Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWALNYA Dadang Ari Murtono merasa pesimistis ketika mendapat tawaran menulis dari penerbit buku Indonesia Tera pada Maret lalu. Saat itu penerbit buku di Magelang, Jawa Tengah, tersebut meminta Dadang bereksperimen menggarap sebuah novela berkolaborasi dengan beberapa peranti artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, dari ChatGPT, Sudowrite, hingga Bing.
Dadang mengaku sempat pesimistis karena, setiap kali ia memasukkan umpan dengan sebuah kalimat, ChatGPT selalu memberikan tawaran yang klise. Dalam percobaan awal, Dadang memberi pancingan dengan kalimat: "Sepasang suami-istri meninggal, tapi mereka tidak bisa menuju akhirat." ChatGPT memberikan respons: "Karena sepasang suami-istri itu melakukan ajaran sesat sehingga harus kembali ke jalan yang benar. Mereka harus kembali menyembah Tuhan."
“Kok, tiba-tiba seperti sedang mendengar khotbah. Rasanya seperti membawa pesan moral,” kata Dadang ketika berbincang dengan Tempo secara daring, Sabtu, 29 April lalu.
Dadang menuturkan, itu perjumpaan awalnya dengan AI. Sebagai penulis konvensional, dia seperti berdampingan dengan sesuatu yang mati. "Itu yang ada di perasaan saya dan membikin saya tidak nyaman," ucap pemenang III Sayembara Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021 melalui manuskrip "Sapi dan Hantu" ini.
Ketidakpuasan Dadang dalam serangkaian percobaan itu mendapat titik terang setelah ia bertemu dengan pendiri Patjar Merah, Windy Ariestanty. Windy memberikan ide menjadikan AI rekan kerja dalam proses kreatif. Sebagai mesin yang mampu menulis, AI masih belum bisa memasukkan elemen lain seperti emosi dan lapisan-lapisan kemanusiaan dalam suatu cerita. "Makanya idenya menulis bersama AI, bukan menulis menggunakan AI. Jadi semacam kerja kolaborasi,” ujarnya.
Dadang kemudian mencoba pendekatan itu. Mula-mula ia membuat paragraf pancingan dengan menulis satu bab dan mengirimkannya kepada seorang editor di Indonesia Tera. Sang editor lantas mengirimkannya kepada beberapa alat AI, yaitu ChatGPT dan Bing, sebagai umpan. Hasil yang diciptakan dua alat itu kemudian dikirim kembali kepada Dadang yang mempunyai hak "mengobrak-abrik", menghapus, ataupun mengambil sebagian teks.
"Pada akhirnya saya menulis satu paragraf pertama tanpa saya tahu kelanjutannya seperti apa. Nanti kita akan merespons apa yang diusulkan oleh AI, bisa satu kalimat atau beberapa bagian saja dan itu bisa dihapus," tuturnya.
Novela itu diawali dengan adegan seorang perempuan yang berenang di kolam renang sebuah kota. Tiba-tiba muncul bajak laut yang kemudian menculik sang perempuan. Dari situ, Dadang menunggu apa yang akan direspons oleh dua alat AI tersebut. Setelahnya, Dadang berjumpa dengan lanjutan alur dengan gaya ala cerita fantasi.
ChatGPT menggambarkan tokoh perempuan sebagai kata kunci menuju tempat harta karun. Sedangkan tawaran dari Bing adalah tokoh perempuan itu merupakan anak seorang raja yang juga menjadi akses bagi sang bajak laut untuk mendapatkan harta karun. "Saya pikir itu tidak mungkin dipakai. Saya tidak mengharapkan menjadi sebuah cerita fantasi," kata Dadang.
Dadang kemudian memunculkan sebagian usul AI dalam bab berikutnya, yaitu pekerjaan-pekerjaan aneh seorang tokoh. Dadang menjelaskan, tokoh itu adalah seorang penduga. "Itu yang kemudian yang saya pakai, cara kerja seperti itu. Karena kalau saya hanya meneruskan dari AI, akhirnya akan gampang sekali tertebak ceritanya," Dadang melanjutkan.
Ihwal penokohan, Dadang menyebutkan ChatGPT dan Bing bisa menyesuaikan respons dengan apa yang disiapkan sejak awal. Namun alur penceritaan yang ditawarkan cenderung mudah tertebak.
Draf awal novela yang diberi judul “Buku Pegangan Mencari Kerja” itu sudah dikirim ke editor Indonesia Tera. Dadang membutuhkan waktu kurang-lebih satu minggu untuk menyelesaikan proyek menulis novela bersama AI tersebut. Dia mengatakan novela itu terdiri atas 17-18 ribu kata dengan total sekitar 70 halaman.
Kini Dadang bersama tim editor Indonesia Tera masih akan mendiskusikan draf awal novela tersebut. Bisa jadi akan ada pengembangan lain mengenai judul, tokoh, alur penceritaan, atau unsur lain.
Meskipun belum ada kepastian novela ini terbit, Dadang mengaku mendapat sebuah pengalaman baru dalam penjelajahan proses kreatif menulis bersama mesin. “Setidaknya saya sekarang bisa bermain-main dengan hal baru,” ucapnya.
Dadang Ari Murtono/Dok Pribadi
ChatGPT juga dimanfaatkan Akbar Rafsanjani. Masih lekat dalam ingatan pria 32 tahun itu pengalamannya menggunakan ChatGPT saat menulis sepuluh sinopsis film pada Februari lalu. Akbar hanya diberi waktu satu hari untuk menyelesaikannya. Dia pun putar otak dan mencari siasat untuk merampungkan naskah sepanjang 200 kata tersebut dalam waktu singkat. Akhirnya dia memutuskan menulis sinopsis film pendek fiksi itu memakai ChatGPT.
“Kalau enggak ada ChatGPT, mungkin baru rampung seminggu kali, ya. Sehari satu sinopsis. Karena sinopsis di sini beda dengan sinopsis film yang sudah jadi,” kata Akbar, Direktur Program Aceh Film Festival, melalui panggilan telepon WhatsApp, Jumat, 28 April lalu.
Akbar menuturkan, tawaran membuat sinopsis itu datang dari temannya. Isu yang diangkat adalah mengenai masalah stunting, kesehatan reproduksi, dan pernikahan dini. Di hadapan layar komputer, alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Hilal Sigli, Aceh, itu kemudian meminta ChatGPT membuat cerita tentang pernikahan dini pasangan suami-istri yang melahirkan anak kontet.
Menurut Akbar, jawaban ChatGPT menawarkan naskah sinopsis yang mendekati keinginannya. “Aku terkejut. Wah, cerita ini bagus juga. Tinggal aku ubah,” ujar alumnus Asian Cinema Education Course yang diinisiasi Five Flavours Asian Film Festival, Warsawa, Polandia, itu.
Dalam sinopsis yang disuguhkan teknologi kecerdasan buatan ini, Akbar hanya mengubah nama tokoh dan alur kisah. Menurut dia, cerita yang ditawarkan ChatGPT masih kaku, terutama pada alur kisah dan penokohan. ChatGPT akan menawarkan cerita yang mirip jika kata kunci yang sama dilampirkan kembali ke cerita lain. Alur kisah yang muncul dalam sinopsis pun akan sama.
Akbar menjelaskan, dalam salah satu cerita, ia membuat cerita tentang seorang anak yang tidak tinggal dengan orang tuanya. Tokoh ini mencoba membuat komunitas yang menampung anak-anak broken home lain untuk memberikan edukasi tentang pernikahan dini.
Dalam cerita kedua, alur kisahnya sama. Anak-anak mengorganisasi diri dengan membuat komunitas. Tugas mereka mengedukasi orang lain, yang menurut Akbar sama dengan batang cerita pertama. “Aku prompt (memantik) lagi sampai 30 kali,” tuturnya. “Karena mesin, ya, ia bekerja sesuai dengan kata kunci yang kita masukkan.”
Akbar menerangkan, ia memutuskan menggunakan perangkat AI itu karena waktu pengumpulan proposal sangat singkat. Selain itu, cerita yang dihasilkan adalah rangkuman kisah yang akan dikembangkan sebagai skenario film.
•••
CHATGPT adalah chatbot buatan OpenAI, Amerika Serikat, yang berbasis teknologi generative pre-trained transformer (GPT). Dirintis pada 2015, sistem kecerdasan buatan yang didirikan beberapa tokoh terkemuka di bidang teknologi, seperti Elon Musk dan Sam Altman, tersebut baru resmi dirilis ke publik pada November 2022.
Perangkat lunak ini dapat berkomunikasi dengan manusia lewat perintah tertentu yang diketikkan di kolom percakapan. Dengan kemampuan memahami bahasa manusia, ChatGPT dapat digunakan untuk membantu dalam berbagai jenis tugas, seperti penerjemahan teks dan penulisan otomatis. ChatGPT juga dapat digunakan sebagai asisten virtual untuk membantu pengguna menyelesaikan tugas-tugas tertentu, termasuk memberikan informasi yang dibutuhkan.
Kehadiran peranti kecerdasan buatan itu langsung mencuri perhatian. ChatGPT pun kian populer dan belakangan banyak dimanfaatkan dalam kerja-kerja di industri kreatif. Seperti yang dilakukan Georgia Annisa Rahmatia, 26 tahun, pengelola konten tulisan di sebuah agensi di Jakarta. Ia berjumpa dengan ChatGPT pada awal 2023. Rekan kerjanya menyarankan dia memakai ChatGPT sebagai alternatif di tengah kebuntuan yang melanda.
Penggunaan Sudowrite pada perangkat laptop/Tempo/Jati Mahatmaji
Pada percobaan awal, Georgia memancing ChatGPT dengan memasukkan kata kunci untuk sebuah konten tulisan. "Ternyata lumayan juga, meski ada beberapa hal yang masih tidak akurat," kata Georgia ketika berbincang dengan Tempo, Sabtu, 29 April lalu.
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu biasa membikin konten tulisan dengan tema kesehatan, gaya, dan kecantikan seturut kebutuhan klien. Sebagai pekerja yang harus berhadapan dengan tenggat, Georgia dan karyawan lain di agensi itu kerap mendapat kebuntuan saat merumuskan ide.
Sekitar dua bulan lalu, tutur Georgia, bosnya juga menyarankan ChatGPT digunakan sebagai alternatif. Georgia pun mencoba pendekatan kerja sesuai dengan saran tersebut. Meski ChatGPT membantu, tulisan yang dihasilkan perangkat itu masih kaku dan tidak sesuai dengan konten untuk kebutuhan klien. "Itu masih butuh sentuhan kita untuk mengolah. Jadi ada proses editing," ucapnya. “Pada akhirnya, ChatGPT dipakai sebagai rekan untuk proses brainstorming saja.”
Georgia menambahkan, sejauh ini kantor tempatnya bekerja belum melihat kehadiran ChatGPT sebagai ancaman. Robot itu masih bisa dimaknai sebagai rekan yang mampu menunjang pekerjaan. Dia merasakan kehadiran ChatGPT mampu meringankan tugas-tugas di tengah gempuran deadline. "Terkadang kan ada kalanya otak lagi mampet, mungkin ChatGPT jadi pemantik," ujar Georgia.
Muh. Ikram, 24 tahun, juga mencoba kemungkinan-kemungkinan baru untuk menarik banyak pengunjung datang ke toko digitalnya, Afiliasidigital.com, dengan memanfaatkan ChatGPT. Dia meminta ChatGPT membuat kalimat promosi yang menarik dan mudah dipahami.
“Misalnya saya menulis di ChatGPT, buatlah kalimat promosi tentang edukasi bisnis online, cara menghasilkan uang dari Internet, buatkan kalimat promosi untuk penawaran di e-mail, maka secara otomatis dibuatkan,” kata Ikram kepada Tempo, Kamis, 27 April lalu. “Saya tinggal kopi kalimat dan masukkan ke link order, selesai."
Pria yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan, ini berujar, penggunaan ChatGPT sangat membantu untuk menghemat banyak waktu. Sebelumnya, Ikram memerlukan waktu dua jam untuk membikin kalimat promosi produk di Facebook, Instagram, Telegram, TikTok, dan surat elektronik. Dengan ChatGPT, dia hanya membutuhkan waktu tujuh menit. “Langsung dipromosikan. Kayak menyewa tenaga copywriting, tapi gratis,” ujar lulusan informatika di Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Menurut Ikram, sebelum ia menggunakan ChatGPT, kalimat promosi yang dibikinnya kurang menjual. Imbasnya, order pun jarang. Namun perbedaan cukup mencolok bisa ditemukan setelah Ikram menggunakan ChatGPT. Dia bisa mendapatkan lima-sepuluh pesanan dalam satu hari. “Kalau bikin kalimat promosi pakai ChatGPT, banyak orang klik,” ucap pria yang berbisnis digital sejak sekitar dua tahun lalu ini.
ChatGPT juga dimanfaatkan para kreator konten. Misalnya Agusleo Halim. YouTuber yang kerap mengulas prokrastinasi—perilaku menunda-nunda pengerjaan suatu tugas—dan buku ini memanfaatkan ChatGPT untuk berkonsultasi mengenai skrip hingga isu yang dianggap menarik diulas di akun YouTube-nya.
Dia mengungkapkan, semua konten yang dipublikasikan di akun media sosialnya, seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, menggunakan ChatGPT. Teknologi kecerdasan buatan membantunya memberikan argumen dukungan dalam suatu editorial yang menarik menurut alat tersebut untuk dipercakapkan. “Contohnya kalau konten long form seperti di YouTube, saya tanya ke ChatGPT apa yang hendak saya bawakan,” kata pria 33 tahun itu melalui aplikasi Zoom, Selasa, 2 Mei lalu.
Martin Suryajaya di Jakarta, 4 Mei 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Bukan hanya itu, dia juga meminta ChatGPT memprediksi apakah konten tersebut menarik diulas, kata kunci yang tepat, serta judul yang berefek menggaet banyak pengunjung. “Lalu saya minta coba (buat) outline. Kayak intro, hook, draf, value, dan paragraf kesatu itu seperti apa,” ujar pendiri situs penjualan digital Lynk.id tersebut. “Nah, dari sana saya coba drafting lagi sesuai dengan gaya saya.”
Agusleo menjelaskan keuntungan menggunakan ChatGPT. Pertama, ia menjadi lebih produktif. Kedua, dari sisi konten, ChatGPT bisa membantu menarik banyak pengunjung. Pemilik 398 video di kanal YouTube ini berpendapat, kehadiran ChatGPT cukup membantu dan bisa dijadikan semacam teman diskusi.
Selain memanfaatkan ChatGPT, dia memakai Midjourney untuk menghasilkan gambar di semua platform media sosialnya. “Bisa dibilang semua video dari Desember 2022, mungkin 80 persen dibantu ChatGPT,” kata lulusan master Hult International Business School, Cambridge, Inggris, itu.
•••
MARTIN Suryajaya, penulis dan akademikus, lain lagi. Pada akhir 2022, Martin mencoba menggunakan ChatGPT. Dia meminta chatbot itu menulis kalimat pembuka untuk membuat novel tentang Indonesia. Namun ChatGPT cenderung mengambil bentuk klise. Perangkat itu menggambarkan Indonesia dengan kata "sawah" dan "tonggeret" hingga bunyi gamelan.
Dalam percobaan berikutnya, Martin meminta ChatGPT menulis satu kalimat dengan gaya realisme magis. Namun robot itu tidak paham dan menawarkan kalimat pertama dengan kata "sihir". Percobaan selanjutnya masih sama. Martin meminta ChatGPT membikin sebuah puisi tentang sejarah sastra Indonesia. Lantas alat itu menawarkan teks yang mirip dengan artikel di Wikipedia. Kalimatnya seperti prosa yang dipotong-potong ke dalam larik dan beberapa bait saja.
“Dari situ, wah, kayaknya ini tidak bisa. Harus diubah cara pendekatannya,” ujar penulis novel Kiat Sukses Hancur Lebur tersebut kepada Tempo, Kamis, 4 Mei lalu.
Berangkat dari keresahan terhadap bentuk itulah Martin bereksperimen melatih sendiri mesin dengan set data custom yang terdiri atas teks-teks puisi Indonesia serta sejumlah teks tradisi dan kekinian. Martin melatih lima mesin berbagai model AI itu menulis dengan kumpulan teks puisi dalam sejarah sastra Indonesia, dari era Amir Hamzah hingga Heru Joni Putra.
Dia melatih mesin-mesin itu dengan korpus puisi tradisional, seperti "La Galigo", "Nagarakertagama", dan "Hikayat Abdullah". Martin juga melatih mesin-mesin itu dengan kumpulan teks nonpuisi, seperti risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, buku Madilog karya Tan Malaka, juga unggahan netizen di Twitter yang mengandung kata "puisi" dalam satu tahun terakhir.
Dalam eksperimennya, Martin mencoba mencampur-adukkan puisi dalam satu era ataupun lintas era. Misalnya perpaduan puisi Sanoesi Pane dengan Hendri Yulius Wijaya. Hasilnya adalah paduan gaya kepenyairan di era Pujangga Baru ala Sanoesi dengan gaya kepenyairan Hendri Yulius.
Ia juga menggabungkan empat gaya kepenyairan Heru Joni Putra, Joko Pinurbo, Ni Made Purnamasari, dan Ajip Rosidi. Hasilnya, karakter dan hubungan kata per kata menjadi tidak jelas dan ada lompatan yang jauh. “Akhirnya muncul bentuk gaya kepenyairan yang cenderung skizofrenik, seperti punya kepribadian ganda,” tuturnya.
Dalam latihan menggunakan teks Chairil Anwar, Martin mengatakan, mesin AI mampu memproduksi teks yang cenderung mirip. Mesin membuat puisi yang bunyinya sama seperti bunyi puisi milik Chairil. Contohnya, Jiwa jauh di laut asing gemerincing/di situ memang ada bidadari beribu mata/reda yang sebelah tiba/cedera sendiri ke kapal berhenti. “Jadi dia mengolah sendiri dengan gaya Chairil. Ketika saya cek di puisi Chairil, tidak ada kata seperti itu, tapi suasananya itu suasana Chairil,” katanya.
Martin juga melatih mesin dengan teks Madilog karya Tan Malaka. Ketika dipantik dengan pengantar Tan Malaka dalam Madilog, mesin menghadirkan sebuah puisi yang di awal berbicara tentang sejarah Indonesia. Tapi, di bagian tengah, puisi itu berbicara tentang hukum matematika.
Percobaan lebih menarik ia lakukan ketika kumpulan teks Tiga Menguak Takdir, buku yang ditulis Chairil Anwar bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, dicampur dengan korpus Buku Ini Minta Dibanting karya Nadlifa Allya Tsana yang lebih beken dengan nama pena Rintik Sedu. "Jadinya 'Tiga Menguak Sedu'," ujar Martin. "Jadi suaranya seperti pergolakan revolusioner ala Chairil tahun '45, tapi tiba-tiba ngomongin mantan, balikan, dan seterusnya.”
Menurut Martin, eksperimen semacam ini menjadi metode baru dalam meneropong dunia sastra Indonesia, terutama puisi, yang cenderung mengulang karya dengan satu tradisi yang sama. Misalnya produksi puisi lirik yang sangat dominan. Walhasil, ketika seseorang hendak menulis puisi, kecenderungannya hanya mengulang-ulang gaya penyair sebelumnya.
“Jadi saya menempatkan AI sebagai teman diskusi tentang sejarah puisi Indonesia. Kita bisa bareng dia (mesin) melihat angle lain dari puisi Indonesia,” ucap Martin, yang akan menuangkan eksperimennya itu ke dalam buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berkreasi dengan ChatGPT"