Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANJIR orang yang meraih gelar doktor. Tapi agaknya tak ada yang
meninggalkan bekas sejelas Hermana, 45 tahun, yang mendapat
gelar dengan disertasi tentang tempe. Tikus-tikus percobaan
kenyang dibuatnya. Sedangkan, orang-orang desa yang terlibat
dalam penelitiannya terkesan benar dan bertanya-tanya kapan
Hermana muncul lagi.
Soalnya, untuk mendapatkan gelar doktor yang diperolehnya dari
IPB 15 September lalu penduduk Desa Bendungan (Bogor) dan Dlingo
(Yogyakara) bagaikan kenduri besar. Tiga ratus anak mereka (di
Bendungan) dan 120 anak (di Dlingo) berusia antara 13 dan 36
bulan mendapat bagian paket bahan makanan campuran, yang terdiri
dari beras-kedelai, beras-tempe, gaplek-kedelai, dan
gaplek-tempe.
Pemberian bahan makanan campuran kepada anak-anak yang
kekurangan kalori protein itu memang sebagian kecil saja dari
rangkaian penelitian Hermana yang berlangsung Desember 1980
sampai September 1982. Dia juga meneliti perbedaan pengaruh
makanan itu terhadap bobot tikus-tikus percobaan. Juga
pengamatan terhadap daya tahan paket makanan campuran itu (yang
dibungkus dalam plastik) terhadap pengaruh cuaca. Tapi anak-anak
dari desa-desa tadi itulah yang memberikan bukti kepada sarjana
gizi kelahiran Ciamis tadi bahwa tempe merupakan sumber bahan
makanan yang paling baik untuk menanggulangi penyakit
kurang-kalori-protein. Penyakit ini diperhitungkan diderita
sekitar 30% anak balita Indonesia.
Campuran bahan makanan dengan tempe menunjukkan pengaruhnya yang
nyata dalam meningkatkan berat badan anak. Sementara itu,
campuran yang paling ideal adalah beras-tempe. Ini bisa terlihat
dari penimbangan yang dilaksanakan tiap bulan setelah
anak-anakitu menyantap paket makanan tadi. "Anak-anak di Ciawi
yang diberi beras-kedelai beratnya rata-rata naik 670 gram, tapi
yang diberi beras-tempe naik 690 gram," cerita Hermana kepada
wartawan TEMPO, Saur Hutabarat.
Untuk bahan campuran utama di daerah Ciawi dipilih beras karena
daerah ini memang kaya beras. Sedangkan di daerah minus, Dlingo,
digunakan gaplek. Dari anak-anak yang makan campuran
gaplek-kedelai maupun gaplek-tempe juga terlihat campuran dengan
tempe menunjukkan ada pertambahan berarti. "Pertambahan berat di
Dlingo 520 gram. Lebih rendah dibandingkan dengan yang di Ciawi,
karena gaplek memang hampir tak ada proteinnya," ujar Hermana.
Pemerintah sendiri, sekitar tiga tahun yang lalu, berusaha
menggalakkan penggunaan kacang-kacangan untuk mengatasi
masalah kekurangan kalori-protein anak-anak. Kedelai menjadi
pilihan utama. Niat itu rupanya mengusik perhatian sarjana gizi
lulusan Universitas Reading, Inggris, tadi yang sejak kecil
mengaku tak lepas-lepas dari menu tempe.
Dia tahu, selain mutu protein tempe tinggi, makanan ini juga
mengandung vitamin B-12 yang tak ditemukan pada bahan makanan
nabati lain. "Vitamin itu muncul secara tak sengaja. Itu berkat
kerja suatu bakteri yang bernama klebsiela pneumonae. Tidak
sengaja, karena merupakan 'cemaran' sewaktu kita membuat tempe
secara tradisional," cerita Hermana yang ketika dipotret
nyeletuk: "Sayang tak ada tempe di dekat saya sekarang."
Menurut ceritanya, kedelai yang sudah jadi tempe melalui proses
fermentasi mudah dicernakan sekalipun oleh seorang anak yang
menderita penyakit pencernaan. Selain itu, makanan tradisional
ini punya keunggulan lain. Bisa menghambat pertumbuhan bakteri,
antara lain salmonella typhii. Bakteri ini dapat menyebabkan
penyakit saluran pencernaan yang banyak terdapat di Indonesia.
Cerita tentang senjata pamungkas tempe ini cukup panjang.
Sampai-sampai seorang sarjana Belanda, van Ceen, setelah Perang
Dunia II meneliti mengapa orang Indonesia tahan terhadap
penyakit infeksi saluran pencernaan. Jawabnya: tempe.
Disertasi Hermana, kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi
Departemen Kesehatan ini, kelihatannya memperkuat kedudukan
tempe dalam menu orang Indonesia. Sekaligus ia membuktikan bahwa
kedelai yang sudah dijadikan tempe membuat protein nabati itu
tambah unggul. Dan buat orang-orang desa yang pernah
membantunya, Hermana seperti tak terlupakan.
Nyonya Atikah Sulaiman, 23 tahun, dari Desa Bendungan, yang
dengan suka rela menyerahkan dua dari tiga anaknya sebagai
"kelinci" percobaan Hermana, sekarang ini mengemong anak bungsu
yang pertumbuhannya membesarkan hati.
Ketika mengurus kedua anaknya yang turut dalam penelitian itu,
dia amati benar-benar cara kedua anaknya itu diberi makanan
campuran beras-tempe. Pulang ke rumah, ana bungsunya yang masih
kecil dia suapi nasi yang dicampur tempe. Caranya, nasi yang
setengah matang dicampur tempe dan dimasak sampai jadi bubur.
Dia berikan tiga kali sehari.
Ternyata, menurut pengakuan nyonya muda itu kepada wartawan
TEMPO, Dedy Iskandar, yang meninjau desa itu, anak bungsunya itu
tumbuh lebih mantap dari dua anak terdahulu. "Lebih sehat.
Jarang sakit perut," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo