yang pernah jadi jagoan "sirkuit Ancol" itu penyakit Caro]ine disebabkan oleh tekanan batin, lantaran sikap atau tindak laku ayahnya sendiri. Frans tak bersedia menerangkan lebih terperinci, sebab "ini kan soal pribadinya." Benar atau tidak, menurut keterangan neneknya, Caroline anak perempuan satu-satunya dari Van Der Velde, hingga ia adalah kesayangan sang ayah. Dugaan neneknya, tekanan batin itu datang dari teman-teman sekolahnya terutama sejak terjadinya aksi-aksi teror kelompok minoritas IMS, di Nederland tahun lalu. Caroline meskipun berkulit putih bersih, tapi di Belanda tokh berbeda dengan kulit anak Belanda totok. Teman-temannya yang totok itu menurut neneknya selalu "mendiamkan" Caroline ketika RMS beraksi. Caroline sendiri mengatakan "tak pernah saya anggap besar" sikap temannya itu. "Tapi barangkali secara tak disadari," kata Frans menduga, "sikap teman-teman totoknya dan kasih berlebihan dari sang ayah telah menggerogoti batinnya. Kemudian berakhir dengan gangguan pada syaraf yang mengontrol kerja selaput suaranya." Laos Merah Hari Selasa itu Caroline ditanya pula oleh Frans, "malam tadi kau mimpi apa?" Caroline masih belum juga bersuara. Hanya dari bisikan serta gerak mulutnya bisa ditangkap, bahwa ia tidak bermimpi apa-apa. Maka ia pun harus datang lagi esoknya. Rabu itu "obat ditambah dengan ramuan laos merah yang diparut setiap kali minum sebanyak 25 gram. Kepadanya diberikan 1 kg laos merah. Sebab menurut perkiraan ahli kebatinan yang tinggi kekar itu, penyakit Caroline bisa sembuh dalam 2 minggu. Tapi belakangan malah ramalan dipercepat: Caroline akan sembuh hari Jum'at lusa. "Keyakinan saya bahwa saya akan sembuh kian hari kian besar," tutur Caroline. Selama ia berobat ia sempat menyaksikan seorang pasien yang lumpuh datang digendong, tapi waktu keluar dari tempat praktek Frans di balai RW Bratajaya sudah bisa berjalan sendiri. "Semua itu seperti mimpi saja kelihatannya," sambung Caroline. Maka Rabu malam itu ia pun tidur dengan pulasnya. Ditingkahi oleh sebuah mimpi yang begitu berkesan dalam hatinya. "Saya berada dalam suatu ruang sunyi. Kemudian ada suara tanpa mengetahui dari mana asalnya: 'Kamu sudah bisa bicara, bicaralah tapi pelan saja. Dan mulailah dengan kata air'. Saya ingat sekali," kata Caroline. Paginya, 17 Agustus, ia pun segera menuturkan isi mimpinya kepada bibinya. Dan tepat ketika ia mengucap water (air), suaranya sudah terdengar jelas. "Saya sudah lebih baik," ucapnya selanjutnya. Kalimatnya yang ke-3 "Paman Frans pintar." Dan meledaklah kegembiraan di seantero rumah, mendengar tiga potong kalimat bahasa Belanda itu. Ini segera diberitahukan kepada Frans siang itu juga. Entah bagaimana keluarga itu mengucap terima kasih kepadanya. Yang jelas Frans tak pernah memungut biaya sepeser pun dari para pasiennya. Tapi ia menerima bila ada seorang pasien yang berhasil disembuhkan kemudian memberi sesuatu sebagai tanda terimakasihnya. Hal lain yang diperoleh Caroline selain kesembuhan tadi, ialah anjuran Frans agar gadis itu untuk percaya kepada Tuhan. Agar gadis yang tak terdidik agama itu selalu berdoa, dan menghormati orang tua dan janganlah menyakiti hati orang lain. Frans yang Indo itu memang bertolak dari ajaran tasauf-lslam. Ia rajin bersolat dan pernah naik haji. Setiap akan mengobati pasiennya ia akan mengucap Bismillahirohmannirrohim. Ia pun mengaku: "Semuanya itu sesungguhnya untuk membuktikan kebesaran agama Islam. " "Yang menarik, ia pun sering memberikan nomor alo untuk teman-temannya. Juga cara pengobatannya nampak bercampur dengan unsur kejawen, misalnya dengan kembang setaman. Kasus seperti yang dialami Caroline pernah pula ia temui pada 2 orang sebelumnya. Yang pertama ialah Candy Lilian, seorang peragawati IMA (Indonesian Model Association) yang hilang suara akibat terlalu banyak memakan obat anti gemuk. Yang lain seorang lagi bekas Dan Ramil di Surabaya. Beranak 4 orang, tapi sudah bercerai dengan isterinya yang di Jakarta, dalam membujangnya lagi kini, Frans lebih getol dengan hobbynya mobil balap, ayam aduan dan jual beli mobil. Di samping itu ia sering mengadakan demonstrasi dengan pengobatan massal. Di Madura misalnya secara demonstratif ia seketika bisa menyembuhkan seorang yang bisu dan lumpuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus