Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dibesarkan Tempe, Jadi Doktor Tempe

Hermana, 45, kepala pusat penelitian gizi dep.kes, membuat disertasi tentang tempe, sasaran penelitian anak balita di desa bendungan dan dlingo. tempe makanan paling baik untuk menanggulangi penyakit.(ksh)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR orang yang meraih gelar doktor. Tapi agaknya tak ada yang meninggalkan bekas sejelas Hermana, 45 tahun, yang mendapat gelar dengan disertasi tentang tempe. Tikus-tikus percobaan kenyang dibuatnya. Sedangkan, orang-orang desa yang terlibat dalam penelitiannya terkesan benar dan bertanya-tanya kapan Hermana muncul lagi. Soalnya, untuk mendapatkan gelar doktor yang diperolehnya dari IPB 15 September lalu penduduk Desa Bendungan (Bogor) dan Dlingo (Yogyakara) bagaikan kenduri besar. Tiga ratus anak mereka (di Bendungan) dan 120 anak (di Dlingo) berusia antara 13 dan 36 bulan mendapat bagian paket bahan makanan campuran, yang terdiri dari beras-kedelai, beras-tempe, gaplek-kedelai, dan gaplek-tempe. Pemberian bahan makanan campuran kepada anak-anak yang kekurangan kalori protein itu memang sebagian kecil saja dari rangkaian penelitian Hermana yang berlangsung Desember 1980 sampai September 1982. Dia juga meneliti perbedaan pengaruh makanan itu terhadap bobot tikus-tikus percobaan. Juga pengamatan terhadap daya tahan paket makanan campuran itu (yang dibungkus dalam plastik) terhadap pengaruh cuaca. Tapi anak-anak dari desa-desa tadi itulah yang memberikan bukti kepada sarjana gizi kelahiran Ciamis tadi bahwa tempe merupakan sumber bahan makanan yang paling baik untuk menanggulangi penyakit kurang-kalori-protein. Penyakit ini diperhitungkan diderita sekitar 30% anak balita Indonesia. Campuran bahan makanan dengan tempe menunjukkan pengaruhnya yang nyata dalam meningkatkan berat badan anak. Sementara itu, campuran yang paling ideal adalah beras-tempe. Ini bisa terlihat dari penimbangan yang dilaksanakan tiap bulan setelah anak-anakitu menyantap paket makanan tadi. "Anak-anak di Ciawi yang diberi beras-kedelai beratnya rata-rata naik 670 gram, tapi yang diberi beras-tempe naik 690 gram," cerita Hermana kepada wartawan TEMPO, Saur Hutabarat. Untuk bahan campuran utama di daerah Ciawi dipilih beras karena daerah ini memang kaya beras. Sedangkan di daerah minus, Dlingo, digunakan gaplek. Dari anak-anak yang makan campuran gaplek-kedelai maupun gaplek-tempe juga terlihat campuran dengan tempe menunjukkan ada pertambahan berarti. "Pertambahan berat di Dlingo 520 gram. Lebih rendah dibandingkan dengan yang di Ciawi, karena gaplek memang hampir tak ada proteinnya," ujar Hermana. Pemerintah sendiri, sekitar tiga tahun yang lalu, berusaha menggalakkan penggunaan kacang-kacangan untuk mengatasi masalah kekurangan kalori-protein anak-anak. Kedelai menjadi pilihan utama. Niat itu rupanya mengusik perhatian sarjana gizi lulusan Universitas Reading, Inggris, tadi yang sejak kecil mengaku tak lepas-lepas dari menu tempe. Dia tahu, selain mutu protein tempe tinggi, makanan ini juga mengandung vitamin B-12 yang tak ditemukan pada bahan makanan nabati lain. "Vitamin itu muncul secara tak sengaja. Itu berkat kerja suatu bakteri yang bernama klebsiela pneumonae. Tidak sengaja, karena merupakan 'cemaran' sewaktu kita membuat tempe secara tradisional," cerita Hermana yang ketika dipotret nyeletuk: "Sayang tak ada tempe di dekat saya sekarang." Menurut ceritanya, kedelai yang sudah jadi tempe melalui proses fermentasi mudah dicernakan sekalipun oleh seorang anak yang menderita penyakit pencernaan. Selain itu, makanan tradisional ini punya keunggulan lain. Bisa menghambat pertumbuhan bakteri, antara lain salmonella typhii. Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit saluran pencernaan yang banyak terdapat di Indonesia. Cerita tentang senjata pamungkas tempe ini cukup panjang. Sampai-sampai seorang sarjana Belanda, van Ceen, setelah Perang Dunia II meneliti mengapa orang Indonesia tahan terhadap penyakit infeksi saluran pencernaan. Jawabnya: tempe. Disertasi Hermana, kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen Kesehatan ini, kelihatannya memperkuat kedudukan tempe dalam menu orang Indonesia. Sekaligus ia membuktikan bahwa kedelai yang sudah dijadikan tempe membuat protein nabati itu tambah unggul. Dan buat orang-orang desa yang pernah membantunya, Hermana seperti tak terlupakan. Nyonya Atikah Sulaiman, 23 tahun, dari Desa Bendungan, yang dengan suka rela menyerahkan dua dari tiga anaknya sebagai "kelinci" percobaan Hermana, sekarang ini mengemong anak bungsu yang pertumbuhannya membesarkan hati. Ketika mengurus kedua anaknya yang turut dalam penelitian itu, dia amati benar-benar cara kedua anaknya itu diberi makanan campuran beras-tempe. Pulang ke rumah, ana bungsunya yang masih kecil dia suapi nasi yang dicampur tempe. Caranya, nasi yang setengah matang dicampur tempe dan dimasak sampai jadi bubur. Dia berikan tiga kali sehari. Ternyata, menurut pengakuan nyonya muda itu kepada wartawan TEMPO, Dedy Iskandar, yang meninjau desa itu, anak bungsunya itu tumbuh lebih mantap dari dua anak terdahulu. "Lebih sehat. Jarang sakit perut," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus